Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Menjadi Istri Kedua

Menjadi Istri Kedua

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Kepala menunduk, seperti terdakwa di depan persidangan. Hanya jemari kaki yang aku pandangi. Sendal telah terlepas sebelum memasuki rumah Agni. Kuku kaki menjadi pemandangan menarik untuk diperhatikan, sekedar menghilangkan gugup jemari kaki yang sudah tak terlindung kugerak-gerakan. Rumah seolah berubah menjadi tempat pengadilan. Sunyi sepi. Orang di sekitar pun juga terdiam. Pertemuan dua keluarga ini menjadi hening. Kian hening setelah istri Pak Har masuk menyelip di balik tirai menyiapkan makanan. Tinggalah Bapak, Aku, Agni dan juga Bapak Agni itu sendiri. Pak Har. Di sisi lain dari balik kamar mondar-mandir orang yang Aku duga Abang Agni. Hanya bolak-balik ingin mengintip tahu perkara perbincangan dua orang tua beda keluarga.

“Saya yang tua ini ikut saja bagaimana maunya yang muda, kan begitu to Pak?” Tanya Pak Har memecah keheningan.

“Iya Pak, memang begitu seharusnya, jaman sudah banyak berubah, tidak seperti jaman kita dahulu” Sahut Bapak.

“Nah gimana Neng? Sudah jelas maksud kedatangan mereka ini, apa jawabmu”.

Giliran Agni ketimpa pertanyaan. Serta merta pandangan beralih ke Agni, sedang aku hanya sekedar berani melirik, menatap lama tak berani, terlebih di depan kedua orang tua. Pandangan yang sedari awal selalu beredar mengikuti arah perbincangan antara Pak Har dan Bapak patah. Tertunduk. Hanya bisa menahan diri sekuat hati. Yang ditanya tak juga kunjung bicara, hanya sekilas Aku pandang menundukkan pandangan pula. Aku berharap diterima, dan harap harap itu sekarang jadi cemas. Cemas mulai menjalar tumbuh menjadi benteng untuk siap ditolak. Pikiran gerayangan kemana-mana. Panik.

“Lho gimana to Neng? Kok malah diem, diem berarti setuju lho” tanya Pak Har lagi.

Pipi agni dari mataku nampak memerah, entah karena malu atau menahan marah, semoga bukan yang terahir. Tapi yang terucap dari Agni justru mengherankan.

“Boleh Saya ngomong dengan Mas Arya dulu Pak?”.

“Maksudnya ngomong berdua Neng?”.

“Ditemani Abang saja, boleh?”.

Jantungku berdegup kencang, seperti beduk lebaran jelang sholad ied. Kenapa juga musti ada Abang, mungkin kawan muhrim atau mau memperpanjang lamaran yang berasa persidangan. Merasa terpanggil orang yang hilir mudik keluar masuk kamar tiba-tiba sudah muncul saja di dekat kursi, tanpa dipersilakan segera duduk di antara para tetua yang sedang menentukan nasib anaknya pula.

“Sampaikan saja Neng, Bapak tunggu. Tidak apa. Biar semua jelas juga”.

Tinggalah aku merasa sendiri di dalam majelis hakim yang siap menjatuhkan vonis. Memang mungkin salahku tak kabarkan tentang rasa yang tersimpan. Jangankan soal rasa. Hari ini mengajak Bapak untuk melamar Agni pun tak aku beritakan. Kini Abangnya yang berbadan gempal itu di hadapanku seolah mengawal Agni. Gadis yang aku harap menjadi istri. Mataku mulai melirik ke abang bergantian ke Pak Har dan tunduk lagi ketika sampai ke Agni. Gugup.

“Mas” tegur Agni.

Meskipun mendunduk Aku hadapkan kepalaku padanya. Dalam tunduk serasa semua hadirin memandangku. Ikut menanyai dalam sapa yang singkat itu. menuntut jawaban. Maka agar tidak berlarut segera kujawab.

“Iya Neng”.

Kalau dipikir sebutan yang tidak tepat memang, menunjukkan bahwa Aku dari belahan tengah pulau Jawa sedang Agni muncul dari belahan barat pulau yang sama. Satu sebutan Sunda, satu sebutan Jawa, tapi memang begitulah jadinya sedari kenal dua bulan lalu panggilan itu seolah disepakati. Siapa yang sempat memikirkan sebutan dalam kondisi begini. Sedang memikirkan jawab pun kesana kemari.

“Neng mau minta syarat sebelum jadi istri Mas” kata Agni perlahan.

Duduk Agni mulai bergeser, mungkin gelisah hendak menyampaikan syarat. Aku yang mau dimintai syarat tak kalah gusar. Paling tidak sekarang syarat itu ikut andil menentukan di tolak atau diterimanya lamaran. Jemari bergeser ke pangkuan, telunjuk mengetuk paha menjadi jalan kurangi kegugupan. Keringat muncul disana Sini. Basah.

“Iya Neng, syarat apa?” tanyaku.

“Selama Neng masih mampu menjalankan kewajiban Neng, Neng tidak mau Mas menikah lagi” pelan-pelan kata perkata meluncur dan jelas terdengar. Tak perlu diulang.

Dadaku luluh mendengarnya, dari sebelumnya berdebaran menunggu kepastian. Berubah menjadi sorak sorai kebahagiaan.

“Alhamdulillah jika itu syaratnya Aku insya Allah mampu” kataku dalam hati. Dan seketika kelegaan karena merasa diri mampu memenuhi syarat berubah jadi rasa iba. Tapi di antara riuh sorai kebahagiaan campur keibaan kuberanikan berkata”

“Neng menolak dipoligami?”.

“ Ya iyalah, kurang jelas apa kata Adikku? Lagi pula siapa yang mau dipoligami”.

Yang menjawab justru Abang, jantung mulai ditabuh lagi. Tapi jawaban sudah jelas, Neng menerimaku. Dan apa peduli soal Abang, itu perkara lain. Bapak dan Pak Har menarik nafas panjang, menahan diri menyaksikan apa yang akan terjadi. Maka kataku;

“Tapi Neng harus mau jadi istri kedua …..”.

Belum juga selesai mengucapkan kata, segera aku tundukan muka. Abang mulai menggeram. Sedang Agni kurasai menatapku keheranan. Tak kalah heran dengan dua orang tua di sekelilingku.

“Maksud Mas? Neng jadi istri kedua?”.

Kudongakkan kepala dan mantap menjawab;

“Iya, Istri kedua”.

Bukan lagi Agni yang bicara, minuman tergoyangkan, tangan abang telah menghentak meja. Menggoyang apa yang tersedia. Giginya gemerutuk, menahan emosi. Sedang Pak Har calon mertua menghela nafas, barang kali karena usia sehingga Pak Har belum juga bicara, matanya menatap Bapak meminta penjelasan. Sedang Bapak malah menatap Aku. Lagi lagi Abang yang menjawab;

“Jadi kamu pengen adikku jadi istri keduamu?”.

Pelan ku sahut “Iya Bang”.

“Memang siapa kamu, datang datang minta adikku jadi istri kedua? Tak puas punya satu istri?”.

Abang sudah tak ada di kursinya, sudah berdiri menahan emosi, sedang Agni duduk gemetar memegangi lengan Abang pelindungnya. Kulihat agni mulai berkaca matanya. Melihatku yang sudah Ia terima dibentak. Bapak kian heran. Pak Har akhirnya meminta penjelasan, setelah Bapak tidak segera beri jawaban.

“Arya bukannya belum punya istri? Kok minta Neng jadi istri kedua?”.

“Iya Pak belum”.

Abang mulai duduk, nafas masih memburu, giliran Bapak yang menanya;

“Kenapa Neng Agni musti jadi istri kedua? Satu saja belum?”.

Aku ambil nafas lega, bukan salahku pembicaraan ini jadi panas, jika harus ada yang salah, Abang yang memotong pembicaraan itu yang salah.

“Iya pak belum, tadi juga saya belum selesai bicara sudah dipotong Abang. Maaf ” jawabku sambil melirik Abang.

Abang yang sudah mulai mereda kini jadi meronta lagi, makin merah wajahnya mungkin menahan marah karena Aku tuding bersalah.

“ Maksudnya mas?” kata Neng.

“Neng “ Aku tarik nafas dalam dalam sebelum melanjutkan. Kuucapkan sejelas jelasnya.

“Maukah Neng jadi istri kedua Mas setelah dakwah?”.

Pertanyaan itu ternyata mengubah suasana, hilanglah rasa curiga, hilang pula rasa tengang, berganti kelegaan. Abang dapat menghela nafas panjang, entah kemana raut merah di wajahnya hilang, Bapak dan Pak Har malah membumbui dengan tawa setelahnya.

“Oalah begitu maksud Arya, nah gimana Neng siap?” Pak Har melanjutkan.

Neng jadi tersipu, Aku lebih malu, memandangi genggaman tangan di atas pangkuan dengan dua jempol sedang sibuk berkejaran. Barulah Aku mendongak setelah Neng menjawab;

“ Iya Mas, insya Allah”.

Tanpa diberi aba aba serentak menjawab

“Alhamdulillah”

Keringat yang sudah sebiji jagung Aku seka, hilang sudah semua kegugupan. Malah jika tak banyak orang Aku sudah menitikkan air mata. Haru, lega, bahagia, syukur, bercampur jadi adonan tak karuan. Tak disangka Abang berdiri mengulurkan tangan. Segera kusambut. Berjabat dengan erat.

“Maafkan aku, jaga adikku nanti, aku tak pernah menyakiti hatinya, dan tak seorangpun aku relakan melakukannya. Sekalipun itu suaminya” bisiknya.

Hanya tarikan nafas panjang yang aku lakukan.

“Insya Allah” jawabku meyakinkan.

Barang kali dianggap nyeleneh permintaanku, tapi memang itulah inginku, setelah menikah kian giat berdakwah, bukan terhambat dakwah karena nikah. Kian ringan karena bersama bukan makin rumit karena berdua. Bismillah bi idznillah. Segera Kami kebelakang menikmati hidangan yang telah disediakan. Rumah pengadilan telah mewujud menjadi istana dadakan. Semua menjadi indah. Dinding keramik merah berasa marmer mewah. Masakan seadanya jadi makanan paling nikmat sejagat. Di ruang makan ini juga disepakati hari penyempurnaan dien Kami. Alhamdulillah.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.

Lihat Juga

Dosa-dosa Yang Harus Dihindari Istri

Figure
Organization