
dakwatuna.com – Ketika hidup ditakdirkan untuk memilih, maka ingatlah bahwa setiap pilihan punya resiko baik buruknya masing-masing. Setiap pilihan pun butuh pertimbangan yang matang, biar tak ada sesalan yang selalu datang belakangan. Saat memilih untuk menjadi “agent of Change” bagi generasi hadapan, maka sudah pasti harus siap-siap dengan segala tindak tanduk pribadi yang akan selalu diawasi.
Dalam dunia pendidikan, guru adalah “Agent of change” bagi masa depan para pewaris peradaban. Setiap sikap, ucapan dan perbuatan guru dijadikan panutan oleh para siswanya. Jika seorang guru tidak siap untuk melakukan perubahan dari diri pribadi maka mustahil ia akan bisa mengubah siswanya. Guru itu bukan malaikat yang hadir tanpa salah, tapi guru itu adalah orang yang tiada pernah henti belajar untuk terus memperbaiki dirinya.
Disiplin, merupakan salah satu kebiasaan yang sangat susah dibangun dalam diri seseorang. Sebagaimana kata mutiara yang sering kita baca bahwa “yang paling sulit itu adalah mengubah kebiasaan serta membiasakan yang belum jadi kebiasaan “. Maka jika disiplin belum jadi kebiasaan, maka butuh perjuangan untuk membiasakannya. Disiplin juga menjadi permasalahan utama yang sering kita dengar dalam dunia pendidikan atau pun dunia kerja.
Berbagai cara dilakukan oleh orang-orang yang peduli di lahannya masing-masing. Bos mencari cara untuk mendisiplinkan karyawannya. Kepala sekolah mencari cara untuk mendisiplinkan guru dan warga sekolahnya. Guru pun ikut mencari cara untuk mendisiplinkan para siswanya. Mulai dari absensi manual hingga digital tak juga membawa perubahan. Tak jarang peringatan sampai ancaman menjadi paksaan, masih juga tak ada perbaikan.
Kini “Jam Hidup” pun ikut ambil bagian dalam tahap mendisiplinkan, terutama untuk guru. Jam hidup adalah pembayaran honor sesuai dengan absensi kehadiran. Jadi, guru yang sering libur akan mendapatkan honor lebih sedikit dari mereka yang rajin masuk. Ternyata pelaksanaannya tak semudah membalik telapak tangan. Perlu banyak pertimbangan untuk menjadikannya sebagai pilihan yang tidak merugikan pihak manapun.
Jam hidup membuat senyuman terkembang di wajah guru yang selalu masuk dan merasa kerepotan dengan banyaknya kelas kosong. Sebaliknya membuat kepala guru yang jarang masuk tertunduk dalam. Mungkin saja memikirkan cara bagaimana agar kedepannya lebih rajin hadir, atau malah yang lebih parah mungkin merasa tersinggung dan tidak senang dengan keputusan akan diberlakukannya jam hidup.
Memang jika dipikir-pikir lagi, akan sangat merugikan guru yang honornya sangat jauh di bawah standar dan itu pun diterimanya per tiga bulan. Jumlah honor yang diterima, kondisi siswa dan sarana prasarana yang jauh dari kata layak saja sudah membuat semangat mereka naik turun, tambah lagi jam hidup. Jika memang dilaksanakan, maka sudah pasti menjadi beban berat bagi guru yang biasanya sering tidak bisa hadir di sekolah.
Namun jika tidak, maka tetap saja yang akan kesulitan adalah guru yang rajin masuk. Takutnya, jika mereka mulai lelah maka bisa jadi mereka juga akan mengikuti jejak guru lain untuk tidak hadir di sekolah. Lalu siapa lagi yang akan mengambil alih tugas mereka sebelumnya? Lalu apa jadinya sekolah dan siswa jika tidak ada lagi guru yang datang? Benar-benar dilema.
Tetapi sebenarnya jika kita memang ingin berubah maka ada hal- hal yang mesti dipaksakan sebelum jadi kebiasaan. Lalu siapakah sebenarnya yang mampu melakukan perubahan itu? Jawabannya adalah diri sendiri. Jika tidak ada motivasi dari dalam diri sendiri, tak ada gunanya ancaman dan sebagainya. Apalagi guru, mereka bukan lagi anak kecil maka sudah seharusnyalah bisa memilih sendiri mana yang baik mana yang tidak. Cukuplah jam hidup hanya menjadi dilema yang mungkin bakal tiada akhirnya. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah komitmen bersama untuk melakukan perubahan. Jika tidak semuanya mau bekerja sama maka tak ada gunanya apapun juga kebijakannya.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: