السلام عليكم ورحمة الله وبركاته الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ [caption id="attachment_58741" align="aligncenter" width="640"] Ilustrasi. (travelhajidanumroh.com)[/caption] dakwatuna.com - Khutbah Idul Adha 1436: Panggilan Allah telah disambut, kalimat talbiyah terus bergema, takbir tahmid dan tahlil tak henti dikumandangkan untuk memuji kesucian dan ketinggian-Nya. Segala puji hanya layak kita panjatkan untuk-Nya, zat yang menguasai kerajaan langit dan bumi. Dialah Allah yang hanya kepada-Nya segala ketinggian cinta dan pengorbanan kita persembahkan. Hari ini milyaran umat Islam di seluruh dunia merayakan hari yang agung, hari raya Idul Adha 1436 H. Di saat yang sama pula lebih dari 2 juta umat Islam dari segala penjuru dunia berkumpul di Makkah mukarramah untuk memuji kebesarannya dalam rangka menunaikan suatu kewajiban sebagaimana yang difirmankan Allah SWT: وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاَ * Artinya: “Dan Allah mewajibkan atas manusia haji ke Baitullah bagi orang yang mampu mengerjakannya”. (Ali ‘Imran: 97) Suara tangis haru dan ta’zhim ketika menatap ka’bah turut menghiasi kalimat-kalimat talbiyah para jamaah haji. Bagi kita yang belum merasakan suasana haji di tanah suci-pun seolah tak kuat membendung air mata dan ingin rasanya segera menyentuh ka’bah serta ingin segera merasakan betapa indahnya getar iman kerinduan ketika berada di raudhah, makam nabi kita nabiyyullah Muhammad SAW. Kalimat talbiyah itupun seakan-akan terdengar sampai di tempat ini dan terus menggugah spirit keimanan kita untuk ikut merengkuh mabrur di tanah suci Makkah. لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ Jama’ah Idul Adha rahimakumullah, Idul Adha hari ini kembali menjadi momentum bagi setiap pribadi muslim untuk kembali melakukan napak tilas atas syari’at haji yang telah diwariskan oleh Nabi Ibrahim AS. Tepatlah kiranya di kala umat Islam sedang mengalami berbagai problematika kekinian, maka patutlah kita melakukan napak tilas maknawiyah dan mengimplentasikan dalam kehidupan kita tiga pesan moral yang terkandung di balik pelaksanaan ibadah haji. Ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan Islam) Kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji di tanah suci diwajibkan mengenakan pakaian ihram tanpa jahitan. Nuansa putih yang mendominasi pemandangan Mekkah menjadi fenomena yang khas dalam ritual ibadah haji. Di miqat makany, di tempat di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. Tak ada lagi perbedaan dari sisi penampilan antara pejabat dan rakyat, antara raja dan jelata, antara si kaya dan miskin. Semuanya terlihat setara dengan pakaian yang tidak lagi menjadi simbol status sosial. Raja yang biasa mengenakan mahkotanya, harus menanggalkannya. Pejabat yang selalu berdasi, tak lagi dapat mengenakannya. Si kaya yang biasanya mengenakan pakaian yang mahal, tak dapat lagi memakainya dengan bangga. Dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ihram dapat disimbolisasi sebagai bentuk persamaan derajat kemanusiaan. Persamaan dan kesetaraan itulah yang menumbuhkan semangat persaudaraan umat Islam. Tak ada sekat-sekat pemisah yang kerap menjadi hambatan bagi terwujudnya persatuan dan persaudaraan kaum muslimin. Faktor jabatan, kekayaan, perbedaan organisasi, perbedaan suku, dan status sosial lainnya yang tidak disadari telah menumbuhkan sikap superior dan inferior di kalangan umat Islam, tidak dikenal lagi di Mekkah. Dalam kehidupan umat Islam dewasa ini begitu sulit untuk menghindarkan diri dari perbedaan amal peribadatan kita. Perbedaan paham yang kerap terjadi di kalangan umat Islam telah menjadi sebuah keniscayaan yang telah lama dikabarkan oleh Rasulullah, namun perbedaan itu tidak boleh menghancurkan sendi-sendi persaudaraan kita sebagai sesama muslim. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi secara bijak berdasarkan petunjuk Alquran, sunnah nabi dan nasihat para ulama. Allah SWT berfirman dalam QS. Huud ayat 118-119: وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَۚ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu”. Mereka yang tetap menjaga sikapnya sebagai seorang muslim dalam menghadapi keniscayaan perbedaan di antara umat Islam, merekalah yang berhak meraih rahmat atau kasih sayang Allah seperti yang terkandung dalam ayat tersebut. Namun sebaliknya mereka yang menjadi pemicu percerai-beraian karena sikap sentimen yang tidak terkendali hingga saling menyesatkan bahkan mengkafirkan, mereka inilah yang menjadi sumber masalah di tengah umat Islam. Kita tidak boleh terjebak dalam sikap dan tindakan untuk mencari kemenangan, tapi justeru menemukan dan menguatkan perkara yang mendekati kebenaran, karena kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT. Kita tidak boleh pula terseret oleh arus perpecahan, tetapi justru harus menguatkan persaudaraan dengan menghargai pendapat yang berbeda serta menghormati dan mencintai saudara kita yang tidak sependapat khususnya dalam wilayah khilafiyah fiqhiyah ijtihadiyah. Simaklah dan renungkan firman Allah SWT: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَة مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونٍَ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103) Dalam masalah khilafiyah kita dapat saling menghargai untuk menjadikan perbedaan itu menjadi sebuah rahmat, tetapi dalam perkara prinsip agama seperti masalah aqidah tauhid maka kita harus tegas menolak dan melawan yang telah nyata dalam kesesatan aqidah siapapun pelakunya. Mujahadah bisy- Syari’ah (Kesungguhan dalam Bersyariat) Pelaksanaan ibadah haji diawali dengan ihram dan diakhiri dengan melakukan tahallul membawa pesan penting dalam kehidupan kita bahwa seorang muslim harus senantiasa berkomitmen sungguh-sungguh dalam batasan-batasan syar’i khususnya pada perkara al-halal wal haram. Oleh karenanya pengetahuan tentang ilmu syariah menjadi perkara yang wajib dimiliki oleh setiap muslim. Tidak dibenarkan bagi setiap muslim hidup tanpa batas dengan mengabaikan pokok dan prinsip hukum syariah. Sama halnya dengan seorang yang beribadah haji ketika dia sedang ihram, maka tidak dibenarkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang, bahkan perkara yang mubah pun menjadi larangan yang tidak boleh dilanggar seperti mengenakan penutup kepala bagi laki-laki dan mengenakan cadar bagi perempuan. Itulah konsekuensi dari pakaian ihram yang dikenakan. Demikian pula seorang muslim harus tunduk dan patuh terhadap setiap perkara yang diharamkan dan hanya beramal dengan apa yang dihalalkan Allah dalam kehidupan ini. Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram...” (HR. Bukhari - Muslim) Potret wajah negeri kita menunjukkan bahwa betapa masih sulit bagi umat ini untuk menggalakkan nilai-nilai syar’i dan tegas dalam perkara halal dan haram. Padahal penduduk negeri ini mayoritas sebagai muslim dengan agama yang sempurna. Mudah sekali kita menemukan perilaku-perilaku yang tidak syar’i dalam kehidupan umat Islam bahkan tidak mempedulikan lagi status halal-haramnya. Pergaulan bebas, kumpul kebo’, kos-kosan mesum yang tidak mempedulikan batasan-batasan syar’i berpotensi terjadi pembauran antara laki-laki dan perempuan hingga perzinahan masih mudah ditemukan dimana-mana. Budaya malu sudah mulai luntur. Kejahatan lingkungan marak terjadi di mana-mana hingga menimbulkan dampak alam dan sosial yang kian hari kian parah. Dalam mencari nafkah pun terkadang kita masih sering melihat segelintir orang yang menggunakan cara-cara yang batil seperti mengurangi takaran, penipuan, hingga korupsi. Mereka berprinsip, mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal sehingga perilaku mereka cenderung bertipologi H3 (Halal Haram Hantam). Fenomena ini sudah dikabarkan Rasulullah dalam sabdanya: يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أم من الْحَرَام “Akan datang suatu zaman dimana manusia tidak peduli apakah hartanya diperoleh dengan jalan halal atau haram.” (HR Bukhari) Kesadaran tentang pentingnya kesungguhan dalam bersyariat harus terus kita bangun. Pembinaan umat harus terus digalakkan dalam masalah-masalah fiqih. Kita galakkan revitalisasi gerakan hidup halal untuk masyarakat berkah. Harakah Nahdhah (Gerakan Kebangkitan) Pelaksanaan ibadah haji begitu sarat dengan pergerakan. Dari satu tempat menuju ke tempat yang lain, dari satu rukun ke rukun haji yang lain. Para jamaah haji memasuki miqat masing-masing dibarengi dengan mengenakan pakaian ihram, menuju mekkah untuk melakukan thawaf, di bukit Shafa dan Marwah berlari-lari kecil untuk sa’i. Selanjutnya menuju Arafah untuk wukuf, kemudian mabit di Muzdalifah, dilanjutkan ke mina untuk melontar jumrah dan kembali ke Mekkah untuk melakukan thawaf. Begitulah gambaran prosesi ibadah haji yang begitu sarat dengan aktivitas yang dinamis sambil memperbanyak dzikir kepada Allah. Salah satu contoh ritual ibadah haji yang sarat makna itu adalah sa’i sebagai napak tilas apa yang pernah dilakukan oleh Hajar dalam kesulitannya menemukan sumber air di antara bukit Shafa dan Marwah. Hajar tidak duduk termangu menunggu keajaiban dari langit. Ia berlari ke sana ke mari dari satu bukit tandus ke bukit tandus lainnya mencari air. Ia tidak duduk termenung dan menangis tanpa daya. Ia gunakan segenap kekuatan kakinya, kehendaknya, dan pikirannya dengan terus mencari, bergerak, dan berjuang tanpa henti. Sehingganya sa’i dapat dismbolisasikan sebagai perjuangan tanpa henti dan tak kenal lelah. Sedangkan thawaf merupakan simbolisasi ke-ilahian yang universal. Jumroh merupakan simbolisasi perlawanan terhadap kebatilan dan Wukuf di Arafah merupakan simbolisasi kearifan manusia. Seperti halnya dinamika prosesi dalam ibadah haji maka seperti itu pula perjuangan umat Islam untuk mewujudkan khairu umat (umat terbaik). Cita-cita ini menjadi satu rangkaian utuh bersama terwujudnya kebangkitan Islam yang akan meneteskan embun-embun kebaikan dan kasih sayang di setiap jengkal bumi Allah. Islam yang kelak akan menjadi lokomotif bagi peradaban bangsa-bangsa di dunia. Itulah spirit moral yang harus terus tumbuh dan menjadi energi maknawi bagi setiap muslim sejati. كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” (Ali Imran: 110) Langkah terpenting dari sebuah gerak kebangkitan adalah memulai dari diri sendiri, kemudian keluarga dan masyarakat. Kemudian, menyadari persoalan pokok umat saat ini yaitu kejahiliyahan yang melanda umat Islam dan maradhunnafs yakni aspek mentalitas kaum muslimin yang mengalami pelemahan potensi seperti melemahnya keberanian, melemahnya komitmen terhadap Islam, dan melemahnya ketaatan terhadap Allah. Maka sudah sepatutnya setiap kita harus memiliki peran dan bergerak aktif di semua lini kehidupan, baik itu di lini pemerintahan, lembaga legislatif, ormas dan yayasan, maupun lembaga-lembaga pendidikan untuk melakukan perbaikan umat menuju transformasi peradaban yang menjadi cita-cita kita bersama. Masih banyak anggota keluarga muslim yang buta terhadap ajaran agamanya sendiri, banyak pula kaum muslimin yang terperangkap dalam kubangan gaya hidup hedonis dan sekuler hingga membuat gerak kebangkitan ini terus mengalami pelambatan. Tak ada cara selain terus memacu gerak kebangkitan kita agar terus melaju tanpa henti. وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ "Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu..." (At-Taubah: 105) Jama’ah ‘ied rahimakumullaah, Inilah 3 pesan moral dari prosesi pelaksanaan ibadah haji yang tentunya kita harapkan dapat terpateri secara implementatif dalam kehidupan keluarga dan masyarakat muslim. Agar ketiga pesan moral ini tidak terhenti hanya pada simbolisasi tanpa implementasi hingga menjadikan kita hanya unggul mayoritas tapi tidak berkualitas, maka kesemuanya tentu harus bermuara pada sebuah pengorbanan nyata. Akankah kita siap mengorbankan keakuan dan sikap ashabiyyah (sentimen kelompok) kita demi terwujudnya ukhuwah islamiyah hingga sampai pada derajat itsar yakni mendahulukan saudara kita di atas segala kepentingan pribadi dan kelompok atau jamaah kita? Akankah juga kita siap mengorbankan syahwat hewaniyah kita demi sebuah ketaatan yang tanpa syarat terhadap segala perintah dan larangan Allah SWT kemudian mempertegas kembali pemahaman dan sikap kita terhadap perkara halal dan haram? Akankah juga kita siap berkorban untuk meninggalkan zona kenyamanan kita selama ini kemudian bergerak menuju pada sebuah sikap kepedulian terhadap urusan agama ini, mengorbankan sebagian waktu kita untuk berfikir dan bekerja demi kembalinya izzatul Islam wal muslimin? Jika kita siap, maka itulah qurban yang juga bernilai tinggi di sisi Allah SWT. Allahu akbar walillaahil hamd! Semoga Allah tidak hanya memudahkan jalan kita untuk menunaikan syariat haji ke tanah suci Makkah, namun sekaligus menuntun kita dengan taufiq-Nya agar dapat merekonstruksi hikmah qurban dan nilai-nilai ibadah haji dalam kehidupan kita. Dengan sepenuh hati marilah kita doakan negeri ini beserta pemimpin dan rakyatnya agar senantiasa berada dalam naungan dan bimbingan Allah SWT, amiin yaa robbal ‘aalamiin.