[caption id="attachment_52492" align="alignright" width="330"] Mantan PM Inggris, Tony Blair (islammemo.cc)[/caption] dakwatuna.com – London. Mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair, membutuhkan waktu 12 tahun untuk mengatakan bahwa perang Irak (2003) yang mengorbankan ratusan ribu jiwa dan menghancurluluhkan sebuah negara, didasarkan kepada informasi intelijen yang salah. Seperti dilansir Sky News, Selasa (27/10/2015) hari ini, Blair mengatakan bahwa saat ini dunia harus menanggung pertumpahan darah. Hal ini tidak lain adalah buah dari perang tersebut. Dirinya pun mengajukan permintaan maaf telah merancang bersama presiden Amerika Serikat, George Bush. Permintaan maaf ini diharapkan dapat mengurangi kesalahan besar dalam perang yang sering disebut sebagai terburuk setelah Perang Dunia II. Pengakuan Blair ini, dinilai media-media Inggris sebagai langkah cepat untuk membela diri sebelum keluarnya hasil laporan komisi Sir Chilcot tentang peran Inggris dalam perang di Irak. Polemik tentang kesertaan Inggris dalam perang Irak kembali meluas pasca pengakuan Blair ini. Ditambah suratkabar Daily Mail, pekan lalu, mempublikasikan beberapa dokumen dari catatan mantan menteri luar negeri Amerika, Colin Powell. Dokumen-dokumen tersebut ditulis setahun sebelum terjadinya perang Irak. Di dalamnya, Powell menyampaikan kepada Presiden Bush bahwa Blair akan terus mendukung Amerika dan mengajukan alasan-alasan yang bisa menghimpun dukungan dunia dalam perang ini. Blair, kata Powell, sangat bersemangat untuk mewujudkan rencana perang itu. Dirinya mempunyai banyak ide untuk meyakinkan opini dunia tentang bahaya Irak bagi perdamaian dunia. Negara-negara tetangga Irak juga sudah diyakinkan untuk mendukung penuh inisiator perang. Sedang Dewan Keamanan akan yakin dengan beberapa bukti bahwa Inggris dan Amerika sudah menyiapkan segala sesuatu untuk masa pasca perang. (msa/dakwatuna)