Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Aku Memilih untuk Hijrah

Aku Memilih untuk Hijrah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (republika.co.id)
Ilustrasi. (republika.co.id)

dakwatuna.com – Merupakan suatu nikmat yang patut kita syukuri bahwa saat ini kita telah memasuki Bulan Muharram 1437 H. Bulan Muharram menjadi bulan pertama yang disepakati dalam penanggalan kalender Islam. Bulan yang setiap kehadirannya menjadi suatu pertanda, bahwa genap satu tahun sudah kita lalui. Bulan yang setiap kehadirannya di awal tahun, akan mengingatkan kita pada peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia Islam. Peristiwa Hijrah. Begitu  banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dibalik kata Hijrah. Kiranya sebagai bentuk syukur kita terhadap nikmat Allah ini, mari kita renungi kembali makna yang ada di dalam kata Hijrah.

Hijrah secara bahasa, memiliki arti meninggalkan, memutuskan, atau berpaling dari sesuatu. Dalam pengertian khusus, Hijrah merujuk pada suatu peristiwa besar dalam Sejarah Islam, peristiwa berpalingnya Rasulullah Saw dan para sahabat dari tanah kelahiran (Mekkah) menuju tanah baru (Madinah) dalam rangka menyelamatkan Iman dan Islam dari intimidasi kaum kafir Quraisy. Jika kita mengambil pengertian yang lebih umum, maka kita akan dapati makna yang lebih luas dari kata Hijrah yaitu sebagai bentuk “tarku maa nahaallahu ‘anhu” atau meninggalkan segala macam bentuk kemungkaran yang dilarang Allah menuju segala sesuatu yang mendatangkan ridha-Nya. Dalam hal ini, kita akan mendapatkan makna yang lebih dalam jika kita coba menelisik lebih jauh peristiwa Hijrah yang menyejarah tersebut.

Tepat setelah datangnya titah, kepada Rasulullah dalam bentuk wahyu, titah hijrah yang menjadi suatu pertanda luasnya muka bumi Allah untuk disinggahi dan beribadah di atasnya, maka tepat tanggal 12 Rabiul Awal – menurut ahli sejarah — segera Rasulullah dan para sahabat menjawab perintah itu dalam bentuk ketaatan yang total untuk berhijrah. Bagaimana tidak, sebuah usaha untuk menyelamatkan Iman dan Islam itu, harus mereka bayar dengan harta juga tahta yang mereka miliki. Kedudukan yang terpandang, kemewahan yang melimpah: rumah, kembala, perniagaan, hingga keluarga tersayang tidak menjadi hambatan. Sepenuhnya mereka tinggalkan dan mereka putuskan untuk berhijrah bersama sang Nabi. Tidak sampai di situ, beragam bentuk intimidasi dan penganiayaan kaum kafir Quraisy terus mereka rasakan selama prosesi hijrah itu terjadi, hamparan padang pasir yang membara di siang hari, dingin yang menggigit tulang di malam hari, jalan yang landai sejauh 350 Km, tanpa bermodalkan alas kaki — bahkan ada yang menyebutkan bahwa Rasulullah pun harus berjalan dengan sedikit menjinjit, agar tidak meninggalkan jejak dan bekas telapak di atas tanah padang pasir — turut mereka rasakan sebagai bentuk onak dan duri dalam perjuangan. Semua itu tidak menyurutkan tekad mereka. Bermodalkan gelora iman yang menggebu dan keyakinan yang menjulang tinggi, hanya keyakinan dan dugaan positif kepada Allah, keputusan itu pun membulat, hingga akhirnya, keputusan hijrah itu, menjadi keputusan yang menyejarah.

Dahsyatnya Hijrah

            Keputusan yang menyejarah. Satu terminologi positif dari penulis untuk menggambarkan dahsyatnya keputusan berhijrah di masa itu. Masa di mana penindasan, penganiayaan hingga intimidasi semakin memuncak di tengah kehidupan dakwah Rasulullah dan para sahabat. Alih-alih ancaman miskin papa, teror hingga pembunuhan akan menghentikan langkah mereka, namun itu semakin memantapkan langkah dan keimanan Rasulullah dan para sahabat untuk berhijrah, untuk menjemput kekuasaan dan kasih sayang-Nya. Sesampainya di Yatsrib – Madinah lama –, dalam kondisi tanpa memiliki apa-apa dan miskin papa, Rasulullah juga Para Sahabat disambut riang oleh kaum Anshar yang telah berislam. Kaum Anshar, yang dalam sejarah, diceritakan kecintaan mereka kepada Rasulullah dan para sahabat, melebihi kecintaan mereka kepada diri mereka sendiri, atau kita kenal itu titik tertinggi dalam persaudaraan, yaitu itsar. Mereka lebih mengutamakan kenikmatan saudara mereka Rasulullah dan para sahabat di atas diri mereka sendiri. Jaminan kenyamanan dan kesejahteraan pun diterima oleh mereka yang berhijrah. Hingga ukhuwah, dengan itsar sebagai pondasi di dalamnya menjadi sedemikian kokoh, dan menguat di tanah Madinah. Ada perpaduan yang cukup menarik di sini. Temu padunya niat yang tulus dan ketaatan yang total dari para muhajirin dalam menjawab titah hijrah, berpadu dengan ukhuwah nan kokoh berpondasi dari itsar kaum Anshar, menjadi racikan yang kondusif bagi terciptanya masyarakat Islam di tanah Madinah. Puncaknya, yang jika ditelusuri, hijrah menjadi langkah awal bagi munculnya negara Islam di jazirah Arab. Sebuah cerminan masyarakat Islami yang menurut ahli-ahli politik modern, dengan konsep kenegaraan yang dimilikinya: hak-hak asasi manusia, kewajiban bernegara, perlindungan hukum, toleransi beragama yang tertuang dalam bentuk piagam Madinah, menjadikan Madinah sebagai negara modern pertama yang berdiri di muka bumi ini, yang dibangun atas dasar konsensus dan dilatar belakangi dengan kontrak sosial yang diterima. Tidak ada otoritasi memaksa dan kediktatoran.

Ditetapkan oleh Khalifah Umar ra., pada masanya di tahun ke 17 sesudah hijrah, Sang Khalifah memutuskan peristiwa hijrah sebagai patokan awal penanggalan Islam, yang kita kenal dengan penanggalan Hijriyah. Alasan utamanya adalah, karena pada peristiwa Hijrah ini, merupakan peristiwa besar yang secara terang memisahkan antara yang benar dengan yang salah. Antara Islam dan Jahiliyyah. Sehingga bisa dimaknai bahwa Hijrah sebagai sebuah momentum bagi kita untuk memisahkan, peluang bagi kita untuk memutuskan, dan  kesempatan bagi kita untuk membuat perubahan. Siapa sangka. Keputusan hijrah itu akhirnya berbuah manis, semanis iman yang menghunjam kuat di hati Rasulullah dan para sahabat.

 “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. an-Nisa: 100)

Kontemplasi Makna

Kini, kita telah ambil cukup banyak pelajaran dari nash-nash sejarah. Tinta emas itu sedemikian cantik tertoreh di atas kanvas peradaban umat manusia. Mari kita ambil pelajaran. Hijrah dalam konteks ini, berarti pindah secara fisik dari suatu tempat yang sulit untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Islam, menuju suatu ruang baru yang kondusif untuk itu. Dalam hal ini hijrah juga berarti, peralihan dari zona nyaman yang cenderung kontraproduktif, menuju zona baru yang lebih mendorong produktivitas dan padat karya. Kata kuncinya berada pada perubahan. Ya. Hijrah berarti berubah.

Pada momentum ini, sebagai bentuk tanda syukur kita kepada Allah, atas nikmat hidup dalam Iman dan Islam selama satu tahun belakangan, dan atas kesempatan untuk mengambil sebanyak-banyaknya pelajaran sejarah dari peristiwa Hijrah Rasulullah dan para sahabat saat ini. Kita cerna semangat para sahabat dalam menjemput panggilan jihad dengan berhijrah, kita makna pencapaian Rasulullah dan para sahabat dari peristiwa hijrah yang dilakukan, sekali lagi, hijrah ini adalah momentum perubahan. Mari berhijrah! Dari segala macam bentuk kemaksiatan baik pikir, tutur ataupun sikap menuju semua yang akan datangkan ridha-Nya. Mari berhijrah! Dari sikap malas dalam beribadah menuju ibadah wajib yang lebih berkualitas, genapkan dengan sunah. Mari berhijrah! Dari miskinnya hati menuju kayanya hati dengan tadabbur dan tahfizh ayat  suci Al-Quran. Mari berhijrah! Dari segala bentuk kelalaian menuju optimalisasi nikmat waktu dalam kegiatan nan produktif. Mari berhijrah! Dari diri yang tiada berarti menuju diri yang senantiasa membawa manfaat dengan prestasi dan karya nan menginspirasi. Tekadkan, tekadkan dengan azzam yang kuat untuk kualitas diri yang lebih baik di masa depan. Aku memilih untuk hijrah. Mari hijrah! Saudaraku.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Al-Baqarah: 218)

Selamat Tahun Baru 1437 H.

Wassalam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pengurus Young Islamic Leader (Yi-Lead), Jakarta.

Lihat Juga

Hijrah Perbaikan Diri

Figure
Organization