Mengenal Negative Interest Rate: Sebuah Proses “Pengakuan Dosa” Kapitalisme

Ilustrasi. (dainikpurbokone.net)

dakwatuna.com – Seiring berkembangnya waktu, muncul studi baru dalam ilmu ekonomi, yaitu ilmu moneter yang berbicara tentang uang, dengan instrument utamanya adalah suku bunga. Suku bunga dimunculkan sebagai balas jasa atas kesempatan yang hilang dalam memegang uang. Ketika seseorang memiliki uang, ia punya kesempatan menggunakan uangnya itu untuk konsumsi atau untuk investasi—melakukan bisnis. Tapi ketika ia memilih untuk “meminjamkan” uangnya kepada pihak lain, maka pihak lain tersebut (biasanya: Bank) harus membayar sejumlah balas jasa untuk menggantikan hilangnya kesempatan si pemilik uang untuk menggunakan uangnya, dan balas jasa itu kita kenal degan istilah bunga. Terlepas dari “kesalahan berpikir” dalam sistem bunga yang agaknya belum akan jadi fokus dalam tulisan ini, sistem tersebut sudah berjalan bertahun-tahun lamanya dan telah masuk di seluruh sector perekonomian kita. Beberapa ekonom bahkan menyatakan bahwa sistem ekonomi kita hari ini adalah sistem berbasis bunga. Dengan adanya bunga, orang menjadi rela untuk mengorbankan kesempatannya menggunakan uang yang dimiliki untuk kemudian diberikan kepada sektor keuangan agar ia bisa mendapatkan tambahan atas uangnya. Bunga kemudian tidak lagi sekadar balas jasa, tapi telah menjadi insentif yang menggiurkan.

Dan itulah yang terjadi di perekonomian global hari ini. Di tengah kemerosotan pertumbuhan negara-negara maju seperti Amerika, Cina, Jepang, dan juga Uni Eropa, orang menjadi khawatir berinvestasi di sektor riil karena tingkat pengembalian investasi akan jadi sangat lama, atau bahkan berpotensi justru mengalami kerugian. Investor kemudian mencari alternatif investasi non sektor riil, dan larilah mereka ke sektor keuangan. Investasi di sektor keuangan tak terpengaruh oleh fluktuasi di sektor riil (seharusnya terpengaruh, tapi pada kenyataannya sekarang sektor keuangan sudah semakin terlepas dari riilnya), karena mereka akan mendapatkan bunga yang jumlahnya pasti dan tidak berfluktuasi, tak seperti profit dalam investasi sektor riil. Maka para investor kemudian mengalirkan dananya ke berbagai bonds, baik itu milik pemerintah maupun milik swasta dan time deposit. Tak seperti investasi sektor riil yang harus pusing dan berpikir setiap saat dalam rangka memastikan investasi yang kita lakukan masih di jalan yang benar, meletakkan dana dalam bentuk bonds dan time deposit tak membutuhkan effort berlebih. Mereka cukup duduk-duduk saja dan secara otomatis uang mereka akan bertambah sesuai dengan bunga yang tertera. Menggiurkan, bukan? Bahkan bukan cuma investor yang berlaku demikian. Bank umum juga akhirnya lebih memilih memarkir dana mereka di Bank sentral dibandingkan mengalirkannya dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Kondisi perekonomian yang melambat sangat berpotensi memicu kredit macet (NPL) sehingga Bank semakin enggan untuk menyalurkan kredit. Karena mereka tidak menyalurkannya ke dalam kredit, excess money yang mereka miliki kemudian disimpan saja di Bank Sentral (Hoarding) agar mendapatkan pendapatan bunga. Kondisi itulah yang menjadi penyebab macetnya aliran dana yang menuju sektor riil, sedikitnya pasokan kredit, sehingga perekonomian semakin tidak bisa tumbuh. Jika kita baca berita, kita bisa lihat indikatornya berupa unemployment rate yang masih cukup tinggi dan inflation rate yang masih sangat rendah, tidak sesuai target. Ini terjadi secara global.

Maka para ekonom kemudian berpikir, jika seperti ini yang terus terjadi, uang akan terus tertimbun dan sektor riil, yang langsung berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, akan semakin lambat pertumbuhannya. Munculah kemudian ide untuk mengenakan charge atas penimbunan uang atau biasa disebut hoarding agar uang bisa mengalir ke sektor riil. Ide itu lalu dikenal sebagai negative interest rate (tingkat suku bunga negatif).

Secara teori, negative interest rate adalah kebalikan dari positive interest rate: alih-alih mendapatkan fee ketika menabung, anda justru akan dikenakan charge; sebaliknya, bukannya membayar untuk meminjam uang, anda justru mendapatkan fee. Masuk akal? Arus mainstream mungkin akan bilang tidak. Sistem ekonomi sekarang sudah tertanam sedemikian rupa bahwa bunga adalah insentif bagi orang dan bayaran atas opportunity yang hilang. Sulit membayangkan, orang yang sudah merelakan uangnya untuk tidak ia gunakan dan kemudian ia alihkan ke sektor keuangan, justru harus bayar. Namun yang harus menjadi catatan di sini adalah negative interest rate sejauh ini dikenakan bukan pada tabungan deposit (jika kita menabung di bank, yang biasanya niatnya untuk menabung saja, tidak untuk mencari keuntungan dari bunga yang diberikan), melainkan pada time deposit dan bonds

. Biasanya tujuan para investor meletakkan uang di dua instrumen tersebut adalah spekulasi dengan tingkat suku bunga yang diberikan. Memang beberapa bank di Eropa ada yang sudah memberikan negative interest rate di akun deposito, tapi itu hanya untuk customer dengan nilai tabungan yang sangat tinggi. Maka penulis pribadi lebih suka mengasosiakan negative interest rate bukan dengan “paying to save”, melainkan “paying to speculate”. Tapi jangan-jangan, kedepan negative interest rate akan dikenakan untuk semua akun deposito?

Bisa jadi. Pernyataan Mr. Draghi, presiden European Central Bank berupa “whatever it takes” di sekitar tahun 2013 untuk menyelesaikan permasalahan perekonomian Eropa ketika itu memunculkan interpretasi bahwa segala-galanya sangat mungkin terjadi. Zona negative bagi suku bunga adalah sesuatu yang sebelumnya tidak jadi pertimbangan sama sekali, karena memang sepertinya itu tak akan terjadi. Sudah jadi pemahaman umum (yang akhirnya jadi tak pernah dipertanyakan kembali hingga muncullah tahun-tahun berat ini) bahwa interest rate pastilah positif. Namun kondisi keuangan yang carut marut akibat financial crisis menyeret pertumbuhan dan tingkat inflasi ke titik terendah mereka. Maka bank harus menetapkan suku bunga rendah agar tingkat investasi dan konsumsi kembali naik. Sayangnya, pertumbuhan yang diharapkan masih jauh dari kenyataan. Hal itulah yang kemudian memicu ECB mengenakan negative interest rate, sebagai konsekuensi “whatever it takes” yang disampaikan oleh Mr.Draghi. Pengenaan negative interest rate oleh Uni Eropa merupakan pengenaan negative interest rate dalam skala terbesar hingga saat ini, dan itulah yang kemudian memunculkan pembahasan dan diskusi mendalam. Jannet Yellen, direktur The Fed, pun ikut berkomentar.

Bagi Yellen yang merupakan pemimpin The Fed—Bank Sentral Amerika, di mana Amerika adalah pusat kelahiran kapitalisme, negative interest rate adalah sebuah kesalahan dan tidak perlu digunakan. Setidaknya ia memiliki dua alasan. Pertama, negative interest berpotensi meningkatkan tingkat kredit ke level yang sangat tinggi, karena orang justru dibayar untuk meminjam uang. Padahal kondisi di sektor riil belum sepenuhnya pulih: masih banyak orang yang belum punya pekerjaan, harga-harga juga masih rendah sehingga profit belum balik ke levelnya semula. Muncul kekhawatiran akan terjadi gagal bayar besar-besaran, yang kemudian akan tercermin dalam angka non-performing loan­ yang tinggi. Jika sudah begitu, tentu kita khawatir sektor keuangan akan kembali menghadapi krisis. Alasan yang kedua, menurut Yellen, karena masyarakat jadi memiliki tendensi untuk mengambil kredit, semakin banyak fee yang harus Bank bayarkan kepada mereka sehingga profit Bank akan semakin tergerus, dan Bank akan semakin terdisinsentif untuk menyalurkan kredit. Itulah kenapa Bank kemudian mulai menetapkan negative interest rate pada akun deposito costumer mereka, terutama pada tabungan yang jumlahnya sangat tinggi. Namun hal itu akan membuat para penabung merasa rugi jika meletakkan uangnya di Bank, sehingga muncul kekhawatiran mereka akan membawa pulang uangnya ke rumah. Maka tak heran jika kemudian ada yang menyebutkan, dengan dijalankannya negative interest rate, kita akan memasuki masa di mana orang akan menyimpan uangnya di bawah kasur-kasur mereka, dengan permintaan atas pecahan uang tertinggi menjadi tinggi untuk efisiensi ruang penyimpanan uang.

Apapun perdebatannya, Uni Eropa melalui ECB sudah menjalankan itu. Mereka berani “bertaruh” pada sesuatu yang belum pernah teruji sebelumnya, semata-mata karena memang sistem yang ada terbukti tak mampu menjawab permasalahan yang berkembang. Bunga telah membuat orang memilih meletakkan uangnya dibandingkan memutarnya dalam bisnis sehingga sektor riil menjadi tidak berkembang. Sebaliknya, sektor keuangan tumbuh gila-gilaan. Awalnya masyarakat dunia tak terlalu perhatian ketika pada tahun 2009, The Sveriges Riksbank di Swedia memangkas tingkat suku bunga deposit mereka menjadi -0,25%. Di waktu yang berdekatan, Bank Of New York mengenakan negative interest rate pada tabungan di atas $50m. Negara-negara Eropa kemudian mulai menerapkan negative interest rate seperti Denmark, Jerman, bahkan Spanyol, hingga di bulan Juni 2014 ECB pertama kali menetapkan negative interest rate pada tingkat suku bunga acuan mereka. Masyarakat dunia lalu tersadar dan mulai bertanya-tanya: “What on earth is going on?

Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa kapitalisme sedang dalam proses menuju berbenah—untuk lebih halus dalam menyebutkan kata “kehancuran”. Bunga sebagai instrumen utama dalam analisis moneter ternyata gagal menggerakkan perekonomian, sehingga harus ada pengkajian ulang. Atau jangan-jangan, bunga seharusnya dilarang saja. Dan itulah yang dianjurkan oleh islam jauh sebelum ilmu ekonomi berkembang, jauh sebelum paham moneter menjadi salah satu paham mainstream dalam ilmu ekonomi. Ketika peradaban barat sedang tersadar bahwa sistem yang mereka bangun mengandung kesalahan sehingga mereka mulai melihat dan mengkaji ulang, kita sebenarnya sudah memiliki konsep sistem yang lebih baik, yaitu ekonomi islam. Negative interest rate, misalnya, sebenarnya pada satu sisi—yaitu sisi penyimpanan uang, bukan pada sisi penyaluran kredit—mirip dengan konsep zakat. Hanya saja, jika pada negative interest rate pungutan yang diambil cuma masuk ke kantong bank, dalam zakat pungutan yang diambil langsung dialirkan kepada masyarakat yang membutuhkan, yaitu para mustahik. Di tangan mereka, dana yang diberikan secara otomatis pasti dialirkan menuju sektor riil (melalui belanja konsumsi) sehingga perekonomian bergerak. Melihat fenomena itu, seharusnya kita sebagai umat islam semakin merasa tergerak untuk kembali mengkaji sumber-sumber yang sangat berharga tapi barangkali telah kita lupakan: Alquran dan As-sunnah. Di sana, in sya Allah, kita akan mendapatkan banyak pelajaran dan rancang bangun pemikiran yang akan selalu relevan untuk membangun peradaban. Salam.

Sumber:

Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tertarik pada Ekonomi Internasional. Ketua Umum Forkoma UI Banten dan merupakan Santri Pesantren Mahasiswa Yayasan Keluarga Muslim FEB UI
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...