Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Mencari Kepastian di Tengah Ketidakpastian Global

Mencari Kepastian di Tengah Ketidakpastian Global

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (dainikpurbokone.net)
Ilustrasi. (dainikpurbokone.net)

dakwatuna.com – Menunggu itu melelahkan. Apalagi jika tak ada kepastian kapan yang ditunggu-tunggu akan datang. Tanpa kepastian kedatangan, menunggu bisa jadi salah satu kegiatan yang menghasilkan opportunity cost yang cukup besar, sebab kita tidak bisa ekspektasi kapan penantian panjang ini berakhir. Ungkapan itulah yang kira-kira cocok untuk menggambarkan perekonomian hari ini. Kita semua masih setia menantikan kabar kapan The Fed (US Central Bank) meningkatkan suku bunga, sekalipun berkali-kali The Fed sudah memberikan kita harapan palsu: awalnya bilang awal tahun, lalu tengah tahun, lalu September 2015, dan kini sudah September tapi masih belum ada tanda-tanda peningkatan suku bunga oleh mereka. Hari Rabu dan Kamis (16-17 September 2015), FOMC (Federal Open Market Committee Meeting)—semacam rapat dewan gubernur kalau di BI—akan dilaksanakan dan banyak spekulasi apakah The Fed akan menaikkan suku bunga atau masih mempertahankan di titik terendahnya. Pertanyaannya, sekalipun telah berkali-kali digantung olehnya, kenapa kita masih setia menantikan kabar dan keputusannya?

Kita bisa coba runut itu dari kebijakan Quantitative Easing (QE) yang dilakukan Amerika dalam rangka menghadapi resesi besar di 2008-2009. Sebagaimana kita tahu, pada periode itu Amerika mengalami kredit macet (Sub-prime mortgage) yang berujung pada krisis moneter. Menghadapi itu, Amerika melalui The Fed menggelontorkan dana besar agar bisa menggenjot laju perekonomian, yang mana kebijakan tersebut dikenal sebagai Quantitative Easing. Sepanjang tahun-tahun setelah krisis, Amerika telah mengeluarkan 3 paket QE yang jumlahnya sangat besar. Sebelum krisis, total obligasi yang dimiliki oleh The Fed hanya sekitar 800 miliar USD, sementara hingga Desember 2013 (periode akhir QE) The Fed telah memiliki lebih dari 4 triliun USD. Dampaknya sederhana saja, yaitu perekonomian Amerika penuh dengan uang sehingga para investor melirik berbagai negara di dunia untuk menjadi lahan investasi mereka. “Uang yang sedang mencari sarang baru” itu biasa dikenal sebagai hot money. Emerging market seperti Thailand, India, Malaysia, Filipina, dan termasuk termasuk Indonesia menjadi favorit investor untuk meletakkan uang mereka karena suku bunga di negara-negara tersebut relatif tinggi, ditambah dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang masih cukup bagus dibandingkan perekonomian dunia.

Di lain sisi, Amerika telah sengaja menjaga suku bunganya di level terendahnya (0 %) selama satu dekade ke belakang. Hal itu dimaksudkan agar investasi dalam negeri terus meningkat di mana harapan utama dari pemerintah adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat Amerika. Dengan bunga yang sangat rendah, perusahaan tak akan punya hambatan untuk melakukan pinjaman dalam rangka ekspansi, yang pada gilirannya nanti akan menambah lapangan pekerjaan baru dalam perekonomian. Bunga yang rendah juga memicu masyarakat untuk meningkatkan belanja konsumsi mereka melalui kredit, sehingga permintaan dalam perekonomian terus mengalami peningkatan. Dengan analisis Aggregate Supply dan Aggregate Demand sederhana, peningkatan AD akan meningkatkan output sehingga perekonomian mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi kemudian akan mengurangi unemployment rate karena perusahaan butuh tenaga kerja baru untuk menambah kapasitas produksi. Kondisi itulah yang diharapkan oleh The Fed dengan menjaga suku bunga di titik terendah.

Lain halnya dengan Amerika yang sedang berusaha keluar dari krisis, pada periode tersebut, negara-negara berkembang mengalami masa keemasan. Perekonomian mereka, termasuk Indonesia, pada masa itu dimasuki banyak dolar. Kalau kita cek data BI, di masa-masa itu Rupiah mengalami penguatan terhadap USD. Harga saham yang dicerminkan oleh IHSG juga mengalami penguatan, bahkan sempat mencapai titik terkuat dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi kita juga bisa dijaga di rentang 6-7%.

Namun keadaan mulai berbalik ketika Amerika melakukan apa yang familiar dikenal sebagai tapering off.

Tentu saja tak mungkin Amerika terus menyuntikkan dana ke perekonomian. Mereka memiliki beberapa indikator makroekonomi, seperti tingkat pengangguran  dan inflasi, yang digunakan dalam rangka melihat apakah perekonomian sudah membaik atau belum. Ketika indikator tersebut (Unemployment rate 6,5% atau inflation rate >2,5%) terpenuhi, mereka akan menghentikan stimulus ke dalam perekonomian karena stimulus yang terlalu besar justru akan membawa dampak negatif. Namun karena tidak mungkin QE dihentikan begitu saja, The Fed memangkas stimulus tersebut sedikit demi sedikit. Wacana pengurangan stimulus paling parah adalah yang beredar di sekitar pertengahan hingga akhir 2013 oleh Gubernur The Fed dan langsung mengguncang pasar keuangan Indonesia. Hingga akhirnya pada Desember 2013, The Fed menetapkan mengurangi stimulus dari yang awalnya 85 miliar USD/bulan menjadi 75 miliar USD/bulan per Januari 2014.

Dampak dari tapering off adalah dana yang tadinya “diparkir” di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mulai kembali ke Amerika. Aksi penarikan dolar melalui jual saham membuat bursa-bursa negara berkembang mengalami anjlok. Namun hal itu terlihat tidak berlangsung cukup lama karena walau bagaimanapun, suku bunga di Amerika masih jauh terlalu kecil jika dibandingkan dengan suku bunga di negara berkembang.  Indonesia, misalnya, suku bunga kita berada di kisaran 7% (sepanjang pertengahan 2015 ini stay di 7,5%). Tingginya suku bunga acuan tersebut, dalam kasus ini, merupakan hal positif karena mampu menahan laju penarikan dolar dari bursa.

Permasalahan yang muncul sekarang adalah, beredar kabar bahwa The Fed akan meningkatkan suku bunga acuan. Kabar tersebut sebenarnya sudah mencuat sejak lama, namun menjelang rapat FOMC di pertengahan September ini, isunya kembali memanas. Sejak pertengahan tahun 2015, pasar keuangan kita dipenuhi spekulasi akan naik atau tidaknya suku bunga acuan The Fed dan itu membuat indeks saham bergerak fluktuatif. Investor masih belum bisa memastikan apakah IHSG akan mengalami penguatan kembali atau justru berbalik arah menuju zona merah. Jika benar FOMC menetapkan untuk meningkatkan suku bunga, maka dapat dipastikan akan terjadi capital outflow yang dapat memicu pelemahan rupiah dan IHSG. Secara basis poin, sekalipun suku bunga dinaikkan, mungkin hanya akan dinaikkan sedikit dan terasa tak signifikan. Namun faktor Amerika sebagai sebuah negara yang maju, ditambah kondisi perekonomian mereka yang membaik, tentu sudah cukup untuk mengembalikan dolar ke kampung halaman meskipun dengan suku bunga yang hanya dinaikkan sedikit. Belum lagi kalau kita bicara kepanikan di pasar yang memiliki efek domino sangat besar. Bisa jadi investor berlomba-lomba mengambil kembali dolar mereka. Kalau sudah begitu, tentu pemerintah dan BI harus melakukan intervensi yang cukup dalam di pasar, dan tentu bukan kondisi seperti itu yang kita harapkan.

Kita berharap yang terjadi nanti adalah mirip dengan kejadian di akhir tahun 2013 lalu, ketika The Fed mengumumkan memangkas stimulus di sektor keuangan. Sejak pertengahan tahun 2013, wacana untuk hal itu sudah memenuhi benak banyak orang sehingga memunculkan ruang untuk spekulasi di pasar. Di tengah ketidakpastian kondisi tersebut, investor asing tentu khawatir dan banyak yang memilih untuk mengeluarkan dananya dari negara berkembang. IHSG di bulan Agustus 2013 bahkan sempat jatuh lebih dari 20% hingga ke titik 3.967. Net sell di pasar oleh investor asing di pasar saham bahkan nyaris sama dengan dana asing yang masuk di tahun 2012. Begitu parahnya kondisi pasar keuangan kita ketika itu menantikan keputusan tapering off The Fed. Namun, yang justru membuat pasar kembali stabil adalah pengumuman Tapering off oleh The Fed pada tanggal 18 Desember 2013. Secara logika sederhana, pengumuman tapering off tentu akan membuat pasar bergejolak dan ramai dengan arus dolar keluar. Pada kenyataannya, sehari setelah itu IHSG justru ditutup di zona hijau. Yang ternyata terjadi sebenarnya hanyalah maraknya spekulasi. Ketika keputusan itu sudah dikeluarkan, di mana ruang untuk spekulasi menjadi sudah tertutup, para investor kembali merasa aman dan mulai bisa memperhitungkan risiko dan keuntungan secara lebih rasional.

Kita berharap, kondisi fluktuasi  yang terjadi hari ini dan beberapa bulan ke belakang juga hanyalah karena maraknya spekulasi di pasar (selain karena pelemahan rupiah). Pengumuman naik atau tidaknya suku bunga pasca FOMC semoga bisa jadi obat penenang. Kalaupun The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga, mungkin akan terjadi gejolak, tapi pemerintah dan BI sudah meyakinkan bahwa mereka memiliki beberapa alternatif kebijakan yang bisa diandalkan untuk menghadapi situasi tersebut. Apalagi jika ternyata The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga mereka, tentu pasar seharusnya akan merespon positif keputusan itu. Para investor sesungguhnya hanya menunggu pengumuman, karena kondisi yang penuh ketidakpastian sangat tidak baik bagi pasar keuangan. Ketika nanti pengumuman itu dikeluarkan, semoga para investor bisa lebih bijak dalam menentukan apakah akan menarik dolar mereka atau tidak, dan dengan demikian pasar menjadi lebih bisa beradaptasi dan kembali stabil.

Karena pada akhirnya, yang kita butuhkan memang hanyalah kepastian. Salam.

Sumber:

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tertarik pada Ekonomi Internasional. Ketua Umum Forkoma UI Banten dan merupakan Santri Pesantren Mahasiswa Yayasan Keluarga Muslim FEB UI

Lihat Juga

Turki Pemegang Kunci Penyelesaian Krisis Suriah

Figure
Organization