Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Pesona Sang Raja

Pesona Sang Raja

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Aku masih terus membuka handphoneku sejak pagi sampai hampir dzuhur saat ini. Aku terus mencari tahu tentang kehidupan seseorang yang sudah membuatku hampir hilang akal. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan jatuh cinta kepadanya. Juga aku tidak pernah mneyangka aku sanggup melakukan semua ini karena dia.

Sebenarnya aku adalah seorang gadis yang cuek dengan permasalahan seperti ini. Bahkan aku mampu menasehati teman-temanku ketika mereka meminta saran dan masukan. Namun di saat aku yang sedang dimabuk cinta, semua nasihat yang pernah kuberikan kepada mereka terlupa begitu saja.

Dia adalah teman sekelasku ketika duduk di bangku SMP. Anaknya cerdas, tampan dan cukup terkenal di kalangan murid maupun guru. Ayahnya adalah seorang yang berpengaruh di lingkungan sekolah. Para wanita di sekolahku juga tertarik dengannya, termasuk aku. Namun aku tidak pernah menunjukkan ketertarikanku padanya baik di hadapannya maupun teman-teman. Sikapku yang dingin dan tidak begitu banyak bicara dapat membantu menutupi rasa tertarikku padanya. Awalnya aku menganggap dia biasa saja walaupun memang aku mengakui segala kelebihannya. Ya, jika cinta tidak dipupuk, maka ia pun tak akan tumbuh.

***

Kami bertemu kembali setelah 7 tahun paska perpisahan sekolah. Ketika itu aku hendak mengirim uang dari sebuah bank. Sambil menunggu nomor antrianku terpanggil, aku sibuk membaca Alquran kecilku sampai seseorang menepuk pelan pundakku dari belakang. Aku terkejut dan hendak menegur orang itu karena sedikit kesal dengan perbuatannya, sampai akhirnya aku hanya bisa terdiam melihat seseorang berdiri tersenyum di hadapanku.

“Apa kabar, Ra?”, ucapnya sambil tetap tersenyum. Ia begitu bersahaja.

“Ba..baik Alhamdulillah”, ucapku sambil mengatur suara yang sedikit serak.

“Lagi ngapain?”, tanyanya.

“Mau kirim uang..”, jawabku singkat.

“Oh…udah lama ya kita ga ketemu”, ucapnya lagi sambil memperbaiki dasi.

“Iya. Kerja di sini?”, tanyaku penasaran.

“Iya. Aku di Account Officer”, ucapnya masih dengan senyum.

“Nomor antrian empat puluh tujuh silahkan menuju konter 3”.

Itu nomor antrianku. Segera setelah nomorku dipanggil, aku segera bergegas menuju konter sambil mengucapkan kalimat singkat kepadanya, “eh nomorku dipanggil, aku kesana dulu”. Dia tersenyum mengiyakan.

Setelah proses pengiriman uangku selesai, aku melihat ke belakang untuk melihat dia. Ternyata dia sudah tidak ada di tempat. Sambil berjalan menuju pintu keluar bank, aku berpura-pura celingak-celinguk mencarinya. Namun sama saja, aku tidak menemukannya. Mungkin dia sudah kembali bekerja, pikirku.

***

Sampai di rumah, aku terus merenung. Aku tidak menyangka akan berjumpa dengan dia lagi. Iya, dia teman sekelasku itu dulu. Tidak hanya ketika di sekolah dulu, sekarang ia jauh terlihat lebih tampan, bersahaja, dan berwibawa. Belum lagi dia sekarang sudah bekerja di bank yang cukup terkenal. Sedangkan aku, masih berjuang untuk menyelesaikan tugas akhirku yang sudah lewat tempo seharusnya.

***

Adzan zuhur berkumandang, namun handphone di tanganku masih belum lepas. Aku tahu seharusnya aku bergegas ke kamar mandi, mengambil wudhu dan shalat dzuhur. Sepuluh menit usai adzan, hatiku sedikit gelisah, sampai akhirnya aku bangkit dari tempatku menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu.

Dalam shalatku aku diliputi perasaan bersalah. Usai salam, aku berdo’a pada Allah dan menceritakan apa yang tengah aku rasakan. Aku tau aku sudah kelewatan dan keluar batas. Aku pun memohon ampun sampai menangis. Aku tidak bisa menepis rasa itu.

***

Aku kembali membuka handphoneku untuk membuka sosial media. Ada sebuah pesan dalam kotak masuk. Aku mengarahkan kursor hapeku kearah kotak masuk dan membukanya. Tiba-tiba hatiku berdebar tidak karuan. Nama yang tertulis dalam pesan itu tidak asing. Raja?. Nafasku sesak.

Aku membaca pesan yang tertulis.

“Assalamu’alaikum. Hai, Ra. Apa kabar? Masih ingat denganku kan? Aku senang sekali ketika berjumpa denganmu waktu itu.

Aku bingung apa aku harus membalas pesan itu atau mengabaikannya. Baru saja sepuluh menit lalu aku memohon ampun pada Allah. Namun aku mencoba menetralisir hati dan menganggap bahwa itu hanya sapaan teman lama. Aku yakin aku baik-baik saja. Tanpa ragu dan dengan tenang, aku mulai mengetik pesan untuk membalasnya.

“wa’alaikumussalam. Baik. Masih lah.

Dan balas-balasan pesan itu terus berlanjut sampai akhirnya kami memiliki nomor handphone masing-masing.

Sejak pertukaran nomor handphone, kami semakin sering berkomunikasi, baik via sms ataupun telepon. Apapun menjadi bahan untuk diceritakan, didiskusikan. Baik permasalahan serius maupun tidak. Menurutku, dia masih seperti yang dulu, atau mungkin lebih cerdas. Dia teman diskusi yang menarik.

***

Suatu hari ada undangan ulang tahun dari teman sekelas, sekalian mengadakan reuni SMP. Ya, aku dan dia termasuk. Undangan ini dilaksanakan di rumah temanku yang ulang tahun itu. Entah mengapa aku sedikit senang dan bersemangat untuk menghadirinya. Kurasa karena ada dia juga. Namun walaupun begitu, aku mencoba untuk tetap menyembunyikan perasaan itu dengan bersikap biasa saja.

Terlihat banyak perubahan pada teman-temanku pada reuni itu. Ada yang semakin modis, ada yang sudah bekerja, ada yang sudah menikah dan ada yang masih bernasib sama sepertiku, masih mahasiswa. Dan juga, hanya aku yang mengenakan khimar. Aku duduk di sebuah kursi dan melihat teman-temanku yang sedang bercanda ria bermain di halaman depan. Aku tersenyum.

Seseorang mendekatiku dan duduk di kursi sebelahku.

“Hai, Ra”. Ucapnya senyum.

“Hai”. Ucapku santai.

Kami bercerita dengan sedikit kaku, bahkan aku hanya sesekali melihat kearahnya. Aku membuang pandanganku ke arah teman-teman yang lain. Aku merasa sedikit canggung.

Salah seorang temanku, Salli mendekat ke arah kami dan menggoda.

“Hayo…Raja dan Ira ngapain??” ucapnya sambil tertawa.

“Biasa, lagi cerita..” ucap Raja santai.

Aku hanya tersenyum mengiyakan.

“Oh iya, Ja. Dulu kan kamu bilang ada cewe yang kamu suka. Ira ya maksudnya?”

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Salli kepada Raja. Aku melihat Raja juga sedikit terkejut dengan pertanyaan Salli. Raja mengalihkan pandangan ke arahku. Aku mencoba bersikap biasa.

“Hm…iya sih, aku tertarik dengan Ira. Selain cantik, cerdas, sekarang semakin solehah lagi. Juga dewasa”. Ucap Raja sambil tersenyum dan melihat ke arahku. Dalam keadaan seperti ini, aku masih mampu menyimpan rasa deg-degan yang membuat jantungku hampir copot. Aku tetap bersikap biasa dan stay cool.

“Oh…gitu. Wah! Yaudah, Ja. Apalagi. Ira belum nikah, kamu juga belum nikah. Kalian nikah aja berdua. Kan cocok! Sama-sama pinter juga. Biar ga cuma aku yang udah nikah. Hihihi”. Ucap Salli sambil tersenyum. Salli adalah temanku yang telah menikah 3 bulan lalu.

Aku melihat Raja tersenyum dan melempar pandangan ke arahku. Di dalam hatiku entah mengapa harapan itu ada. Ya, aku ingin segera menikah dan aku rasa Rajalah jawaban do’aku selama ini. Aku membalas senyumnya dengan santai.

“Oooh…Hehehe…aku udah punya kekasih, Sal. Dan oya, akhir tahun nanti aku menikah. Ira pasti juga udah ada yang ngelamar tuh..” Ucap Raja senyum.

“Wuah? Mau nikah? Wues…temen-temen Raja mau nikah loh akhir tahun nanti”, teriak Salli pada teman-teman yang lain. Semua bersorak, kecuali aku.

“Iya..datang ya semua…” ucap Raja tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

Dug! Aku bagai baru disambar petir yang dahsyat. Seketika brownis coklat yang tengah aku makan terasa begitu hambar di mulutku. Padahal sebelumnya, brownis itu begitu lezat. Namun lagi-lagi aku mampu mengendalikan sikap. Ekspresi wajahku tidak ada yang berubah daritadi. Aku cuma menambah sedikit garis senyum, menyembunyikan harapan aku yang sudah hancur seketika.

Seketika juga aku mulai merasa kesal dan benci. Di dalam hatiku terus berkecamuk. “Bagaimana bisa dia begitu perhatian, begitu memberi harapan padaku selama ini? Memuji-mujiku selama ini? Sementara ternyata ia akan menikah?! Atau aku yang ke-GR-an? Ah bodohnya aku!”.

Aku melihat kearah Salli yang tersenyum berbincang dengan Raja. Sesekali aku mencuri pandang kearah Raja. Ia tampak begitu berseri dan malu-malu. Taman bunga dalam bayanganku kini berubah menjadi padang pasir yang begitu panas. Gersang!

“Iya kan Ra, jadi siapa lelaki itu?”, Tiba-tiba Raja bertanya dengan senyumnya yang tidak lagi menawan itu.

Menahan perih aku mencoba menjawab dengan santai, “Hehe. Ada aja”, sambil terus menatap lurus ke depan.

Aku merasa aku telah dibohongi mentah-mentah dengan sikapnya. Dan entah mengapa juga aku seperti dikhianati. Ah, aku rasa aku yang telah terjebak dalam asmara semu itu.

Selama ini Raja begitu baik kepadaku, perhatian kepadaku, bahkan sesekali mengunjungi rumahku untuk bersilaturahim. Ibuku juga menyukainya bahkan sempat menjodohkannya denganku. Aku cuma tersenyum. Memang sebagai seorang lelaki, ia sudah mapan.

Semua harapanku tentangnya buyar dan hancur seketika. Aku tidak menyangka akhir ceritanya seperti ini. Padahal jika aku kait-kaitkan, semua ini seolah memang seperti pertemuan jodoh. Sejak 7 tahun aku tidak berjumpa dengannya, kini aku berjumpa lagi dengannya dan segala jenis kejadian yang sebenarnya aku kait-kaitkan sendiri. Sungguh ini sangat menyakitkan. Aku sudah terjebak dalam cinta semu ini.

Aku berfikir, aku yang mampu menjaga hati dan sikapku terhadap lelaki ternyata goyah dengan pesona seorang Raja. Apakah ini menunjukkan bahwa ternyata begitu lemahnya aku terhadap cinta. Jika di flashback, aku rasa aku telah takabbur dengan pembahasan cinta ini. Aku fikir aku tidak akan jatuh cinta begitu mudahnya walaupun dia seorang Raja.

Semenjak pulang dari reuni, semangat hidupku sedikit menurun, namun bukan berarti aku putus asa. Aku hanya kecewa. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku melakukan hal ini? Bagaimana bisa aku mencurangi Allah demi dia. Ah, bagaimana bisa? Bodohnya aku! Aku mulai menghapus semua hal yang berhubungan dengan Raja. Baik dari kontak di handphone, media social, foto reuni atau apapun.

Aku memohon ampun dan mengaku salah kepada Allah. Aku sungguh malu dengan sikapku. Aku malu pada diriku, aku malu pada Allah. Aku terus memohon ampun pada Allah. Terus merengek memohon ampun dan akan memperbaiki diri kedepannya. Aku juga akan rendah hati dan terus merendahkan diri di hadapan Allah.

Allah Maha Penerima Taubat. Allah Maha Pemaaf.

Aku mulai hidup normal dan lebih banyak belajar dan bergantung pada Allah. Hati memang sifatnya berubah-ubah, maka aku selalu meminta Allah untuk menetapkan hatiku padaNya.

“Yaa muqollibal quluub..tsabbit qalbii ‘alaa diinik”.

Melalui kejadian itu aku merasa lebih tegar. Aku pun sadar bahwa aku begitu lemah dan tidak ada kekuatan yang dapat menolong selain kekuatan Allah. Aku menyadari bahwa siapapun orang yang dikirimkan Allah padaku, akan memberikan suatu pelajaran padaku. Mungkin Allah ingin menegurku dengan sikapku yang berlebihan dan diluar batas, dan di sisi lain Allah ingin menempaku menjadi muslimah seutuhnya dan semakin dewasa. Aku memang sedang dalam proses hijrah dan aku rasa Allah ingin lenih memantapkanku. Allah ingin meyadarkanku bahwa, hanya cinta kepadaNyalah hati ini tak kan pernah kecewa.

Raja telah menikah, dan aku percaya bahwa Allah pun telah menyiapkan seseorang yang lebih baik dari Raja. Aku terus memperbaiki diri, belajar dan terus belajar. Kini pesona Raja pun hilang dan aku siap menunggu Rajaku yang sebenarnya untuk membawaku ke istana megahnya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lulusan dari Universitas Syiah Kuala, Fakultas Pertanian. Anak sulung dari 5 bersaudara.

Lihat Juga

(Video) Kebaikan Lelaki Suriah ini Membuat Perempuan Amerika Menangis

Figure
Organization