Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Di Saat Yahudi Menjadi Tamu Kita

Di Saat Yahudi Menjadi Tamu Kita

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Logo Hamas dan bendera penjajah Israel (naba.ps)
Logo Hamas dan bendera penjajah Israel (naba.ps)

dakwatuna.com – Hiruk pikuk, kepanikan, keributan, keramaian, dan suara tangis tak hentinya menghiasi suasana rumah sakit di kota Gaza. Begitu halnya suasana di luar rumah sakit yang dilantuni banyak suara mobil ambulan, minta tolong, tembakan, ledakan, pesawat, dan teriakan. Korban peperangan terus bertambah. Tiap orang tidak lagi memikirkan dirinya sendiri, mereka yang masih sehat dan kuat berusaha untuk tidak membiarkan dirinya diam hanya menyaksikan pandangan yang menyedihkan itu, terus menolong orang yang terluka.

Syaikh Ibrahim, salah satu tim medis di rumah sakit tersebut memasuki salah satu ruangan pasien. Ia hanya ingin mengecek pasien yang sudah satu malam belum siuman, tiap satu jam ia terus memeriksa pasien tersebut. Ia hanya merasa penasaran dengan pasien ini, karena tidak satu pun dari kaum muslimin yang mengenal pasien tersebut. Ketika syeikh hendak akan keluar menuju ruangan pasien yang lain tiba-tiba ia mendengar suara, “Tempat apa ini? Di mana saya? Apa yang sudah terjadi?”. Syeikh Ibrahim menoleh ke belakang, ternyata pasien tersebut siuman. “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Bersyukurlah kepada Allah taala, dirimu masih diberikan izin untuk hidup. Sedangkan sebagian saudara-saudara kita yang lain sudah mendapatkan gelar sebagai sang syuhada.” kata syeikh kepada pasien sambil tersenyum. Sang pasien seperti kebingungan melihat suasana di sekitarnya, melihat kebingungannya, Syeikh Ibrahim hendak bertanya, “Nama saya Ibrahim, dan siapa nama kamu nak?”

“Nama saya? Saya tidak ingat”

“Hmmm… Apakah kamu punya kerabat?”

“Saya juga tidak ingat”

“Di mana kamu tinggal?”

“Saya juga tidak ingat”

“Apakah kamu tidak ingat sesuatu?”

“Tidak, saya tidak ingat apapun”

“Hmmm…kalo begitu, coba kamu baca surat al-fatihah. Mungkin saja ini bisa membuat ingatanmu kembali normal”

“Surat al-fatihah? Apa itu? Maaf saya juga tak ingat”

Syeikh Ibrahim kebingungan mengatasi pasien yang satu ini, tak ada satu hal pun yang diingat olehnya. Bahkan surat al-fatihah yang sudah lazim sering diucapkan oleh kaum muslimin pun tidak lagi teringat olehnya. “Tidak masalah, saya akan pergi ke ruangan saya dulu hendak mengambil Alquran. Kamu jangan banyak bergerak yah, istirahat saja dulu” kata syeikh kepada pasien. Syeikh pergi ke ruangannya untuk mengambil Alquran, ia berniat hendak mengajarkan baca Alquran kepada pasien tersebut.

Setelah mendapatkan Alquran, maka Syeikh Ibrahim kembali masuk ke ruangan pasien. Syeikh duduk di samping pasien, “ Nak, kemarilah. Saya akan mengajarkan kamu membaca kitab suci Alquran ini” kata syeikh. Pasien tersebut mendekat dengan syeikh Ibrahim. Ia hanya mengikuti setiap kata yang diucapkan syeikh ketika membaca Alquran dengan terbata-bata. Syeikh merasa kebingungan, ia seperti mengajarkan anak kecil yang belum bisa sama sekali membaca Alquran ataupun  seperti seorang muallaf.

Kata demi kata, ayat demi ayat pun dilalui. Tiba-tiba pasien tersebut meneteskan air mata. “Indah sekali kata-kata dari buku ini, darimana kamu dapatkan buku ini?” Tanya pasien kepada syeikh Ibrahim. “Ini bukanlah sembarangan buku. Ini adalah kitab suci umat islam, yaitu Alquran. Kitab Alquran inilah menjadi pedoman hidup bagi kaum muslimin.” Jawab syeikh dengan ramah.

“Bolehkah saya menyimpannya satu? Saya ingin berlama-lama dengan Alquran.”

“Oh tentu saja, kamu bisa menyimpan Alquran saya, Insya Allah saya masih punya beberapa di rumah”.

Ketika mereka berdua terus berdialog, tiba-tiba masuk ke ruangan tersebut seorang yang berbadan tegap, menggunakan pakaian seragam tentara, membawa senjata, dan wajah yang tertutup yang hanya terlihat matanya saja. Ternyata seorang mujahidin dari HAMAS yang masuk ke ruangan tersebut, “Assalamualaikum wahai Syeikh” ucap tentara. “Waalaikumussalam, ada gerangan apa yang membuatmu kemari?”

“Maaf syeikh menggganggu kegiatan anda, kami sedang mencari salah satu komandan tentara israel di rumah sakit ini yang berpura-pura menjadi seorang pasien.” Seketika mujahid ini mengambil sebuah foto yang ada di sakunya dan memperlihatkannya kepada syeikh Ibrahim.

“Ini fotonya, namanya adalah Brith Adamson. Apakah kamu mengetahui orang ini syeikh?.” seketika syeikh terkejut melihat foto yang dilihatkan oleh seorang mujahid tersebut. Ia melihat wajah orang yang dicari persis dengan wajah pasien yang ada di sampingnya.

“ Masya Allah, ini kan pasien saya. Demi Allah saya tidak tahu kalau pasien saya ini adalah komandan tentara Israel” ucap syeikh sambil menunjuk pasiennya tersebut. Seketika itu juga pasien ketakutan atas apa yang dikatakan oleh syeikh tersebut. Syeikh Ibrahim menoleh kepadanya,

“Apakah benar nama kamu Brith Adamson?” Tanya syeikh kepada si pasien, maka ia pun menjawab,

“Benar, nama saya adalah Brith Adamson”.

“Lalu bagaimana kamu bisa dibawa ke rumah sakit ini?”

“Baiklah syeikh, izinkan saya bercerita. Awalnya saya adalah seorang komandan, saya mendapatkan tugas untuk menyerang seluruh warga palestina di bagian tepi barat. Maka saya membawa beberapa pasukan. Kami melakukan penggrebekan, pengusiran, dan serta menembak bagi mereka yang melawan dan tidak patuh dengan perintah kami. Ketika itu kami diserang oleh pasukan hamas, terjadi baku tembak yang sangat sengit. Pasukan hamas muncul dari setiap arah, sehingga mengakibatkan banyak dari pasukanku yang mati dan tertembak. Aku merasa kewalahan, hingga sebuah peluru masuk ke dalam perutku. Aku tak sanggup melawan mereka, dan pasukanku mulai satu persatu habis. Aku putuskan untuk lari dari peperangan. Secepat mungkin aku melepaskan seragam tentara yang aku gunakan, hingga aku mendapatkan pakaian pengganti salah satu dari warga palestina yang sudah mati. Aku berlari menuju sebuah ladang milik warga, hingga akhirnya aku terjatuh pingsan, karena sakit yang tak tertahankan. Ketika aku terbangun, aku melihat banyak kalimat-kalimat arab di sekitar ruangan. Aku tersadar bahwa sekarang diriku berada di wilayah Gaza, kemudian kamu datang kepadaku hendak menanyakan beberapa hal. Aku telah berbohong kepadamu wahai syeikh, aku berpura-pura lupa. Aku takut, bila aku menjawab pertanyaanmu dengan jujur maka pasukan HAMAS akan menemukanku.” Setelah Brith bercerita panjang lebar, maka mujahid hendak ingin menangkapnya.

Syeikh Ibrahim tidak berbicara apa-apa. “Baiklah kalau begitu saya sudah mendapatkan orangnya. Saya akan menahanmu dan membawamu kepada pemimpin kami” kata mujahid kepada pasien.

“Baiklah, kamu boleh menangkap saya. Akan tetapi saya minta satu hal, jangan pulangkan saya ke Israel dan izinkan saya untuk bisa selalu bersama Alquran, saya ingin selalu membacanya dan mempelajarinya. Semenjak syeikh Ibrahim mengenalkan saya dengan Alquran, hati saya merasa tentram dan nyaman. Wahai syeikh, aku ingin masuk ke agama Islam, aku ingin menjadi seorang muslim yang bisa setiap hari bersama Alquran.” Kata pasien.

Tiba-tiba ruangan terasa hening. Syeikh Ibrahim dan mujahid saling memandang, linangan air mata pun tumpah di antara mereka dan wajah kegembiraan terpancar di wajah mereka berdua. “Alhamdulillah, segala puji bagimu ya Allah yang telah memberikan hidayah kepada hambamu ini.” Ucap syeikh Ibrahim dengan penuh kesyukuran. Sang mujahid ikut bahagia dengan kejadian hal itu, ia pun tersenyum kepada Brith. “Baiklah, kamu tidak jadi kami tahan. Kamu adalah tamu kami,saudara kami,dan keluarga kami. Selamat datang di Palestina. Semoga Allah swt selalu memberi hidayah dan rahmatnya kepada kita semua”. Di saat itu juga syeikh Ibrahim menuntun Brith mengucapkan dua kalimat syahadat.

Syeikh Ibrahim mengganti nama Brith menjadi Ismail, karena syeikh sudah mengganggapnya sebagai anaknya sendiri. Tujuan syeikh Ibrahim memilih nama tersebut, karena ingin meniru kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail sebagai bapak dan anak. Hanya saja perbedaannya, kalau Brith sebagai anak angkat dari syeikh Ibrahim dan nabi Ismail sebagai anak kandung dari nabi Ibrahim. Brith senang menggunakan nama tersebut, maka ia akan dipanggil oleh syeikh Ibrahim adalah Ismail.  Ismail tinggal bersama syeikh Ibrahim di rumah yang tidak jauh letak dari lokasi rumah sakit. Hampir setiap hari Ismail ikut membantu syeikh Ibrahim di rumah sakit. Ia banyak melihat kaum muslimin menjadi korban dari kekejaman tentara-tentara Israel. Korban tidak hanya orang-orang dewasa, akan tetapi juga banyak dari kalangan anak-anak yang masih dibawah umur. Hatinya merasa iba melihat pemandangan tersebut dan ada rasa penyesalan yang sangat dalam di hatinya, karena Ismail dahulu ketika masih menjadi kaum yahudi juga ikut andil dalam membantai rakyat Palestina. Terbesit di dalam hatinya untuk membayar seluruh kekejamannya dengan cara ikut andil dalam barisan pejuang Palestina.

Selain membantu syeikh Ibrahim, Ismail juga banyak belajar agama Islam dari syeikh. Ismail mulai diajarkan tentang tauhid, ibadah, dan muamalah. Waktu demi waktu ia sudah mulai bisa berwudhu, shalat, membaca Alquran, dan ibadah-ibadah yang lainnya. Pemahamannya terhadap agama islam itu sendiri juga semakin meningkat. Ismail mulai banyak dikenal banyak orang dari kaum muslimin di Palestina, hingga keberadaannya di ketahui oleh pihak Israel.

Sebuah surat datang kepada Ismail dari pihak Israel. Awalnya ia merasa bingung, mengapa Negara jahiliyahnya dulu itu mengirim surat kepadanya. Ternyata surat tertulis dari orang tuanya, “Wahai anakku, apa kabarmu? Sudah lama kami tidak mendengar kabarmu. Sudah 2 tahun lamanya kami merindukanmu. Terakhir kami mendengar bahwa dirimu sudah mati dalam peperangan. Kami merasa sedih dengan hal itu, akan tetapi semua kesedihan itu sudah berhenti semenjak kami mendapatkan laporan bahwa dirimu sekarang berada di kota Gaza. Pulanglah,pulanglah ke rumah, kami sedang menantimu di sini. Kami sangat merindukanmu nak! Sekarang ayah dan ibu sudah sangat tua, dirimulah satu-satunya anak yang kami banggakan. Kami ingin sebelum kematian datang, setidaknya bisa sekali saja melihat wajahmu.” Surat tersebut tertanda nama ayahnya Sachlev Gross dan ibunya bernama Elsa Leviella.

Setelah membaca surat dari kedua orangtuanya, maka Ismail pun membalasnya. “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah ta’ala tuhan yang tiada duanya dan Dia jugalah yang telah memberi petunjuk kepadaku di jalan kebenaran ini yaitu agama islam. Ayah dan ibu yang juga aku rindukan, maafkan diriku jika selama ini telah membuat kalian berdua bersedih atas kepergianku. Ketahuilah bahwa selamatnya hidupku ini dikarenakan kasih sayang tuhanku yaitu Allah ta’ala. Aku juga minta maaf jika berita dariku ini akan membuatmu bertambah sedih, bahwa sanya diriku telah masuk agama islam, agama yang indah, baik, damai, dan selamat. Ayah dan ibu, maafkan aku tidak bisa kembali ke kota Tel Aviv. Memang dahulu aku tinggal disana, karena agamaku masih yahudi, akan tetapi sekarang di kota Gaza ini aku mendapatkan keluarga yang sangat luar biasa dan baik. Mereka seluruh kaum muslimin di Palestina adalah keluargaku.” Demikianlah surat yang dibuat Ismail untuk kedua orang tuanya.

Selang satu minggu, Ismail kembali mendapatkan surat dari kedua orang tuanya. “Wahai anakku, kami paham apa maksudmu. Kebebasan ada pada dirimu, kami tidak marah dan juga tidak akan memaksamu untuk kembali memeluk agama yahudi. Pulanglah wahai anakku, walaupun hanya sebentar. Kami sudah sangat merindukanmu, keamananmu dan keselamatanmu selama di Negara Israel akan kami jamin. Ayah dan ibu sudah mendapatkan izin dari Kepala Keamanan Negara untuk melindungi kehadiranmu selama berada di kota Tel Aviv.”

Mendapatkan surat dari kedua orang tuanya tersebut, hati Ismail merasa senang. Ia hendak berniat untuk mengajak kedua orang tuanya untuk masuk islam seperti dirinya. Ismail pergi menemui syeikh Ibrahim untuk menyampaikan keinginannya pergi menemui kedua orang tuanya di kota Tel Aviv, sekaigus ia bertujuan hendak berdakwah kepada orang tuanya. Awalnya syeikh Ibrahim tidak menginginkan ismail pergi kembali ke negaranya, karena ia sangat paham betul bagaimana liciknya orang yahudi. Ismail terus mendesak syeikh Ibrahim agar dapat mengizinkan kepergiannya, dengan hati yang penuh kekhawatiran akhirnya syeikh Ibrahim pun mengizinkannya.

Setelah mendapatkan izin dari syeikh Ibrahim,maka Ismail mulai mempersiapkan perbekelannya. Seorang prajurit HAMAS datang kepadanya hendak memberikan sesuatu kepadanya, yaitu alat komunikasi buatan HAMAS yang tidak bisa di deteksi oleh kecanggihan militer israel. Prajurit itu berkata, “Jika mereka berdusta kepadamu, maka gunakanlah alat ini. Alat ini berfungsi untuk mengarahkan roket-roket dari gaza menuju negara israel.” Ismail pun menjawab, “Insya Allah alat ini akan saya gunakan disaat saya benar tidak mampu lagi untuk berbuat di kota Tel Aviv, akan tetapi selagi saya mampu mengatasi keadaan, alat ini belum bisa saya sentuh”

“Baiklah hal itu tidak masalah, akan tetapi ingat bahwa yahudi itu licik pikirannya dan kita sebagai muslim harus lebih licik dari pada mereka. Berhati-hatilah saudaraku, semoga Allah ta’ala menjagamu selama di sana.”

“Terima kasih saudaraku, semoga kita diberi kemenangan oleh Allah ta’ala”

“Amiin”

Dengan hati yang mantap dan penuh keyakinan Ismail pun berpamitan dengan syeikh Ibrahim dan warga Gaza. Terharu dan sedih ketika Ismail berpamitan hendak meninggalkan kota Gaza, sebenarnya bisa saja ia menolak untuk kembali ke negara Israel dan menetap di kota Gaza, akan tetapi ia melihat ini adalah ladang dakwah besar yang harus ia jalani walaupun nyawa taruhannya. Ismail diantarkan menggunakan mobil oleh kerabat syeikh Ibrahim sampai di pintu perbatasan gaza dan Israel. Ia mulai masuk ke negara lamanya dengan aman, sebuah mobil jeep dengan bendera kecil yang berwarna putih dan biru serta ada bintang david di tengahnya datang menjemputnya di perbatasan kota tersebut.

“Selamat datang kembali di negara Israel komandan, kehadiranmu sudah lama kami nantikan” kata salah seorang yang ada di mobil tersebut sembari membuka pintu untuk mempersilahkan masuk untuknya. Sebelum masuk mobil Ismail hendak bertanya, “Siapakah kalian?”

“Kami adalah mantan murid-muridmu dahulu yang pernah kau latih”

“Lalu apa tujuan kalian datang kepadaku?”

“Sesuai yang telah disepakati komandan, bahwa dirimu akan kami antar menuju rumah ayah dan ibumu di Tel Aviv”

“Baiklah jikalau begitu”

Ismail masuk kedalam mobil jeep tersebut, ia melihat hanya ada sopir dan satu orang mantas muridnya dulu yang duduk di sampingnya. Selama di perjalanan Ismail lebih banyak diam ketimbang berbicara hingga sampailah ia di halaman rumah lamanya tersebut. Dari jendela mobil ia melihat ayah dan ibunya sudah menunggmu di depan teras rumah, ada sedikit kebahagiaan di hatinya untuk bisa bertemu kedua orang tuanya. Ketika ia berjalan menuju rumah, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia melihat di dalam rumah ada beberapa orang selain ayah dan ibunya, kecurigaan muncul di hatinya tetapi ia berusaha untuk tetap tenang dan rileks. Ismail mulai masuk rumah dan berjumpa dengan ayah dan ibunya, tapi ia masih tidak mengenal beberapa orang tersebut. “Siapa mereka?” tanya Ismail kepada ayahnya. Sang ayah hanya tersenyum dan berkata, “Kembalilah kepada agama yahudi, maka kamu akan aman.” Ismail tiba-tiba terkejut dengan ungkapan tersebut, ternyata mereka berdusta. “Tidak! Tidak! Tidak akan! Apa-apaan ini, bukankah saya diberi kebebasan?” ungkap tegas Ismail, akan tetapi orang-orang sekitar tidak mempedulikannya hingga tiba-tiba ada benturan keras di bagian leher belakangnya.

Setelah pingsan beberapa jam Ismail terbangun, akan tetapi dirinya tidak bisa bergerak dikarenakan diikat badan, kaki, dan tangannya di kursi. “Wah…wah…bagaimana tidurnya? Menyenangkan?” kata salah seorang di sekitarnya. Ismail dikelilingi oleh sejumlah orang yang tentunya orang-orang Israel. Mereka hendak melakukan penyucian pikiran kepada Ismail untuk kembali ke agama yahudi. “Hai Brith! Kembalilah ke yahudi, maka dirimu akan mendapatkan kembali pangkat komandanmu. Lagi pula, apakah kamu tidak iba melihat kedua orang tuamu yang sudah tua renta itu?” tanya salah satu di antara mereka. Ismail yang imannya telah diasah kuat oleh syeikh Ibrahim justru menolaknya dengan keras, “Tidak! Tidak akan, sampai kalian memberikan jabatan presiden pun tidak akan kujual agama islam yang suci ini untuk duniaku”. Mendengar jawaban tersebut, orang-orang di rumah itu merasa panas, jengkel, dan marah.

Ismail disiksa habis-habisan. Dipukul,ditampar,ditendang, dan bahkan sudah sekian kalinya darah keluar dari hidung dan mulutnya. Bahkan sampai ayah dan ibunya membujuknya untuk kembali ke agama yahudi tetap tegas ia menolak. Sampailah diujung keputus asaan mereka dalam membujuk Ismail untuk kembali ke agama yahudi. Salah seorang mereka menodongkan senjata di kepala Ismail, “Ini pertanyaan terakhir, jika kamu tidak mau kembali maka peluru ini akan bersarang di kepalamu” kata si penodong. Ismail menjawab, “asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammad rasulallah”, seketika ‘doooorrrrr’ sebuah darah bercucuran di kepala Ismail. Ternyata kepala si penodong pistol tadi pecah tertembak oleh sniper HAMAS yang berada di luar rumah. Orang-orang di rumah tersebut panik, tiba-tiba dari lantai rumah bunyi suara bom ‘dhuaaarrr’. Ternyata prajurit-prajurit HAMAS keluar dari bawah tanah melumpuhkan semua pasukan Israel yang ada di rumah dan sekitarnya. “Ismail! Alhamdulillah kamu masih selamat, aku akan melepaskanmu dan membawamu kembali ke gaza” kata salah seorang prajurit. Ismail bertanya, “Bagaimana kalian bisa menemukanku?”

“Alat komunikasi yang telah diberikakan kepadamu memberikan petunjuk kepada kami atas keberadaanmu”

“Terima kasih wahai prajurit-parjurit Allah, semoga Allah memberikan surga kepada kalian”

“Ayo Ismail kita harus cepat, karena tentara-tentara Israel akan menuju kemari dan roket-roket dari gaza juga sedang mengarah kemari untuk menghancurkan musuh-musuh Allah.” Dengan bergegas mereka kabur melalui terowongan bawah tanah yang telah mereka buat dari gaza hingga rumah orang tua Ismail di Tel Aviv. Sedangkan mobil-mobil militer israel berdatangan dari segala arah mengepung rumah tersebut. Ketika para tentara tersebut memasuki rumah, tidak ada satu orang pun yang mereka temukan kecuali mayat-mayat teman mereka yang telah tertembak mati. Tiba-tiba terdengar suara dari langit, salah seorang dari luar rumah berteriak, “Awas! Ada roket mendekat!” ‘dhuaaaarrrr’ beberapa roket menghancurkan lokasi tersebut. Allahu akbar! Allah swt memberikan kemenangan kepada prajurit-prajurit HAMAS.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Biasa dipanggil Magiril oleh banyak orang. Kelahiran provinsi Riau yang tepatnya di kota Pekanbaru. Orang tua bernama (Alm) Syahrul Ashandra dan Ummu Khadijah. Anak pertama dari 5 bersaudara. Lulusan dari pesantren Al-Ihsan Boarding School Riau, kemudian Alhamdulillah dengan izin Allah swt dapat berkesempatan untuk kuliah di Universitas Al-Azhar, Cairo hingga sekarang. Sekarang masih menempuh strata satu, jurusan Syari'ah Islamiyah.

Lihat Juga

“Trump baik bagi Israel, buruk bagi bangsa Yahudi”

Figure
Organization