Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Cantikmu Karena Taatmu

Cantikmu Karena Taatmu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Langit sudah mulai kemerahan, tanda waktu maghrib kian menjelang, mestinya Rian sudah sampai rumah jam segini, apalagi ada janji dengan istri, akan mengajaknya jalan di taman bunga tepi telaga di dekat rumah sakit. Kendaraan sudah dipacu lebih laju, tapi mau bagaimanalah jalanan mulai macet oleh kendaraan orang pulang kerja. Terbayang oleh Rian wajah istrinya pasti akan bersungut menyambut. Terlintas demikian maka Rian memutuskan singgah di kios bunga, membeli setangkai bunga lili, Ia tahu istrinya pernah membuat lili dari kertas origami. Paling tidak dengan membawakan bunga asli akan mengurangi sunggut si istri. Kan jika tidak sempat jalan bersama lebih baik membawakan bunga, paling tidak akan sedikit melegakan perasaan. Begitu pikir Rian. Dan tepat sebelum magrib Rian telah sampai di rumah. Benar pula istri menyambut didepan pintu seperti satpam khawatir rumah akan kena pindah. Sambutan lengkap dengan sungut manyun. Rian tak bergeming, memandang istrinya yang demikian, Ia urungkan mengeluarkan bunga dari dalam tas. Diusahakan bibir menyunggingkan senyum walaupun berdebar juga menanti perhitungan dari istri tercinta. Bersalam sudah, masuk mengiringkan ke dalam sudah, tinggal Rian menghempaskan badan ke kursi, hanya badan yang duduk sedang matanya menggelayut memandangi istri yang meninggalkannya menuju dapur.

“Masuk Bi, makan dulu sini” seru Istri

Rian berjalan masuk dapur mendekat meja makan, sekedar menghindar agar tidak turut berseru, dan tentu juga ingin tahu ekspresi istrinya.

“Sudah makan tadi Mi” jawab Rian singkat.

“Oo…jadi gitu, sudah makan sebelum pulang yah sekarang?” tukas Istri Rian.

Rian berusaha menemukan tatap mata istrinya, tapi malah menghindar tidak bisa saling berpandangan, Istri masih juga sibuk menyiapkan ini itu antara dapur dengan meja makan. Ngambek.

Digaruk kepala Rian yang tidak gatal. Keheranan kenapa makan mesti jadi soal yang patut dipermasalahkan. Betapa rumitnya, makan pun musti diagendakan dirumah pula. Kan hanya soal makan.

“Tadi kebetulan makan di kantor Mi,beneran” sahut Rian kemudian.

“Makan di kantor kan siang Bi, ndak mau makan atau karena masakan Umi ndak enak Bi?”

Nah kan makin rumit masalah, padahal betulan ada makan lembur dari kantor tadi, terpaksalah Rian mengalah sekalipun tidak juga lapar, sikap istrinya makin membuatnya tidak lapar, tapi tak kuasa juga menolak permintaannya. Akan membuat kian rumit perkara makan.

“Iya Mi, Abi makan” keluh Rian perlahan.

“Ndak usah makan saja Bi kalau terpaksa, nanti bisa sakit perut” cepat istrinya menyahut.

Salah lagi jawaban Rian. Sepasang suami istri itu tanpa disepakati duduk di dekat meja makan. Istrinya mendekat menyuguhkan air dingin. Kian hangat saja perkara setelah beralih dari isu makan. Duduk berhadapan dengan segelas air di tangan, Rian merasakan sesuatu yang mendebarkan akan terjadi. Yah, Introgasi.

“Kenapa pulang jam segini Bi?” kata Istri memulai.

“Tadi ada lembur dadakan Mi”

“Yang bener Bi, tapi kan Abi sudah janji dan ini janji yang kedua yang Abi ingkari” jawab istri kesal.

Bukan karena marah tanya itu keluar, lebih karena merasa belum terpenuhi harapan yang telah dijanjikan, hingga perlu memberikan pengingatan. Gelas yang tidak bersalah ikut pula berputar di tangan Rian. Ikut pening mencari jawab penjelasan. Tapi tak ada jawab yang lainnya. Memang itulah adanya. Lembur.

“Maaf Mi tapi. beneran lembur tadi Mi”

Istrinya makin bersungut, seolah menyatakan enggan menerima alasan suaminya.

“Mi..maafkan Abi, Abi beneran ada tugas tambahan tadi, jangan ngambek nah, makan yuk” sambung Rian kemudian.

“Katanya tadi sudah makan?”.

Makin bingung Rian, maksud hati menghibur istri malah jadi makin berlarut. Diam jadi solusi dari pada kian ribet, sebentar lagi istrinya pasti memulai obrolan baru juga, apa juga yang mau disampaikan kalau sudah demikian.

“Bi, boleh tanya ndak? harus dijawab jujur tapi”

Dijawab pertanyaan itu dengan perlahan, hendak ditolakpun akan menambah kurang nyaman suasana. Mending diturut saja. Maka kata Rian kemudian.

“Iya mi Abi jawab, tanya apa?”

“Kenapa Abi dulu milih nikahin Umi?”

Haduh, apa tidak ada pertanyaan yag lebih sederhana dari pada itu, selain pertanyaan yang memaksa untuk mewujudkan rasa, bukankah rasa itu abstrak, kenapa juga musti dinyatakan. Apalagi pas badan capek ditambah suasana istri ngambek begini. Salah jawab bisa kian kalap.

“Apa karena Umi cantik?” tanya Istri lebih lanjut.

Gelengan kepala Rian jadi jawaban, sudah dipikir keras kenapa, jikalau di jawab karena sayang apanya yang disayang?, sedangpun karena cantik pastilah jawaban itu akan disangkal pula, bukankah ada banyak wanita yang lebih cantik. Meskipun jawaban cantik itu dinanti banyak wanita tapi untuk Istri Rian itu adalah jawaban umum. Yang malah memperpanjang daftar pertanyaan.

“Apa Abi pernah bilang Umi cantik?”

Giliran istrinya yang termenung, karena memang benarlah Rian tak pernah memujinya cantik, satu kata yang sering diucap adalah anggun bukan cantik.

“Terus karena apa Bi?”

Apa jawab yang tepat dari pertanyaan itu, jawaban yang memastikan hanya istrinya saja yang memiliki, tidak bisa dibandingkan dengan yang lain, selama jawaban itu masih dibandingkan maka pasti alamat ada pertanyaan lanjutan.

“Umi inget tidak dengan lomba joget waktu agustusan sebelum kita nikah?”tanya Rian.

“U um Bi kenapa?”

“Inget ndak?” ulang Rian memastikan.

“Iyaaa biii…ingaat, abi nih, kenapa dengan agustusan?”tegas Istri.

“Ya itu mi, agustusan” Gurau Rian.

Tak kuasa juga Rian menahan tawa akan tingkah istrinya, tapi ditahannya, hanya mampu mengulum senyum, kan sekarang jadi Istri yang nunggu jawaban Rian. Itu pertanda apa lagi selain sudah reda ngambeknya. Tapi ketahuan juga senyum tipis Rian hingga istrinya menjawab lebih ketus.

“Mboh ah… Abi nih, ndak usah crita aja lo gitu”

“Eh siapa yang mau cerita, kan mau jawab Mi”

“Hmm Abiiii…!!” sang istri mulai geram.

“Eh..eh.. iya iya…di antara banyak orang yang ada di desa kita hanya Umi yang berani menolak acara lomba joget di kampung, sedang yang lain pun tak satupun menolak, inget?” jelas Rian.

“He em, terus?”

“Benar Mi, hanya Umi yang menolak ketika itu, dan itu artinya Umi paling bisa menjaga kehormatan diri Umi ya kan?”

“Ah Abi bohong”

Istri Rian kian bersungut memalingkan muka. Mungkin disangkanya itu kata gombal pereda ngambek.

“Lah bohong gimana Mi?”

“Harusnya kan Abi takut, perempuan kok malah marahin panitia yang selenggarakan lomba, Abi ndak takut abi protes juga?”.

Rian bersorak dalam hati. Bukankah kata yang lebih banyak itu tanda ngambek sudah reda. Posisi sudah mulai netral. Maka lanjut Rian.

“Kenapalah mesti takut Mi? Abi kan Imam Umi, jikalau Umi aja taat untuk jaga kehormatan pasti juga taat pada Abi.”

“Eit Betul sekali Bi, tapi jangan lupa Abi itu imam, gimanapun, Abi yang harus menuntun Umi, karena kelak Abi pula yang dimintai pertanggung jawaban. Kalau berujung pada yang kurang baik, berpulang pada Abi, apa Abi sudah membimbing dengan baik.” jelas Istri tak mau kalah.

Obrolan rumit perkara makan bergeser kemana-mana. Rian hanya bisa menurut saja sampai istri lega, dan terpenting Rian sudah tidak disalahkan lagi.

“Mii.. Ketika di dunia bisa panjang perkara siapa yang musti bertanggung jawab, bagaimana jika di akhirat? Yang sudah di depan surga dan neraka? Bahkan istri pun akan membebani suami, tak hanya di dunia, tapi juga hingga akhirat. Bayangkan Mi!. Betapa berat hisab Abi itu.” jawab Rian kian perlahan. Seolah mengeluh keberatan.

“Bi…Umi ndak bermaksud begitu. Kan jikalau suami membimbing istri dengan baik pasti istri akan mampu juga meringankan beban suami kan Bi?”.

“Dan karena beratnya beban seorang suami itulah Mi, maka taatnya istri menjadi utama. Umi menaati Abi dan akan memudahkan Abi bertanggung jawab nanti. Cantik Umi itu karena ketaatannya Umi.”

“He’em Bi, tanggung jawab Abi sudah berderet banyak, nah terus kelak Abi harus tanggungjawab Umi juga, semua kelakuan Umi, Abi juga turut tangungjawab jika Abi tidak membimbing Umi, rasanya kok ya kasihan menuntut macam-macam ke Abi, maafkan Umi yah Bi?. Hm..Kok jadi sendu gini jadinya Bi?. Bii.. makan yuk, umi lapar !”.

Rian hanya diam sambil mengangguk-angguk memandang istrinya menjelaskan panjang lebar. Rian enggan memotong, hanya menatap Istrinya. Membiarkannya lega dengan suasana hatinya. Toh Rian juga sudah lega melihat istrinya sudah tidak bersungut manyun lagi. Adil.

“Hm.. ndak mau ah” jawab rian singkat.

“Lho kok jadi Abi yang merajuk?. Kan tadi umi yang merajuk?””

“Ooo jadi tadi umi merajuk?”

“Abii….”

“Hehe.. ayok, makan buat Umi” sahut Rian tersenyum lega melihat Istrinya sudah mulai tersenyum pula.

“Eh ndak boleh, makan yah buat Abi sendiri” protes Istri.

“Hihi buat Umi biar makin gembul. Hmmm….dasaaaaar gembuuul… ” seru Rian. Belum selesai berkata tangannya sudah mencoel pipi istrinya. Gemas.

“Huuaamh…jelek..dasar Abi jelek..” jawab Istri tak kalah gemas.

“Jelek jelek begini Abi ada alasan lain pulang lambat Mi”

Istri Rian sudah mulai manyun lagi. Bukan perkara mengambek lagi. Tapi menggurau Suaminya. “Apaaa?” tanya Istri.

Rian berjalan mengambil tas kerjanya. Sambil berjalan dicarinya benda yang tadi sempat dibeli di kios. Istrinya manyun memandangi suami yang ngotak-atik isi tas kerja.

“Nah iniiii diaaaa…bunga lili diuber khusus buat Umi. Hehe” seru Rian girang sembari menunjukkan bunga lili.

“Jadi pulang telat tadi nyari ini juga tadi Bi?” tanya istri lagi. Dijulurkan tangan kanannya menerima bunga dari Rian.

“U um Mi..hihi maaf yah sudah kelipat lipat Mi”.

Tangkai bunga lili digengam istri dengan perlahan. Lupa sudah dengan rasa lapar. Hanya senyum yang terukir lebar.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.

Lihat Juga

Lelah dalam Ketaatan

Figure
Organization