Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Bagaimana Kita Memandang Dunia?

Bagaimana Kita Memandang Dunia?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (blogspot.com/tiffinbiru)
Ilustrasi (blogspot.com/tiffinbiru)

dakwatuna.com – Suatu ketika, Umar bin Khaththab menemui Rasulullah saw yang baru saja bangun dari tidurnya. Di wajah Rasulullah yang mulia itu masih membekas lipatan-lipatan tikar kasar. Melihat itu, Umar menangis terisak. Dibandingkannya keadaan Rasulullah dengan Kisra dan juga Kaisar—raja-raja kafir yang kondisinya bergelimbang kemewahan dan kemegahan. Padahal mereka itu kafir dan Rasulullah adalah manusia yang paling mulia. Dilihatnya lekat-lekat wajah manusia paling mulia itu, demikianlah keadaannya. Sangat sederhana sekali kehidupan duniawinya.

Rasulullah saw pun berkata kepada Umar bin Khaththab, “Ada kecintaan apakah aku terhadap dunia? Aku di sini seperti musafir yang sedang berteduh di bawah sebuah pohon rindang. Bila telah berlalu terik matahari yang menyengat, diteruskannya perjalanannya. Tidak berat hatinya meninggalkan tempatnya berteduh tadi.”

Khalifah yang digelari “pemudanya umat ini (Islam)”, Khalifah Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, “Sesungguhnya aku berlari menuju akhirat yang ada di hadapanku dan aku meningalkan dunia di belakangku. Maka, jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan jadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini adalah amal tanpa hisab. Sedangkan esok (akhirat) adalah hisab tanpa amal.”

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali berkata pula, “Dunia adalah ladangnya akhirat.”

KH Mas Mansur menerangkan, “80% ajaran Islam tertuju pada akhirat dan 20% untuk dunia. Tetapi kita telah mementingkan yang 20% itu sehingga kita menjadi hina.”

Nah, bagaimanakah kita memandang dunia ini? Ini pertanyaan serius yang harus kita pikirkan dan renungkan.

Hari ini jamak kita dengar orang yang berkata bahwa dunia dan akhirat itu harus seimbang. Benarkah itu? Mari kita timbang perkataan ini sebelum kita terima. Siapakah dia yang mengutarakan pernyataan ini dibanding Rasulullah, para khalifah, dan para ulama’? Apa alasannya mengatakan demikian?

Logika sederhana saja, kita tidak akan mementingkan persinggahan dibandingkan tujuan. Dunia adalah persinggahan, tidak ada kehidupan yang kekal di dalamnya. Di akhirat sanalah kehidupan yang sebenarnya, di sanalah kita jumpai keabadian. Bagaimana mungkin yang semu setara dengan yang abadi?

Yang benar adalah mengutamakan akhirat. Di dunia kita hanya berbekal dengan menjalankan tugas kita yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Mudah-mudahan, dengan menyaksikan kesungguhan kita mengerjakan kewajiban dengan benar, Allah berkenan merahmati kita. Bila rahmat Allah sudah terkucur, jadilah kita orang beruntung. Di akhirat kelak, surga akan didapat bila Allah sudah ridha dan merahmati.

Semoga kita termasuk orang yang beruntung ini. Aamiin. Allahumma Aamiin.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan USU. Ketua �Al-Fatih Club�. Murid. Penulis. Beberapa karyanya yang sudah diterbitkan; Istimewa di Usia Muda, Beginilah sang Pemenang Meraih Sukses, Cahaya Untuk Persahabatan, dan lain-lain

Lihat Juga

Pemimpin Chechnya Tagih Janji Mo Salah Kembali Kunjungi Grozny

Figure
Organization