Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Catatan Anak Terbuang

Catatan Anak Terbuang

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Ara Martha)
Ilustrasi. (Ara Martha)

dakwatuna.com – Perawakannya gemuk, wajahnya lumayan tampan, rambutnya ikal, dan kulitnya putih. Itulah yang Sandra tangkap dari pas photo ukuran 3×4 pada selembar kertas. Lekat- lekat Sandra membaca kertas yang dibubuhi materai 6000 dan tanda- tangan itu. Tanpa dia duga ternyata itu adalah surat perwalian atas nama ayah kandungnya “Malin Sampono” yang secara resmi mewakilkan hak perwaliannya untuk menikahkan Sandra kepada wali hakim. Surat itu sebagai jawaban atas permintaan ibunya agar ayah kandungnya tidak lagi mengganggu kehidupan mereka. Ibunya mengatakan “si Sandra lah sanang jo apanyo kini, jan uda gaduah pulo, deksari kama se uda. Kini lah gadang anak, kiro – kiro lah dapek manumpangan iduik baru bacari – cari”. Bahasa Indonesianya kira- kira Sandra sudah bahagia dengan ayahnya yang sekarang, jangan di ganggu, dulu kemana saja. Sekarang anak sudah besar, sudah bisa di mintai bantuan baru di cari – cari. Mungkin dia sadar atas ketidakhadirannya selama ini dalam kehidupan mereka (Sandra, adik, dan ibunya) sehingga dia tidak ingin terlalu menuntut haknya menjadi wali nikah.

Sandra terlahir sebagai anak sulung dari dua bersaudara dari satu ayah dan ibu. Kemudian, dia memperoleh dua adik dari pernikahan ibunya yang kedua, ditambah dua adik tiri (anak kandung ayah tirinya dan istrinya yang sudah meninggal dunia). Ayahnya meninggalkan dia dan ibunya sejak dia berumur satu tahun, ketika itu ibunya mengandung adik pertamanya. Dia meninggalkan mereka begitu saja di rantau orang tanpa sanak keluarga dan harta benda. Hanya kesendirian, duka serta tawakkal kepada Allah yang menemani hari – hari mereka. Ayahnya sempat akan menitipkannya kepanti asuhan karena ia tidak mau membawa Sandra kerumah istri pertamanya. Ibunya baru mengetahui kalau ternyata ayahnya sudah memiliki istri setelah menikah dengannya. Ibunya menolak untuk menitipkannya ke panti asuhan dan ingin mengasuhnya walaupun dalam keadaan yang sungguh sulit. Beliau sedang mengandung dan tidak memiliki pekerjaan tetap ditambah dengan keadaan dirantau tanpa saudara, lengkaplah sudah penderitaannya. Bila Sandra ingat kisah itu, sungguh bertambah kekecewaan dan kebenciannya pada ayah kandungnya. Ia meninggalkan mereka di rantau orang dalam rumah kontrakan dengan perut besar yang dibawa kesana – kemari. Sungguh, nurani yang hilang. Sejak saat itu ia tidak pernah mencari kabar tentang mereka, baik dengan selembar surat maupun bertanya kepada orang.

Mereka harus berjuang untuk hidup mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Sejak ia pergi meninggalkan mereka di perantauan, dalam keadaan hamil ibunya berusaha bekerja apa saja yang halal. Menjadi buruh pabrik, pekerja rumah tangga, pekerja harian dan pekerjaan kasar lainnya pernah ia lakoni. Alhamdulillah, setelah kelahiran anak keduanya ibu Sandra diterima bekerja sebagai guru disebuah sekolah dasar. Saat ibunya membawa Sandra yang saat itu baru berusia sekitar 3 – 4 tahun pergi bekerja pada sebuah sekolah dasar di lingkungan desa transmigrasi dengan bersepeda sejauh tujuh kilometer, kakinya diikatkan pada sadel sepeda. Cukup pegal ia rasakan, namun itu lebih baik dari pada jari – jemari kakinya yang masih mungil harus tergilas oleh jari – jari sepeda. Angin sepoi – sepoi dirasakan membelai – belai wajahnya di sepanjang perjalanan dari gubuk mereka yang beratapkan rumbia dan berdinding papan menuju sekolah dasar di daerah transmigrasi itu. Disepanjang jalan raya ramai berlalu lalang orang – orang pergi bekerja untuk menjemput rizki. Memasuki daerah pedesaan, hamparan sawah menyambut kedatangan mereka setiap pagi, nyanyian burung – burung pipit terdengar jelas di telinga, serta sayup – sayup suara beberapa petani menyapa ibunya dengan kata ”selamat pagi bu ”. Sambutan itulah yang memberikan semangat baru pada setiap kayuhan sepedanya. Para warga transmigrasi itu memang sangat menghargai kehadiran guru untuk mengajar anak – anak mereka karena perjalanan yang sangat jauh untuk mencapai desa tersebut. Desa itu dulunya merupakan hutan belantara yang di buka lalu ditempatkan beberapa kepala keluarga transmigrasi dari pulau seberang. Mereka di persilahkan untuk menggarap lahan yang baru di buka tersebut dengan berbagai tanam – tanaman yang cocok dengan jenis tanah di sana. Mereka sangat bersahaja dengan tampilan khas petani. Baju yang kumal karena terkena lumpur sawah, topi lebar, dan wajah dengan bercak – bercak kehitaman karena terbakar matahari. Namun, satu hal yang membuat semuanya terasa indah yaitu senyum tulus mereka dan keikhlasan menjalani segalanya.

Sambutan itu yang membuatnya sejenak melupakan pegal di kakinya karena diikatkan pada sadel sepeda. Sungguh pengalaman yang tak kan pernah dia lupakan. Berjuang untuk hidup di rantau orang hanya berdua saja bersama ibunya. Dalam hati dia bertanya “mengapa kami hanya berdua?” sementara teman- temannya memiliki ayah, nenek, kakek, kakak dan adik. Pernah suatu ketika, terlontar juga pertanyaan itu dari mulutnya. Ketika itu hari raya idul fitri, rumah – rumah tetangga terlihat ramai di kunjungi sanak keluarga. Dia bertanya pada ibunya ”ma, kenapa rumah orang- orang ramai? Rumah kita kok ndak”. Ibunya menjawab ”keluarga kita jauh”. Kesepian yang diarasakan ketika hari raya tiba saat orang lain bergembira dengan sanak keluarganya. Sandra merasa sangat terasing hanya berdua saja di dunia ini.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Pada tahun ajaran baru ini guru- guru tidak diizinkan membawa anak mereka kesekolah karena di khawatirkan akan mengganggu konsentrasi dalam mengajar. Sehingga Sandra harus dititipkan di rumah tetangga. Pagi – pagi sekali ibunya sudah masak untuk makan mereka hari ini. Beliau membungkuskan makan siang untuknya sebelum menitipkan Sandra ke rumah tetangga. Sandra pun harus melewati hari yang membosankan karena di sana dia tidak punya teman. Keponakan – keponakan tetangganya itu pergi kesekolah. Ada yang kelas 4, 5 dan 6 sekolah dasar. Jadilah dia sendirian bermain di halaman rumah tetangganya, di ajak bermain di dalam rumahpun dia tak mau karena merasa asing. Sandra selalu menyandang bungkusan nasi itu untuk makan siang, dalam fikirannya yang masih anak – anak “dengan apa aku akan makan siang nanti kalau bungkusan itu hilang”. Sandra merasa malu ketika mengingat kekonyolannya waktu itu. Bersamaan dengan pergantian detik, menit dan jam tugas ibunya pun berakhir pada hari itu. Sandra sangat gembira saat ibunya datang menjemputnya. Waktu menunggu yang membosankan segara berakhir. Saat menjemputnya dari rumah tetangga, beliau melihat sandra hanya bermain seorang diri. Esoknya, beliau berusaha mencari tetangga lain yang memiliki anak seumuran dengan Sandra agar dia punya teman bermain selama dititipkan.

Saat matahari kembali ke peraduannya dan hari mulai gelap tak jarang Sandra dan ibunya harus bertandang ke rumah tetangga karena mereka merasa takut dirumah. Mereka sering mendengar dinding rumah kayu mereka yang di congkel maling. Entah maling manusia, benda atau keduanya. Terkadang Sandra harus berjalan sempoyongan karena kantuk setelah menemani ibunya menonton berita malam di rumah tetangga yang berjarak sekitar 500 meter. Memori – memori itu yang selalu Sandra ingat sebagai penyadar baginya saat merasa kesal dengan ibunya, betapa beliau begitu tegar dan kuat bertahan hidup di rantau tanpa saudara dengan segala keterbatasan dan ketakutan. Mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menghidupi dia dan adiknya. Sedangkan “lelaki itu” tidak ada kabar beritanya apakah masih hidup atau sudah mati, yang jelas mungkin dia menganggap mereka bertiga sudah mati sehingga tak perlu di cari – cari. Bahkan mencari kuburan mereka pun dia tak sudi, sungguh naruni yang hilang. Sudah hampir 22 tahun usia Sandra, sampai saat ini dia belum pernah dan mau bertemu dengannya. Sandra bertanya- tanya dalam hati “Tuhan……….berdosakah aku? Satu hal yang selalu kuyakini engkau maha mengetahui dan maha bijaksana”.

Kira – kira dua tahun yang lalu ketika umurnya 20 tahun, ayah kandungnya mencari mereka ke kota tempat Sandra dan ibunya ditinggalkan. Sempat terjadi percekcokakan antara ayah tirinya dan ibunya karena kemunculan ayah kandungnya tersebut. Sandra cukup mengerti dengan perasaan ayah tirinya sehingga dia memilih diam saja. Bersikap netral karena tidak ingin menambah masalah dan menyakiti perasaan beliau. Sesungguhnya dalam hatinya ingin juga melihat wajah ayah kandungnya tersebut, walau hanya sekali. Bagaimanapun darahnya yang mengalir dalam setiap detakan jantungnya. Ketika Sandra berusia 5 tahun dia sering mendengar lagu “Ayah” yang menjadi soundtrack sebuah sinetron yang ia lupa judulnya. Sinetron tersebut berkisah mengenai seorang anak yang belum pernah bertemu ayahnya hingga berusia 9 tahun ia selalu bertanya mengenai ayahnya yang ternyata masih hidup namun mengalami kerusakan wajah parah akibat kecelakaan pesawat sehingga tidak dapat di kenali. Beliau urung kembali kekeluarganya karena melihat istrinya sudah memiliki penggantinya sebelum ia di temukan dalam peristiwa kecelakaan yang mengenaskan itu. Ketika itu, Sandra berfikir mungkinkah ayahnya juga seperti itu? Ibunya mengatakan sewaktu berusia 2- 3 tahun, ketika melihat foto laki- laki di manapun yang Sandra jumpai, dia selalu menyebutnya ayah. Sandra juga tidak tau kenapa bisa begitu mungkin karena naluri seorang anak sangat merindukan kehadiran ayah kandungnya.

Sandra sempat membenci laki- laki. Baginya semua mereka berpotensi menyakiti, ditambah lagi dengan kisah ibunya yang ditinggalkan ayah kandungnya di rantau orang tanpa sanak keluarga, pekerjaan, dan secuil harta. Lengkaplah sudah alasannya untuk membenci laki- laki. Dia pernah berpikir untuk tidak menikah, menikmati hidup semaunya saja, dan bebas bagaikan burung di angkasa. Namun, bayangan ayah tirinya saat ini mengingatkannya bahwa tidak semua laki- laki sejahat itu. Ayah tirinya dengan setia menemani ibunya untuk membesarkan mereka. Dua anak dari pernikahan ibunya dengan ayah kandungnya dan dua anak dari pernikahan ibunya dengan beliau. Dia bahkan membantu menyekolahkan mereka dan membuatkan rumah untuk mereka. Sandra sekarang menjadi dokter spesialis anak, dia ingin menghibur anak- anak agar tak merasa kesepian seperti dirinya dulu. Dia telah memiliki 1 orang anak dari pernikahannya dengan rekan seprofesi. Ayah tirinya sangat sayang dan bangga pada Sandra bahkan melebihi rasa sayangnya dan kebanggaanya pada anak – anak kandungnya. Walaupun semuanya tak berjalan mulus, penuh lika – liku, onak dan duri karena tak ada manusia yang sempurna. Namun, kesediaan untuk bersabar dan melihat kebaikan di balik segala kekurangan menjadi kunci utama baginya untuk menghormati beliau. Orang yang telah menjadi sosok ayah dalam hidupnya. Mungkin, bila tanpa kehadiran beliau kebenciannya pada makhluk bernama lelaki tak kan pernah terobati. Selalu ada hikmah di balik setiap ujian. Inilah hikmah di balik ujian yang Sandra alami bahwa ternyata kasih sayang bisa didapatkan dari orang yang bahkan tak memiliki hubungan darah sedikitpun. Allahu Akbar 3x, maka nikmat tuhan manakah yang kamu dustakan (Surat Ar- Rahman). Terima kasih tuhan untuk semua yang telah kau berikan.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Rani Autila dengan nama pena Ara Martha merupakan dosen Bahasa Inggris pada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat. Ia telah menyelesaikan studi S2 di Universitas Negeri Padang (UNP). Ara Martha gemar terlibat dalam berbagai organisasi di dalam maupun di luar kampus dan gemar menulis baik yang berhubungan dengan pengajaran bahasa Inggris maupun karya-karya fiksi.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization