Kualitas Pendidikan Gratis

ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Jikalau diadakan survei sederhana pilih roti dengan jenis dan rasa yang sama. Diminta untuk membayar atau pilih gratis, maka hampir dapat dipastikan bahwa mayoritas responden akan memilih gratis. Jikalau ada yang gratis, kenapa mesti ambil yang bayar paling tidak begitu anggapan sebagian besar responden. Gambaran umum masyarakat juga menunjukkan gejala serupa, di mana ada produk gratis, dapat dipastikan akan ramai diperebutkan. Baru diskon saja masyarakat tidak henti berbelanja, seperti gejala Idul Fitri yang baru terlalui. Gejala suka produk gratis ternyata tidak seluruhnya berlaku bagi produk yang bernama pendidikan. Pemberlakuan pendidikan dasar gratis melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah mampu meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu. Yang sebelumnya tidak sekolah dengan adanya sekolah gratis telah dapat sekolah. Meskipun banyak juga kendala untuk bisa sekolah, tidak hanya kendala biaya, tapi juga akses menuju sekolah, kendala biaya di luar tanggungan BOS, maupun berbagai faktor lain. Tetapi kita sepakat berlakunya BOS menigkatkan jumlah anak yang mengenyam pendidikan.

Uniknya dalam kasus pendidikan, akhir-akhir ini mengejala pendidikan swasta, dua di antaranya yang terus berkembang adalah Sekolah Islam Terpadu (SIT) sekolah boarding school yang memadukan pengetahuan dengan keagamaan, juga sekolah berbasis alam. Sekolah Alam. Dua sekolah ini termasuk sekolah swasta yang banyak diminati oleh orang tua siswa, padahal tidak sedikit biaya yang diperlukan untuk dapat masuk ke sekolah-sekolah tersebut. Nyatanya SIT dan Sekolah Alam juga tidak pernah kehabisan murid, malah kekurangan lokal dan terus menambah kelas dan makin merambah berbagai daerah di Indonesia. Gejala ini patut menjadi perhatian, muncul kalangan yang bersedia membayar mahal yang walaupun telah tersedia pendidikan gratis.

Sebabnya tidak lain tidak bukan tentu masalah kualitas pendidikan gratis itu sendiri. Di antara ribuan sekolah gratis tentu ada sekolah yang memiliki kualitas tidak kalah dengan sekolah swasta berbayar tersebut hanya jumlah belum maksimal. Sehingga memungkinkan sekolah berbayar dapat berkembang cepat ke daerah-daerah. Gejala ini hendaknya dapat menjadi sebagai cerminan untuk memacu kualitas pendidikan gratis, privatisasi bidan pendidikan boleh saja dilarang, tapi nyatanya sekolah berbayar tetap juga jalan. Peningkatan kualitas sekolah tak urung juga menyangkut peningkatan kualitas tenaga pendidik dalam lingkup sekolah. Kualitas guru adalah kualitas cerminan pendidikan. Adalah keliru apabila kemudian kualitas guru, disandarkan pada cukupnya fasilitas. Prestasi sekolah tidak ditentukan dengan megahnya gedung sekolah, akan tetapi pelaku dalam institusi sekolah itulah yang menentukan. Dan pelaku utama dalam sekolah adalah guru. Guru adalah penentu hitam dan putih wajah kualitas pendidikan. Selama guru masih bersedia mengembangkan kualitas diri, maka kendala fasilitas dapat dielakkan. Fasilitas hanyalah penunjang bukan kebutuhan utama dalam dunia pendidikan. Disaat sekolah gratis menuntut pembangunan gedung dan fasilitas penunjang. Sekolah alam justru belajar dari lingkungan sekitarnya. Percuma jikalau gedung telah megah, tapi guru masih juga enggan berubah. Bisa jadi sekolah gratis kian sepi, sekolah swasta berbayar kian diminati. Karena pendidikan bukan soal roti. Tapi soal masa depan generasi.

Guru Relawan Sekoah Guru Indonesia Dompet Dhuafa Angkatan , pada tahun 2015-2016. Mengajar di salah satu sekolah International tingkat taman kanak-kanak.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...