
dakwatuna.com – Ada yang menarik dari kumpulan twitter dari Partai Gerindra di tanggal 17 Sep. Terpapar data tentang penguasaan asing di sektor-sektor strategis per tahun ini yaitu:
- Sektor Migas: 88%.
- Perbankan: 70%
- Pertambangan: 85%
- Perkebunan: 60%
- Otomotif 99%.
- Telekomunikasi 70%
- dan, tanah 93%.
Dari sumber yang sama, masih dapat dilihat komposisi dana yang ada di 3 bank terbesar di Indonesia yang konon kabarnya sedang digadaikan ke Tiongkok, yaitu: Mandiri dengan 60,2 Milyar USD, BRI 51,5 Milyar USD dan BNI dengan 30,8 Milyar USD.
Namun, ajaibnya apabila bank terbesar yaitu Mandiri dibandingkan dengan apa yang terdapat di 3 bank terbesar di Singapore maka perbandingannya adalah seperti ini: DBS dengan 5,4 kali lebih besar, OCBC 4,4 kali lebih besar dan UOB dengan 3,7 kali lebih besar.
Dengan populasi Indonesia yang kurang lebih 50 kali lebih besar dari Singapore tampaknya ada kemungkinan Singapore memperoleh dana sedemikian besar dari luar negeri. Apakah berasal dari para Taipan di Indonesia yang berusaha menghindari pajak dengan memarkir harta mereka di sana? Ataukah dari devisa yang selama ini Singapore terima dari kecerdasan dan kepiawaian mereka?
Lebih menarik lagi adalah melihat peningkatan perusahaan yang dulu sahamnya dimiliki pemerintah antara tahun dilepas dengan hari ini. Indosat yang dilepas di 2002 yang dulu hanya senilai Rp. 5,6 T kini sudah 17,8 kali lebih tinggi nilainya. Dan BCA yang dilepas di 2002 yang dulu seharga USD 425 Juta, kini bernilai 35 kali lipat lebih besar.
Tentu pertanyaan terbesar kita hari ini adalah, apakah data-data itu valid? Jika ya, betapa meruginya bangsa besar ini.
Bila kita tengok dari sudut pandang perpindahan uang dalam sebuah aktivitas bisnis, maka perpindahan uang itu akan terbagi secara sederhana menjadi 3, yaitu: profit, upah dan sewa.
Upah diberikan dari business owner kepada mereka yang bekerja padanya. Tidak ada resiko kehilangan aset di sini sehingga wajar bila upah diberikan dengan nilai kelayakan yang lebih rendah daripada profit yang diterima si business owner.
Sewa diberikan kepada pemilik aset yang menyewakan asetnya di mana benar-benar tiada resiko di dalamnya. Orang yang memiliki sebidang tanah di tepi jalan raya, akan dengan mudah memperoleh keuntungan dengan menyewakan asetnya tersebut kepada business owner. Tak ada effort dan tak ada resiko di sini. Pantas jika sewa bervariasi ditentukan bukan dari usaha pemiliknya namun dari faktor-faktor eksternal seperti: lokasi, manfaat, dll…
Berbeda dengan profit. Inilah yang menjadi “potongan kue” terbesar yang diincar oleh siapapun. Apalagi bila business tersebut terletak di sektor strategis seperti: pangan dan energi. Dengan kepastian akan dibeli oleh konsumennya, business owner di sektor-sektor strategis ini akan mendulang bagian terbesar dari pertambahan nilai suatu business dengan sangat mudahnya.
Memang kehadiran investasi-investasi luar negeri di negeri ini atau meningkatnya performa perusahaan dalam negeri akibat akuisisi kepemilikan oleh asing akan membawa manfaat yang sedikit terasa di masyarakat. Lapangan kerja meningkat, daya beli meningkat dan usaha-usaha lain pun akan tumbuh dengan perputaran ekonomi yang baik ini. Ini adalah satu sisi.
Namun di sisi lain, bila terus menerus perusahaan dalam negeri dimiliki oleh asing, maka tak heran walau upah dan sewa menjadi semacam “cipratan ekonomi” yang menyenangkan hati rakyat kita yang buruh kelas menengah ke bawah, karena sejatinya manfaat terbesar tetap lari ke business owner. Sayang sekali bila para owner ini adalah orang asing, khususnya pada sektor-sektor strategis.
Apakah ini bentuk neo-kolonialisme? Dan apakah akan kita biarkan saja?
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: