Melihat Kondisi Pendidikan di Perbatasan: Puluhan Anak Terancam Putus Sekolah

Ilustrasi. (Dena Fadillah)

“Pak Pejabat… Apa lagi yang harus kami lakukan?
Setiap hari kami pergi berjalan kaki,
Jembatan Miring selalu kami lewati,
Bahkan…. Sungai penuh buaya sudah kami sebrangi setiap hari.

Pak Pejabat, Biarlah kami saja yang seperti ini
Tapi kami mohon…
Jangan biarkan adik-adik kami mengalami nasib seperti kami
Tolong Pak Pejabat… Jangan leburkan sekolah kami

dakwatuna.com – Hati seakan tersayat membaca dan mendengar kata-kata tersebut. Kata-kata yang bisa tergambarkan di wajah polos mereka. Wajah polos dengan senyuman penuh pertanyaan. Entah senang? Ataupun rasa sedih yang selalu mereka sembunyikan?

Gambaran perasaan dari anak-anak bertopi merah yang setiap hari tak pernah mengenal lelah untuk menuju yang namanya sekolah.

Perjuangan yang tak akan pernah mereka lupakan di masa depan, bahwa mereka telah belajar di batas negeri yang kata orang berdasi Gemah Ripah Loh Jinnawi.

“Loh, ko katanya?”

Ya, memang katanya. Karena orang berdasi hanya duduk di kursi melihat tayangan televisi tanpa melihat langsung pendidikan yang ada di batas negeri.

Ya, itulah gambaran pendidikan di perbatasan. Seakan tak pernah surut menjadi perbincangan. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak masyarakat, seolah hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Padahal menurut Nelson Mandela seorang pakar pendidikan dunia, bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia.

Ada hal menarik yang saya amati di perbatasan ini. Istilah yang baru saya kenal ketika di pulau marginal ini. Istilah yang mengundang beberapa pertanyaan di pikiran. Sekolah filial namanya. Sekolah yang tujuan pembangunannya untuk membantu memfasilitasi anak-anak yang jarak rumahnya cukup jauh dan sulit untuk menjangkau sekolah. Apabila kita melihat kondisi geografis Kabupaten Nunukan yang cukup eksotis, memang sekolah filial ini memberikan banyak kontribusi dalam pendidikan di perbatasan. Anak-anak tak perlu lagi meghadapi jauhnya jarak, serta bahayanya medan untuk menuju sekolah. Karena di tempatnya sekarang, sudah ada sekolah berstatus filial yang jaraknya cukup dekat dengan rumah.

Tetapi siapa sangka dengan banyaknya manfaat sekolah filial tersebut, ternyata menyimpan beberapa catatan penting bagi pemerintah daerah. Catatan yang memungkinkan sekolah filial-filial tersebut diberhentikan kegiatan belajar mengajarnya. Adminstrasi lah yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Padahal apabila kita lihat, kuantitas siswa di setiap sekolah filial tersebut terbilang banyak. Contohnya saja di Sei Menggaris, Sekolah filial dari SDN 001 Sei Menggaris berjumlah lebih dari 70 orang. Berarti apabila sekolah tersebut diberhentikan, kemungkinan besar sekitar puluhan siswa juga akan putus dalam mengenyam pendidikan di sekolah.

Memang kompleks permasalahan yang terjadi di sekolah filial ini. “Bagaikan memakan buah simalakama”. Itulah mungkin yang bisa digambarkan kepada pemerintah daerah saat ini terutama di bidang pendidikan. Pemerintah seakan kebingungan dalam mencari solusi sekolah filial ini. Di satu sisi, sekolah filial masih dibutuhkan oleh masyarakat keberadaannya sebagai sarana pendidikan anak-anaknya. Tetapi di sisi lain faktor administrasi dan tenaga pengajar menjadi hambatan keberlangsungan pengajaran di sekolah siswa.

Apabila tetap dilanjutkan proses belajar mengajar di sekolah filial, tentunya peserta didik tidak akan masuk ke dalam data yang namanya DAPODIK. Data seluruh peserta didik yang dihimpun di seluruh Indonesia. Apabila tidak terdaftar di DAPODIK, tentunya status peserta didik akan dipertanyakan nantinya.

Memang belum ada kebijakan yang jelas dalam menyikapi sekolah filial ini. Tetapi apabila kita melihat kondisinya, kemungkinan di leburkannya sekolah ini hanyalah tinggal menunggu hari. Mdeskipun demikian, masyarakat berharap pemerintah bisa bertindak tepat dalam menyikapi permasalahan ini.

 

Relawan Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa (Penempatan Kab.Nunukan).
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...