Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Lelaki Pembuka Pintu Surga

Lelaki Pembuka Pintu Surga

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut)
Ilustrasi. (kawanimut)

dakwatuna.com – Gaida keluar kamar dengan dada berdebar kencang, ia raba nadi tangannya yang berdetak kuat, matanya sempatkan melirik jam dinding menghitung kecepatan nadi yang luar biasa sampai takikardi, yakni 90 kali permenit, sama halnya seperti lari keliling lapangan.

Awalnya selepas Maghrib Gaida sedang melakukan rutinitas hariannya yakni mengulang hafalan juz 30 nya, kali ini surat An-Naziat yang dimurojaah Gaida. Dengan sedikit menyesal pada dirinya sendiri karena sulit meluangkan waktu hingga hafalannya tak bertambah Gaida mulai mengazzamkan diri untuk memperbaikinya sebab sahabatnya Deana pun selalu komentar terhadap hafalan surat yang dimilikinya.

“Cah ayu, usia sudah mau 25 tahun, kapan hapalannya bertambah? aku temenmu sampe bosan lihat kamu mondar-mandir gak nambah hapalannya…. katanya mau nikah?”.
Bluk! bantal empuk sukses Gaida lemparkan ke arah Deana, sahabat dekatnya yang sore itu berkunjung ke rumahnya bersama anak kesayangannya,

“Cah ayu, untung aku gak lagi gendong anak lanangku, bisa-bisa nangis dia kamu timpuk pake bantal!”

Sekarang semua boneka-boneka yang bertengger di atas kasurnya satu per satu Gaida lemparkan ke arah Deana sambil tertawa keras.

“Gaida… bukan hanya hapalannya yang gak bertambah tapi kelakuannya masih kaya abege, pantes… kapan… nikahnya?”.

Bluk!

Sekarang bukan bantal atau boneka yang melayang ke udara tetapi ucapan Deana yang seolah lemparan batu ke hatinya. Gaida diam ia berhenti tertawa, suasana hening seketika, Deana yang menyadari ucapannya terlampau keras mengigit bibir bawahnya, perempuan berjilbab abu itu menghampiri Gaida, sementara yang dihampiri justru menghindar. Gaida turun dari atas kasurnya, ia berjalan menuju cermin.

“Kadang aku berpikir, mengapa sampai terlintas dulu menolak lamaran Mas Agung, meski usiaku masih 22 tahun tapi lelaki yang melamarku dia dewasa dan mampu membimbingku. Mengapa aku terpikir ingin menikmati indahnya dunia, padahal setelah menikah kemungkinan menikmati indahnya dunia bersama jauh lebih indah”

“Aku takut setelah menikah duniaku berubah, aku yang bekerja dengan penghasilan lebih untuk mencukupi diri sendiri tak ingin berubah menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di dapur dan pekarangan rumah, aku yang terbebas membelanjakan ini itu semua kemauanku, takut kehilangan moment itu karna harus membagi uang belanja dengan tagihan listrik, padahal Allah mengatur rezeki hambaNya, cicak yang diam saja, yang ikhtiarnya melata Allah kirimkan nyamuk, apalagi manusia, apalagi yang telah membangun rumah tangga…”

“Deana, ternyata bukan hanya usiaku dulu yang masih labil tapi kelemahan imanku, kekalahan diriku oleh dunia yang membuat mataku gelap untuk melihat kebesaran Allah, kurang apa Mas Agung, hanya karena dia baru lulus kuliah dan sedang merintis usaha berjualan herbal dan gamis, aku tega menolaknya? Padahal dari semua teman organisasiku hanya dia yang menjaga interaksinya dari perempuan, kesetiannya pada Tuhan terjamin. Lalu lihat sekarang Mas Agung, kesabaran dan ketekunannya merintis usaha berbuah manis, keluargaku saja belanja kebutuhan sehari-hari ke Market Sunnah miliknya, bukan lagi herbal dan gamis!”

“Dan… berlipat-lipat pula kebahagiannya karena di sampingnya berdiri perempuan bercadar marun dan buah hati yang sedang belajar A..Ba..Ta..Tsa… sementara jika bertemu denganku dia nampak selalu ramah seperti halnya pada pelanggannya yang lain meski tetap menjaga pandangan ciri khasnya, seolah tak pernah terjadi apa-apa… beda halnya denganku…”

“Sssstt…. Gaida, jangan samakan dirimu dengan Mas Agung dan jangan biarkan masa lalu membuatmu tersiksa oleh penyesalan. Dulu itu keputusanmu… maka tak usah kamu ambil pusing dengan penyesalan, terlalu rumit nanti hidupmu, di tengah ikhtiar menemukan jodoh kamu pun permasalahkan masa lalumu. Ngomong-ngomong kapan mau move on? Ayam aja tiap pagi berkokok” Ujar Deana seraya menatap lekat Gaida diakhiri dengan kerlingan mata.

“Kamu cantik… sholehah…”

“Iya.. cantik.. sholehah.. hanya terlalu pilih-pilih!” seru Gaida memotong ucapan Deana yang langsung sahabatnya itu bekap mulut Gaida

“Ucapanmu itu doa, hati-hati!”

***

Tak ada yang lebih lama dari panjangnya masa penantian. Mengetuk pintu pengabulan doa dari waktu ke waktu, menunggu saat mustajab untuk bersujud dengan buncahan harapan. Tak terasa buliran air mata menjadi pelengkap keinginan yang kuat, kekhusyuan dari permintaan yang membawa pada realitas perbaikan diri.

Banyak cerita yang menuliskan perjuangan perempuan temukan tambatan hati yang mengajak berdiri di altar pelaminan, pun itu yang saat ini Gaida lalui. Semoga tak menuai kebosanan sebab memang hal ini benar terjadi. Dijerat usia, dirundung penyesalan masa lalu, ditekan pertanyaan “kapan menikah?” ialah faktor-faktor yang kian menguatkan keinginan, selain tentunya kebutuhan tak kasat mata yang muncul dari diri seorang insan untuk hidup menyempurna.

Pagi ini… tak seperti pagi paginya yang lain. Dengan mata panda yang menandakan Gaida kurang tidur, ia keluar rumah dengan hati ceria. Didekapnya buku-buku tebal materi perkuliahan karena meski hari Minggu sebagai mahasiswa pasca sarjana ia harus menunaikan kewajibannya kuliah non regular. Gaida berjalan menuju shalter bus tempat ia menunggu alat transportasi darat. Kini, kembali dadanya berdegup, setelah kejadian kemarin malam akankah dirinya kembali bertemu sesosok yang selama ini menunggu bus yang sama di shelter tempatnya berdiri ini. Hembus angin pagi menyapa kulit wajah Gaida. Bus biasanya datang pukul 08.00, masih 20 menit lagi. Terlalu pagikah? Pikir Gaida, namun tak lantas membuatnya risau. Gaida ingin menikmati pagi ini sepanjang yang mampu ia lakukan. Gaida memejamkan matanya, memutar kembali betapa perjuangannya menyempurnakan agamanya tidak seperti membalikkan telapak tangan.

“Lelaki yang baik… untuk perempuan yang baik, begitupun sebaliknya….” Ujar Deana menjawab pertanyaan mengapa di tahun kedua perkuliahan dirinya memutuskan menggunakan jilbab lebar.

“Loh, jadi perubahanmu hanya untuk itu, De? Gak ikhlas dong…” Sembur Gaida dengan bibir maju beberapa senti.

“Ngawur! Aku hanya berpikir ini menjadi wasilah, jalan untukku bertemu lelaki sholih. Kamu tahu mana mungkin ada lelaki yang mau sama cewek yang dandanannya kaya aku gini, apa kamu bilang dulu, kaya emak-emak? Susah dapet kerjaan? susah dapet jodoh?. Aku gak peduli!. Dengan penampilan aku yang seperti sekarang aku merasa jauh lebih terjaga, jangankan ikut-ikutan nonton, lihat cowok yang bukan mahromku saja sekarang aku segan….”

“Dan…. Yang pasti, aku merasa patuh pada titah Allah. Selebihnya aku berharap kehidupanku jauh lebih berkah dan cara aku bertemu jodoh sesuai dengan syariat Islam. Aku gak mau pacaran, Gaida, aku gak mau!”.

Gaida mendengar ucapan sahabatnya itu dengan mata tak berkedip. Seterusnya Gaida menyaksikan proses Deana mewujudkan harapan membangun mahligai rumah tangga tanpa proses pacaran. Hanya dua minggu Deana bertemu lelaki itu kemudian menikah dan hidup bahagia sampai anak lanangnya lahir. Dalam hati, diam-diam Gaida pun mengharapkan kebahagiaan yang sama, diazzamkanlah sebuah keputusan besar; tak ingin pacaran.

Memutuskan kekasih yang membuatnya menangis tiap malam lantas terbangun dengan harapan Allah menggantikan yang lebih baik, menolak lamaran pria shalih, dirundung penyesalan tak berkesudah saat usia beranjak seperempat abad tapi suami idaman belum juga nampak ke permukaan, ditanyai orang-orang terdekat “kapan menikah?” Orangtua meski tak mendesak namun terlihat begitu senang tiap menggendong anak orang. Semuanya telah cukup membawa hati Gaida ke jurang kedukaan.

“Aku pasrah aja, De kalau memang takdirku terus melajang….” Isak Gaida pagi itu di pundak sahabatnya. Gaida jika sudah terdesak untuk curhat tak pernah melihat tempat dan waktu, kali ini di shalter bus saat bertemu Deana perempuan bermata bulat itu langsung curahkan isi hatinya.

“Gak boleh gitu, Cah Ayu… semangat! Allah akan berikan yang terbaik, ingat janji Allah yang menciptakan semua makhluk berpasangan….”

“Terus kapan?”

“Gak semua pertanyaan harus dijawab saat ini, Cah Ayu…” Deana menarik tubuh Gaida ke pelukannya. Jarum jam hendak menunjukan pukul 08.00, dari kejauhan bus yang ditunggu Gaida mulai nampak. Oleh jemari tangannya Gaida menghapus sisa-sisa air mata yang membuat wajahnya sembab. Ia berdiri diikuti Deana yang kembali memeluknya.

“Dah… hati-hati….”

“Assalamualaikum….” Sapa seseorang pada Deana setelah dirinya melepas kepergian Gaida, tangannya yang masih melambai pada bus yang dinaiki Gaida menggantung di udara.

“Waalaikumsalam, ya, ada yang bisa dibantu?”.

“Perkenalkan nama saya Ginan, maaf sekali jika saya lancang, apakah teman anda yang tadi bercerita belum menikah?”.

Mata Deana seolah hendak keluar, ia perhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari rambut sampai ujung kaki.

“Oh mohon maaf, saya sepertinya pernah melihat anda di kantor cabang PT.Auraxo, sepertinya anda istri teman saya”

Deana dibuat bingung setengah mati, ingin sekali ia pergi mengingat kepatutan seorang istri berbicara dengan lelaki lain. Deana takut akan bahaya fitnah, melihat gerak-gerik Deana, lelaki yang menyebut namanya Ginan itu segera paham lalu pamit undur diri setelah mengucapkan sebuah kalimat,

“Nanti saya akan bertamu ke rumah suami anda….”

***

Malam itu Gaida dipaksa keluar kamar oleh Deana, dibukanya kain mukena perlahan.

“Pakai kerudung biru ini, dari proposal yang sudah kita pelajari, Ginan suka warna biru…”

“De, betul ini semua?”

“Betul apanya Gaida?”

“Aku merasa begitu cepat, kalian datang tanpa memberiku kabar, kamu minta aku tuliskan data diriku lengkap, apa kamu bilang? Proposal pernikahan? lalu sekarang setelah meminta aku untuk shalat istikharah, kamu datang dengan lelaki yang baru aku lihat fotonya saja?”

“Kamu yakin dengan kemantapan hatimu kan, Cah Ayu?”

“InsyaAllah…”

“Alhamdulillah, sudah ayo, kita temui Ginan di depan, dia sedang menunggu jawabanmu, dia datang untuk mengkhitbahmu. Suamiku sebagai saksinya Gaida, jika Ginan adalah lelaki yang baik, taat ibadahnya, InsyaAllah dia pantas kamu harapkan untuk menjadi imammu dan kita tak pernah tahu apakah kedatangannya adalah cara Allah untuk menjawab doa-doamu?”.

***

“Andai dosa itu menjalarkan aroma bau, entah sengatan busuk seperti apa yang keluar dari celah-celah fisik. Andai dosa itu mengeluarkan lendir, entah wujud seperti apa yang selimuti anggota tubuh dan andai dosa itu mengikis jasad maka sudah tak berpijak lagi seonggok diri yang penuh dosa ini di atas tanah, mungkin telah terkubur menjadi renik-renik tanpa guna menunggu siksa”

“Maha Mulia Allah yang memberi kesempatan utnuk perbaiki diri, menyulam robekan demi robekan yang usang karena ketidaktahuan juga lemahnya iman. Tidak dijadikan manusa tersiksa aroma bau, lendir maupun kikisan yang bersumber dari dosa. Allah beri keleluasan waktu untuk memperbaiki diri, memohon ampunan dan menata kehidupan yang baik sesuai syariat Islam dan denganmu wahai imamku, aku genapkan titah agamaku, ibadah sepanjang usiaku”

“Kau, lelakiku pembuka pintu surga…” Lirih Gaida pelan menyapu peluh yang keluar dari kening suaminya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir dan besar di Garut, nurse, suka puisi dan tulis menulis. Sedang merintis menjadi perempuan baik agar bahagia dunia dan akhirat. Ingin punya anak shalih. Novel, buku kesehatan dan kumpulan cerpen bersama sebagai bukti karyanya, esai, puisi dan cerpen dimuat di koran lokal, bisa berkunjung di blognya.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization