Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Rindu Sang Murabbi: Film Biopic Dokumenter 1 Dasawarsa Berpulangnya Syaikh Tarbiyah, Ustadz Rahmat Abdullah (1953-2005)

Rindu Sang Murabbi: Film Biopic Dokumenter 1 Dasawarsa Berpulangnya Syaikh Tarbiyah, Ustadz Rahmat Abdullah (1953-2005)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Rindu Sang Murabbi (spesial)
Rindu Sang Murabbi (spesial)

dakwatuna.comRahmat Abdullah telah pergi merengkuh takdir sejarahnya justru ketika dakwah ini sedang memasuki babak baru dengan tantangan-tantangan baru. Menghabiskan seluruh usia produktifnya dalam perjalanan dakwah, Rahmat Abdullah telah meninggalkan ruang kosong yang besar: simbol spiritualisme dakwah kita yang selalu menghadirkan cinta dalam semua kerja dakwah. Para pecinta adalah pemilik ruh yang lembut: lembut seluruh hidupnya, lembut cara perginya. (Anis Matta: Rahmat Abdullah Simbol Spiritualisme Dakwah Kita).

Itulah penggalan tulisan Anis Matta mantan Sekjend & Presiden PKS. Penggalan tulisan tersebut setidaknya memberi gambaran kepada kita tentang siapa sosok ustadz Rahmat Abdullah dan kiprah dakwah beliau semasa hidupnya.

Ustadz Rahmat begitu ia kerap dipanggil murid-muridnya pernah digelari “Syaikh Tarbiyah” (Sang Guru/Pembina) oleh sebuah majalah Islam nasional di tahun 2001, majalah Sabili saat peringatan 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia yang telah melahirkan komunitas Tarbiyah yang kemudian bertransformasi menjadi partai. Karier politik ustadz Rahmat adalah menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai, Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai dan juga menjadi anggota DPR pada tahun 2004, setahun sebelum beliau wafat tahun 2005.

Ustadz Rahmat Abdullah lahir dari pasangan Abdullah dan Siti Rahmah, sebuah keluarga sederhana yang tinggal di Bilangan Karet Kuningan, Jakarta Selatan. Ia lahir pada tanggal 3 Juli 1953 sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Abdullah kecil hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Pada usia 11 tahun, ia sudah berstatus yatim karena ayahnya telah meninggal. Pendidikannya berawal dari didikan orang tuanya yang diikuti pendidikan formal di Perguruan Asy-Syafi’iyah asuhan KH. Abdullah Syafi’I seorang yang dikaguminya. Di Asy Syafi’iyah Abdullah belajar tentang ushul fiqh, mustalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan disamping tetap belajar ilmu nahwu,sharf dan balaghah.Pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan parra masyaikh (kyai). Dan di Asy Syafi’iyah Abdullah menamatkan sekolah hingga tingkat Aliyah (tingkat menengah) dengan prestasi yang gemilang.

Selepas Aliyah, ia melanjutkan pendidikannya dengan belajar pada beberapa ulama (salah satunya kepada Bakir Said Abduh) sambil menjalankan berbagai aktivitas dakwah dan sosialnya. Di usia 31 Tahun, Abdullah mempersunting seorang muslimah bernama Sumarni. Pernikahannya dilaksanakan pada 17 September 1984. Dari pernikahan itu, pasangan Rahmat Abdullah dan Sumarni dikaruniai 7 orang putra-putri. Shafwatul Fida, Muhammad Thariq Audah, Nusaibatul Hima, Isda Ilahia, Umaimatul Wafa, Majdi HafidzurRahman, dan Hasan Fakhru Akhmadi

Menurut KH. Kholil Ridwan, ketua MUI Pusat walaupun bukan tamatan Timur Tengah, Abdullah memiliki ilmu yang lebih mendalam dari mereka yang lulusan Timur Tengah. Dan hal lain yang menjadikan Rahmat Abdullah punya nilai tambah adalah karena Rahmat Abdullah orang Betawi asli tetapi memiliki karakter yang berbeda dengan kyai-kyai Betawi pada umumnya. Salah satunya kalau berceramah tidak ada bumbu-bumbunya seperti kebanyakan kyai Betawi saat itu. Puncaknya adalah pada saat itu Rahmat Abdullah dan KH. Kholil sendiri pernah dikucilkan oleh sebagian kyai Betawi karena dianggap fahamnya berbeda dengan kebanyakan kyai Betawi saat itu. Kalau kyai Betawi itu khan senangnya mengadakan acara shalawatan, maulidan, tahlilan dan rajaban. Tetapi Rahmat Abdullah dianggap tidak mau melakukan. Sehingga dampaknya tidak pernah diundang dalam acara-acara pengajian. Tetapi ternyata berkahnya kita bisa diterima di masyarakat yang lebih luas lagi demikian tutur KH. Kholil Ridwan.

Masih menurut KH. Kholil Ridwan salah satu guru Rahmat Abdullah adalah ustadz Baqir Said seorang kyai Betawi yang pernah nyantri di Gontor dan kemudian melanjutkan kuliah di Mesir. Setelah ustadz Said meninggal karena sakit Abdullahlah yang banyak mewarisi buku-buku ustadz Said dan juga dianggap mewarisi keilmuan dan ide-ide perjuangan ideologi ustadz Said.

Ketekunan dan kerja kerasnya telah mengantarkan Rahmat Abdullah menjadi pemuda pembelajar tanpa menyandang gelar. Ia perpaduan antara khazanah ilmu-ilmu keIslaman klasik dan pandangan Islam modern yang tidak dimiliki oleh banyak orang yang berlabel sang Ustadz. Dunia seni dan sastra sebagai media komunikasi budaya juga merupakan bagian bagi dirinya. Ia gemar membuat produk-produk seni, seperti puisi, esai, butir-butir nasyid dan naskah drama. Oleh karena itulah banyak orang cenderung menjulukinya sebagai seorang “budayawan”

Selain itu aktivitas Rahmat Abdullah pada saat itu bersama anak-anak muda, seniman bahkan preman adalah membentuk wadah seni teater yang sering dipentaskan dilapangan depan masjid Raudhatul Falah belakang Kedutaan Besar Malaysia. Di tempat ini selain mementaskan teater juga Abdullah sering membawakan syair dan puisi. Ada hal yang menarik pada salah satu pertunjukkan teater pada tahun 1984 di mana saat itu teater drama terbuka dengan judul Perang Yarmurk yang juga turut dimainkan bersama Abdullah Hehamahua dikepung intel karena dianggap subversif terhadap pemerintah berkuasa saat itu rezim Orde Baru. Dan pacsa pementasan Abdullah dipanggil untuk menghadap Kodim.

Pada pertengahan tahun 1980an Rahmat Abdullah mulai bergabung dengan gerakan dakwah Islam yang pada saat itu mulai tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama rekan-rekannya Abu Ridho dan Hilmi Aminudin, Rahmat Abdullah mulai merintis gerakan dakwah yang terinspirasi gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir. Di komunitas barunya ini kemudian Rahmat Abdullah lebih banyak berkecimpung dan menghabiskan waktunya. Dengan bermodalkan sepeda motor tua Honda tahun 1966 atau disebut motor chip, ia masuk kampung keluar kampung, masuk kampus keluar kampus, menyebarkan fikrah (nilai-nilai) Islamiyah yang shahih (benar) dan syamil (sempurna). Dan pemikiran-pemikiran tentang Islam yang disampaikan oleh Rahmat Abdullah dan rekan-rekannya itu ternyata mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan yang kemudian dikenal menjadi kelompok Tarbiyah menjadi cikal bakal berdirinya PKS.

Kemudian pada tahun 1991 Rahmat Abdullah bersama rekannya Zainal Mutaqien mendirikan majalah Islam yang bernama Sabili. Lalu pada tahun 1993 bersama murid-muridnya Izzudin Abdul Madjid, Mahfudz Abdurahman, Mahfudz Sidiq membangun lembaga pendidikan dan sosial yang berasal dari tanah waqaf yang diberi nama Islamic Center Iqro di daerah Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Yang hingga saat ini Islamic Center Iqro juga menjadi lembaga yang eksis dan terus berkembang.

Di samping itu Rahmat Abdullah juga melakukan aktifitas lainnya yaitu aktif mengisi ceramah diradio dan televisi. Beliau adalah pengisi rutin rubrik “Titik Pandang Rahmat Abdullah” di Radio Dakta Bekasi setiap Sabtu jam 06.30 WIB. Di radio ini pula Abdullah menggagas rubrik Samara yang disiarkan setiap malam Rabu. Sebagai seorang penulis, beliau aktif menulis buku dan mengisi rubrik di beberapa majalah Islam, seperti majalah Sabili, Islah, Saksi, Ummi, dan Tarbawi. Di majalah yang disebutkan terakhir inilah, beliau secara rutin mengisi rubrik Asasiyat yang kemudian oleh Pustaka Dakwatuna diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Untukmu Kader Dakwah” pada tahun 2005. Dan ketika beliau telah meninggal kumpulan tulisan rubrik asasiyat tersebut kemudian dibukukan dengan judul Warisan Sang Murabbi Pilar-Pilar Asasi.

Proses perjalanan dakwah yang panjang akhirnya telah menggiringnya pada keterlibatan dalam dunia politik yang kini ia geluti. Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah bagian dari dirinya. Ia salah satu pendiri dari partai yang berbasis Islam intelektual itu. Posisi tertinggi dalam partai –yang pada saat ini diperhitungkan itu– telah dicapainya, sebagai bentuk kepercayaan pendukung terhadapnya yaitu diamanahkan sebagai Ketua Majelis PertimbanganPartai (MPP) dan Majelis Syuro PKS, Rahmat Abdullah pun terpilih sebagai anggota DPR-RI (parlemen) dari daerah pemilihan Jawa Barat I (Kota Bandung dan Cimahi)

Setelah menjadi anggota parlemen aktivitas Rahmat Abdullah pun semakin padat mulai dari mengajar, ceramah di berbagai stasiun radio dan televisi, mengisi seminar-seminar keIslaman di berbagai daerah dan luar negeri, menulis artikel di sejumlah media cetak, disamping melakukan tugas lobby politik dengan berbagai kalangan dan aktifitas DPR dan kepartaian lainnya. Di akhir hayatnya, Abdullah masih sempat mengikuti rapat Lembaga Tinggi PKS, pada Selasa (14 Juni 2005) di Gedung Kindo Duren Tiga Jakarta Selatan yang dimulai ba’daAshar sekitar jam 16.30 WIB. Tak ada tanda-tanda kalau Abdullah sedang sakit. Namun, ketika akan wudhu untuk menunaikan shalat Maghrib, Abdullah merasakan sakit di sekitar kepalanya. Beliau sempat diperika sdr. Agus Kushartoro, Direktur Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Ia dinyatakan terkena stroke. Sempat dibawa ke rumah sakit Triadipa Pancoran, akan tetapi karena peralatannya kurang memadai, beliau lalu dibawa ke rumah sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta. Namun di tengah perjalanan, beliau wafat dalam usia 52 tahun, meninggalkan satu istri (Sumarni) dan tujuh orang anak.

Pemakaman Rahmat Abdullah yang dilakukan di lokasi yang tidak jauh dari kediamannya di Pesantren Iqro, Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi ini, dihadiri ribuan pelayat, seperti pengurus DPP PKS, Ketua Majelis Syuro PKS KH Hilmi Aminuddin, Presiden PKS Tifatul Sembiring, Sekjen PKS Anis Matta, kader-kader PKS, anggota DPR, sejumlah menteri Kabinet Pembangunan Indonesia Bersatu, serta sanak keluarga.

Melihat dan membaca kembali tentang sosok almarhum ustadz Rahmat Abdullah baik kepribadiannya dan peran dakwah dan social kemasyarakatannya semasa hidupnya Empower Indonesia Pictures berkolaborasi dengan Warna Pictures memproduksi film dokumenter tentang ustadz Rahmat Abdullah yang kami beri judul “Rindu Sang Murabbi” sebagai upaya untuk mengenang dan menghidupkan kembali spirit dan semangat dakwah serta perjalanan hidup sosok yang penuh inspirasi ini ke dalam bentuk film Biopic Ustadz Rahmat Abdullah.

Mengcapture spirit dan biografi seorang tokoh besar haruslah dipotret secara real tanpa dilebihkan dan tanpa dikurangi, fakta dan realitasnya harus dipaparkan seideal mungkin, oleh karena itu kami memilih bentuk film dokumenter sebagai sebuah formula yang menurut kami sesuai dan tepat untuk melahirkan sebuah karya audio visual tentang sosok almarhum Ustadz Rahmat Abdullah.

Film Dokumenter Rindu Sang Murabbi mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan almarhum. Melalui tuturan cerita dari orang-orang terdekat beliau dan orang-orang yang mengagumi pemikiran-pemikiran beliau agar dapat ditarik benang merah realitas potret kehidupan beliau.

Film ini adalah sebuah dokumenter yang tenang, memikirkan kehidupan dan perenungan kehidupan dari nilai-nilai Islam berdasarkan tuturan orang-orang yang dekat dengannya dan kumpulan tulisan dan puisi-puisinya. Para tokoh/subjek yang terlibat dalam film ini antara lain Ibu Sumarni istri almarhum, Bang Nawawi adik almarhum, Ustadz Izzudin Abdul Madjid murid almarhum dan saat ini sebagai ketua yayasan Iqro, ustadz Ruslan Effendi atau ustadz Lani kawan seperjuangan almarhum, Dr Hidayat Nur Wahid murid almarhum dan saat ini wakil ketua MPR, Ustadz Arifin Ilham dai kondang dan juga murid almarhum, bunda Helvy Tiana Rosa, novelis, sastrawan dan juga murid almarhum. (tiraz/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization