Topic
Home / Berita / Opini / Dilema Mantan Napi Jadi Pemimpin

Dilema Mantan Napi Jadi Pemimpin

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Bulan Juli 2015 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan yang cukup kontroversial terkait Pilkada serentak tahun 2015, sehingga menimbulkan perdebatan diantara para pakar hukum dan politisi. Putusan MK tersebut mengenai pembatalan pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang mengatur larangan bagi mantan narapidana (napi) untuk maju sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada 2015. Dengan putusan MK yang membatalkan pasal tersebut, maka sekarang di beberapa daerah kabupaten, kota, maupun provinsi muncul mantan-mantan napi korupsi yang maju menjadi calon kepala daerah. Fenomena ini tentu memancing pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.

Pihak-pihak yang pro dengan putusan MK tersebut tentu adalah para mantan napi korupsii. Selain itu, sebagian besar partai politik juga menyetujuinya. Hal itu dibuktikan dengan sebagian besar partai politik tetap mengusung dan mendukung para mantan napi korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah. Para pihak yang pro dengan pencalonan mantan napi korupsi sebagai kepala daerah ini berarguman bahwa para mantan napi korupsi telah menjalani hukuman yang setimpal atas kesalahannya dan hal itu sebagai wujud pertaubatan mereka. Karena alasan tersebut dan tidak adanya putusan hakim yang mencabut hak politik mereka sebagai hukuman tambahan, maka tidak ada alasan lagi untuk melarang para mantan napi korupsi maju sebagai calon kepala daerah. Jika dengan kondisi seperti itu para mantan napi korupsi tersebut tetap dilarang untuk maju mencalonkan diri, justru itu merupakan pelanggaran HAM karena setiap orang berhak untuk memilih dan dipilih. Itu diantara argumen-argumen pihak yang setuju dengan pencalonan mantan napi, khususnya mantan napi korupsi, sebagai kepala daerah.

Pada sisi lain, pihak-pihak yang kontra terdiri dari para akademisi, para peneliti, sebagian para pengamat politik, dan LSM anti korupsi. Anehnya, justru partai-partai politik selaku pendukung dan pengusung para calon kepala daerah, sangat sedikit yang kontra dengan pencalonan mantan napi sebagai kepala daerah. Ada satu partai yang menyatakan tidak akan mengusung calon kepala daerah yang berstatus mantan napi korupsi, namun faktanya partai tersebut juga mendukung partai lain yang mengusung calon kepala daerah yang berstatus mantan napi korupsi. Argumen mereka yang kontra adalah bahwa orang yang menjadi kepala daerah haruslah orang yang terbaik, dalam arti tidak memiliki rekam jejak yang jelek. Hal ini penting karena jika memiliki rekam jejak yang kurang baik, maka jejak kurang baik itu berpotensi untuk terulang lagi di masa depan. Selain itu, mencalonkan orang yang berstatus mantan napi korupsi juga merupakan pendidikan politik yang tidak baik bagi masyarakat. Hal itu juga menggambarkan bahwa partai politik tidak memiliki kader yang baik sehingga mengusung calon yang berstatus mantan napi korupsi. Itulah beberapa argumen dari pihak-pihak yang kontra.

Sebagai seorang muslim, dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam kehidupan ini, maka kita kembalikan kepada sumber hukum utama agama kita yaitu Alquran dan As Sunnah. Hal inilah yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam Alquran surat An Nisa ayat 59 “…..Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Maka dari itu, untuk menyikapi perbedaan pendapat terkait pencalonan mantan napi sebagai kepala daerah, maka sebaiknya kita lihat bagaiman sejarah pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat dalam memilih pemimpin umat. Rasulullah SAW dan para sahabat merupakan generasi terbaik umat akhir zaman, sehingga akan banyak contoh keteladanan yang mampu kita ambil sebagai pelajaran.

Dahulu, ada seseorang yang menentang keras dakwah Rasulullah, dia adalah Umar bin Khathab. Umar sangat ditakuti oleh siapapun karena sikapnya yang keras, terutama kepada Rasulullah dan orang-orang yang telah masuk Islam di awal dakwah Rasulullah. Umar tidak hanya keras menentang dakwah Rasulullah, tapi diapun berkeinginan kuat untuk membunuh Rasulullah SAW. Namun, ketika pedang sudah disiapkan dan keinginan Umar untuk membunuh Rasulullah sudah tidak terbendung lagi, hidayah pun datang dan masuk ke dalam hati Umar melalui adiknya yang sedang membaca Alquran. Ketika mendengar dan membaca kalimat demi kalimat yang begitu indah dalam Al Qu’an, hati umar tidak mampu menolak derasnya hidayah Allah yang masuk. Kemudian dia semakin bernafsu untuk mencari Rasulullah, namun bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk bersyahadad di hadapan beliau dan mengucapkan sumpah setia kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sejak saat itu, Umar memang tetap menjadi pribadi yang tegas dan keras, namun tegas untuk menerapkan hukum-hukum Allah dan keras kepada siapapun yang menentang dakwah Rasulullah. Dengan ketegasannya itu, Umar selalu setia mendampingi dan membantu Rasulullah dalam berdakwah. Tidak hanya harta benda, jiwa dan raga pun rela Umar korbankan demi tegaknya agama Islam. Sampai tibalah saatnya ketika Rasulullah telah wafat dan kepemimpinan diteruskan oleh para sahabatnya, Umar terpilih menjadi khalifah kedua menggantikan Abu Bakar Ash Shidiq yang telah wafat. Di masa kepemimpinan Umar, banyak kemajuan yang berhasil diraih oleh umat Islam. Mulai dari perbaikan manajemen tata pemerintahan, manajemen keuangan melalui baitul mal, pembuatan sistem penanggalan hijriah, dan yang paling terlihat adalah wilayah kekuasaan Islam yang bertambah sangat luas. Itulah Umar, seorang yang dahulu sangat keras menentang dakwah Islam, keras menentang Rasulullah dan kaum muslimin, namu pada akhirnya malah menjadi pemimpin umat Islam dan banyak berjasa bagi perkembangan Islam.

Mencermati sejarah hidup Umar bin Khathab tersebut, mungkin para mantan napi korupsi dan partai politik yang mengusungnya beranggapan bahwa Umar yang dahulu begitu keras menentang Rasulullah pun kemudian bisa menjadi pemimpin yang berjasa bagi kejayaan Islam, maka tidak ada alasan lagi bagi umat Islam untuk menolak mantan napi menjadi kepala daerah karena setiap orang punya kesempatan bertaubat dan memperbaiki diri. Memang benar bahwa kesempatan taubat itu terbuka bagi semua orang yang masih hidup dan belum sampai pada hari kiamat. Benar pula bahwa sebagai manusia, khususnya umat Islam, dianjurkan untuk saling memaafkan dan memberi kesempatan kepada orang lain yang ingin memperbaiki diri. Namun, permasalahan yang sering diabaikan orang adalah apa unsur-unsur taubat ? Apakah orang yang sudah dipenjara pasti bertaubat ? Apakah pertaubatan para mantan napi korupsi tersebut sudah sesuai dengan taubatnya Umar bin Khathab ? Itulah beberapa pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mendukung, mengusung, atau memilih mantan napi sebagai kepala daeorah.

Menurut Prof. Yunahar Ilyas dalam buku Kuliah Akhlaq, orang yang bertaubat kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu, kembali dari sifat-sifat yang tercela menuju sifat-sifat yang terpuji. Berdasarkan kisah hidup Umar bin Khathab di atas, maka dapat disimpulkan terdapat empat unsur taubat, yaitu pertama, mengakui dan menyesali perbuatan buruknya di masa lalu. Kedua, minta ampun kepada Allah SWT dan minta maaf kepada Rasulullah SAW dalam wujud janji setianya kepada Rasulullah. Ketiga tidak mengulaingi lagi perbuatan buruknya di masa depan. Keempat, menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan melakukan semua itu, barulah dikatakan taubat seutuhnya. Namun, jika baru keluar dari penjara dan belum melakukan semua itu, maka belumlah dikatakan bertaubat.

Jika kita melihat realita para mantan napi korupsi yang sekarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, maka sebagian besar dari mereka belum dapat dikatakan benar-benar bertaubat. itu karena mereka belum melakukan pertaubatan yang telah Umar bin Khathab contohkan. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar bertaubat, maka ada beberapa hal yang mereka harus lakukan, antara lain pertama, secara pribadi mereka memohon ampun kepada Allah atas kesalahan mereka menzalimi rakyat. Kedua, mereka mendeklarasikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat yang telah mereka zalimi dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan korup itu. Ketiga, mereka membuktikan janji mereka dengan tidak melakukan korupsi lagi. Keempat, mereka menunjukkan sikap dan pengabdian yang lebih baik kepada masyarakat.

Berdasarkan hal itu, maka Undang-Undang Pilkada seharusnya tidak membatasi ataupun membebaskan secara total setiap mantan napi untuk maju sebagai calon kepala daerah. Namun, yang diperlukan adalah pengaturan dengan syarat-syarat tertentu agar kepala daerah yang terpilih benar-benar orang yang bersih dan tanpa harus mengorbankan hak-hak politik para mantan napi yang benar-benar sudah bertaubat. Maka dari itu, yang harus diatur dalam Undang-Undang Pilkada untuk para mantan napi yang akan maju sebagai calon kepala daerah adalah pertama, membuat surat pernyataan dan mendeklarasikan permintaan maaf kepada masyarakat dan berjanji tidak akan melakukan tindak pidana lagi. Kedua, poin yang diatur bukanlah lamanya dipenjara, melainkan jarak antara waktu kebebasan dari penjara dengan waktu maju sebagai calon kepala daerah, yaitu minimal 5 tahun. Waktu ini diperlukan untuk menilai kesungguhan pertaubatan para mantan napi, apakah dalam kurun waktu minimal 5 tahun tersebut mereka kembali terlibat tindak pidana atau tidak. Selain itu, waktu tersebut juga digunakan oleh masyarakat untuk menilai apakah para mantan napi tersebut telah menunjukkan sikap dan pengabdian yang lebih baik kepada masyarakat atau belum. Jangan sampai, ada mantan napi korupsi yang baru 3 bulan bebas dari penjara, belum meminta maaf kepada rakyat dan belum menunjukkan pengabdian yang lebih baik kepada masyarakat, lalu tiba-tiba muncul sebagai calon kepala daerah dari partai tertentu dengan hanya bermodal uang untuk kampanye dan melakukan money politics.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan pilkada yang bersih, bermartabat, dan lancar, serta mendapatkan kepala daerah yang terbaik, maka dibutuhkan pertimbangan yang matang untuk menyusun Undang-Undang Pilkada. Jangan hanya karena alasan melanggar HAM lalu Undang-Undang Pilkada dibuat selonggar-longgarnya, karena HAM seseorang pun dapat dibatasi dengan dua hal, yaitu aturan publik dan HAM orang lain. Maka dari itu, jernihlah dalam merenung, logislah dalam berpikir, dan tegaslah dalam menegakkan aturan, maka insya Allah akan terpilih pemimpin yang berkualitas.

 

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Biasa dipanggil Zamroni atau Achmad. Selain sibuk sebagai mahasiswa semester akhir yang sedang menyusun skripsi, juga menjadi salah satu Pengurus Takmir Masjid Nur Iman di Dukuh Gunturan dan menjadi Ketua Pengurus Taman Pendidikan Al Qur�an Nur Iman di Dukuh Gunturan. Selain kuliah, di kampus pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Kaligrafi pada UKM LPTQ UMY tahun 2013-2014. Hobi menulis artikel dan naskah ceramah, pada bulan Desember tahun 2014 juara 1 menulis naskah ceramah se-DIY yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Lihat Juga

Pemimpin adalah Cerminan Rakyat

Figure
Organization