Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Purnama Jingga di Langit Khatulistiwa

Purnama Jingga di Langit Khatulistiwa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Motor mulai dinaikkan satu persatu ke atas motor tambang, motor yang digunakan untuk melintas menyeberang Sungai Kapuas. Bukan motor dengan roda, tapi perahu bermesin motor. Sepanjang Sungai Kapuas, inilah moda transportasi penting dan disebut dengan motor tambang. Motor tambang selalu jadi pilihan disamping kapal feri. Menunggu kapal feri akan lebih lama, sedang dengan motor tambang, kapan saja bisa berangkat, sekalipun hanya berdua, seperti halnya senja ini. Perahu ini hanya mengangkut dua motor. Dengan empat penumpang didalamnya lima orang dengan sopirnya. Kapal itu mulai merayap membelah kapuas. Dermaga kecil di Rasau Jaya mulai ditinggalkan menuju Desa Pinang diseberang.

“Mas, kenapa melihat langit terus?”

Aziz hanya menghela nafas, tak hiraukan pertanyaan dari kawan seperjalanan. Hingga tanya itu diulang lebih kuat, lebih dekat.

“Mas kenapa melihat langit terus?” ulang Indri

“Coba lihat purnama itu In, orange kemerahan, bagus kan?” Jawab Aziz sembari menunjuk langit tempat purnama menanjak terbit.

“Bagus gimana mas? Malah menakutkan”

Benarlah langit hari ini terasa lebih gelap, kabut asap masih juga mengungkung langit. Gelapnya malam justru menampakan beberapa semburat merah pada daratan yang terbakar. Kebakaran hutan maupun semak belukar. Entah karena pembukaan ladang, atau memang skala industri. Diluar motor tambang ini orang orang masih meributkan dari mana asap ini berasal. Sedang penumpang di sini sedang menghisap asap yang diributkan itu. Asap yang putih pekat yang menghalau cahaya purnama. Membuatnya berwarna jingga.

Aziz menoleh, mendekat ke Indri yang sudah duduk di sebelahnya, suara deru mesin kapal tambang mengaharuskan mereka setengah berteriak untuk bercakap.

“Menakutkan gimana In? itu malah bagus ” kata Aziz kemudian.

“Bukankah bulan berwarna jingga itu lambang bencana mas? Paling tidak sekarang ada bencana kabut asap” jelas Indri.

Aziz mulai keheranan menatap purnama yang tidak pada biasanya berwarna jingga. Maka katanya kemudian.

“Ah kamu In, tidak lah, eh tapi iya juga ya In, purnama jadi jingga begitu karena ada bencana kebakaran hutan, jadi asapnya menghalang sinar bulan”

“Nah kan, hari ini aja asap kebakaran masih kuat mas”

“Tapi tetep bagus In, makin bagus malah” jelas Aziz yang masih juga kukuh dengan pendapatnya.

“Terus apa yang buat bulan itu bagus mas?” tanya Indri.

Tanpa disepakati purnama dipandang bersama, pancarannya terpantul di permukaan sungai terpanjang di Indonesia itu, seumpama tidak ada suara mesin, keheningan di tengah sungai sudah cukup menakutkan bagi Indri apalagi dengan naungan rembulan jingga di langitnya. Andai tidak ada kabut asap pastilah senja ini mulai dingin menusuk kulit, kemarau panjang telah menimpa kota ini, lebih dari dua bulan hujan enggan datang. Jauh disana konon manusia telah menabur awan dengan garam. Memaksa awan agar menurunkan hujan. Tapi nyatanya hujan belum juga datang. Sedang hutan dan belukar terus terbakar tak terhentikan.

Aziz menghela nafas panjang, melenguh. Disilangkan dua tangannya di depan dada untuk menghalau udara yang sejuk.

“Bulan itu mengingatkanku pada masa kecil In, waktu aku senang menyusul ibu”.

“Hm…?” gumam Indri meminta penjelasan.

“Iya, menyusul ibu. Tiap dini hari ibu pergi kulakan di desa sebelah, dan aku selalu menyusul ibu ketempat berbelanja In”.

“Dini hari itu juga Mas?” seru Indri keheranan. Berkerut dahi Indri karena heran.

“U um in. Dan tiap purnama semua berubah In, seperti ada penerang di tengah pematang, aku tak perlu repot bawa senter dan tak perlu payah berkelit dari lubang jalan” terang Aziz

“Ndak takut apa mas dini hari nyusul ibu ke desa sebelah?”

“Hehe namanya juga sayang In, apapun akan dilakukan kan, apalagi hanya nyusul sendiri ke desa sebelah”.

Senyum Aziz masih terlukis ketika menerangkannya, memandang purnama, seolah purnama mampu mengembalikan masa indah bersama ibunya.

“Mas sayang dengan ibu?”

“Iya in, dan siapalah yang lebih kita sayang lain dari pada ibu?”

Pertanyaan yang tidak terjawab, dua orang penyeberang Kapuas larut dalam lamunan masing masing, terlebih Aziz, purnama kembali mengingatkan akan masa kecil. Semasa Ia masih harus bersepeda menyusul ibunya. Semasa kecil jikalau Aziz bangun akan mencari ibunya. Ibu yang tidur bersamanya karena memang tiada kamar lain, Aziz kecil tidur bersama ibu, sementara bapak istirahat di teras rumah menjaga toko tidak berpintu. Jika Aziz bangun dan dirasa ibu tidak di sisi, maka segera Ia raih sepeda dan mengayuhnya. Jikalau purnama. Aziz akan memperlambat laju sepeda. Bukan karena takut tapi purnama membuat semua bercahaya menjadi teman untuk menjumpai ibunya. Aziz terus melaju menuju ibu yang membeli dagangan untuk di jual eceran di pagi hari kemudian. Di warung desa sebelah. Ia selalu dapati ibu sedang sibuk memilih dan mengemas dagangan.

“Lah anakku dah sampai, sini Nak duduk sini,” sapa ibu tiap Aziz datang.

Aziz hanya menjawab dengan senyum lega untuk langsung duduk di samping ibunya yang sedang repot. Tanpa kata. Menurut.

“Nah ini sarapan dulu” lanjut ibu, mengulurkan sepiring bubur dengan tumpangan urap dan tempe diatasnya. Masih mengepul hangat. Aziz kecil segera melahapnya. Memakan hingga habis selagi hangat. Untuk kemudian berdiam di samping ibunya. Ibunya akan segera tahu kalau Aziz mulai mengantuk lagi.

“Eh kalau mau tidur geser sebelah sana Ziz, gih” pinta ibu.

Tanpa ada penolakan segera Aziz bergeser, bagi Aziz kecil berada di samping ibu sudah nyaman, tak mengapa jikalau tidak dalam hangat pelukan, asal Aziz tau ibu ada di sisi, cukuplah itu menentramkan. Dan Aziz pun lelap di sudut ruangan sesak barang. Sumpek ruangan tak lagi dihiraukan. Asal bersama ibu. Dan purnama selalu berhasil membantu Aziz menjumpakan dengan pemberi rasa nyaman. Ibu.

“Mas tidak sedih mengingat kenangan itu?” tanya Indri.

Buyar semua lamunan Aziz. Dipandangnya Indri dengan tatapan sayu jika Indri dapat melihat jelas, maka akan didapati mata Aziz berkaca mengenang semua.

“Ibu kan sudah meninggal, Mas tidak sedih mengenangnya?”. Indri mengulang lagi pertanyaannya.

“Kenapa musti sedih In, Aku punya masa bersama ibu yang menyenangkan, bukankah mengenang hal yang menyenangkan juga menyenangkan?”.

“Tapi jika tidak bisa terulang kan malah jadi sedih Mas?”

“Barang kali begitu In, tapi aku selalu indah mengenang ibu walaupun beliau sudah dahulu pergi, dan tau kau In, kadang aku merasa tidak perlu takut dengan kematian.”

“Mas ngigau, semua orang berusaha lari dari namanya mati Mas”

“Sungguh In, Aku tidak takut. Bukankah dengan mati orang yang hidup kelak akan dijumpakan dengan yang mendahului? Termasuk aku akan dijumpakan lagi dengan ibu kan In? Kenapa musti lari jikalau mati menjumpakan dengan orang yang kita cinta.”

“Tapi mati juga memisahkan kita dari orang yang kita cinta Mas, dengan keluarga dan juga dengan berbagai nikmat di dunia kan? hayoo?”

“Iya In, kita meninggalkan yang kita cinta untuk nanti bekumpul dengan orang yang kita cinta. merekapun akan menyusul juga. Dan In, nikmat dunia akan diganti dengan nikmat yang abadi, kau dengar In? Abadi.”

“Hehe…mas ndak niat bunuh diri kan?” gurau Indri.

“Hm….ndak perlu bunuh diri In, mati seperti dermaga Desa Pinang itu, kita mau tak mau akan menghampirinya. Ya kan?”

Kapal perlahan mendekat dermaga Desa Pinang, tempat tujuan dua orang akan melanjutkan perjalanan. Sekalipun mereka membincangkan soal kematian, api masih juga belum mati. Berbagai media masih memberitakan berbagai jurus untuk membuat mati api penyebab asap pengungkung kota. Bahkan dibentuk pula satuan tugas untuk membunuh api. Sedang dua pengendara di motor tambang mulai enggan membincangkan soal mati.

“Udah mas jangan bahas bulan dan jangan bahas mati lagi, jadi takut dengarnya” rengek Indri.

Tak ada jawaban, yang timbul adalah gerak persiapan, kapal motor air sudah mulai merapat di Desa Pinang, Kapuas telah terlewati. Purnama masih indah membayang di muka sungai. Seperti mata gadis dalam kesendirian.

“Kau tau kenapa purnama selalu indah in?” sambung Aziz sembari memegangi motor yang hendak diturunkan dari motor tambang.

“Kenapa?”

“Karena dia hanya sendiri dalam kegelapan, gemintang pun akan sayu menyingkir kalah indah,”

“Yaelah..udah ayo turun Mas sudah sandar ini”

Berdua mereka tersenyum bersama mengahiri pembicaraan diatas motor tambang. Kembali Aziz mengemasi barangnya, motor yang penuh muatan untuk sajian makan esok hari lengkap dengan tas di depan dan belakang. Berdua mulai menurunkan motor dari atas motor tambang. Seperti layar televisi kuno, temaram mereka saling pandang, untuk segera melanjutkan perjalanan. Sementara sinar purnama tetap mengguyur mereka dengan sinarnya. Purnama jingga di langit khatulistiwa.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.

Lihat Juga

Hisabmu Tergantung Ibadah Salatmu

Figure
Organization