Topic
Home / Narasi Islam / Sejarah / Fanatisme Golongan: Penyakit Umat Islam Abad Pertengahan dan Korelasinya dengan Umat Islam Saat Ini

Fanatisme Golongan: Penyakit Umat Islam Abad Pertengahan dan Korelasinya dengan Umat Islam Saat Ini

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (inet)
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Pentingnya mempelajari sejarah bukan hanya mengenai pembahasan pada ibrah yang bisa diambil. Tetapi lebih dari itu adalah bahwa sejarah mempunyai pola-pola sosial tertentu yang bisa dipelajari. Dikutip dari buku Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, Karya Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani, salah satu pola yang bisa diambil misalkan bahwa salah satu ciri ketaqwaan suatu kaum adalah rendahnya perbedaan jarak antara si kaya dan si miskin. Buku yang memiliki tebal 360 halaman ini dibahas masalah sejarah dari sisi yang lain. Persoalan-persoalan keumatan abad pertengahan yang dibahas mempunyai korelasi yang pas dengan persoalan umat Islam zaman ini. Perpecahan dikalangan tubuh umat islam telah sampai pada tingkat akut. Krisis identitas, ingin diakui, popularitas dan ingin dianggap lebih unggul dari kelompok yang lain adalah salah satu persoalan umat yang diuraikan. Sudah saatnya kita belajar untuk lebih bisa terbuka, menerima kelompok lain untuk saling berdialog. Mengajari apa itu perselisihan dan bagaimana meredamnya. Berdialog dengan kelompok lain akan membuka wawasan dan cakrawala berpikir yang lebih luas. Diharapkan umat Islam tidak lagi terjebak pada konflik abadi (qunut, jumlah rakaat tarawih, yasinan, tahlilan dll). Tetapi yang diharapkan adalah persatuan umat di atas konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan begitu nuansa keilmuan akan kembali muncul, pintu ijtihad tetap terbuka untuk inovasi menuntaskan persoalan umat yang semakin berkembang akibat kemajuan zaman modern yang gersang.

Kemiskinan dan Kelaparan

Sebelum pasukan salibis menyerang dan berhasil merebut tanah Palestina dari tangan umat Islam, kaum muslimin pada masa itu mengalami zaman keterpurukan. Digambarkan pada masa itu terjadi kelaparan diakibatkan perbedaan antara si kaya dan si miskin yang sangat timpang. Ketika istana di Baghdad sedang merayakan khitanan anak raja, mereka menyediakan es yang didatangkan dari Lebanon, dan di saat yang bersamaan di sudut pinggiran kota ada masyarakat miskin yang tidak bisa membeli gandum, lalu karena kelaparan mereka akhirnya memakan kucing. Sampai akhirnya memakan kucing ini menjadi fenomena, bukan lagi kasus. Dalam ilmu sosial kita kenal ada istilaah fenomena, yaitu peristiwa yang telah dilakukan oleh banyak orang, sedangkan kasus hanya dilakukan oleh satu dua orang saja, dan memakan kucing pada waktu itu telah menjadi fenomena. Lalu ada beberapa kasus, ada manusia yang memakan manusia.

Hal ini mengindikasikan bahwa ketakwaan telah mengalami penurunan yang tajam. Persoalan kemiskinan adalah akibat dari pengeluaran dan penyaluran zakat, infaq dan shodaqoh belum maksimal. Orang-orang hanya memikirkan kehidupanya sendiri. Jiwa telah dipenuhi oleh nafsu yang menjadikan matanya tertutup terhadap sekitar. Penguasa zalim bermunculan tanpa bisa dicegah, membuat rakyat semakin sengsara dalam kemiskinannya hingga mengundang kafirin mencoba merenggut kekuasaan. Karena umat islam telah menunjukan apa yang disebut dengan qabiliyah lil isti’mar, bahwa mereka telah siap atau telah layak untuk dijajah.

Fanatisme Mazhab

Masa kelam Islam juga digambarkan dengan adanya perselisihan antar mazhab pada saat itu. Perbedaan mazhab fiqih yang terjadi telah sampai pada titik di mana seorang Qadhi, memutuskan jika ada kambing hilang, maka pencurinya bukan dari mazhabnya, melainkan dari mazhab musuhnya.

Islam secara wilayah kekuasaan saat itu sangat luas, tetapi secara peradaban masyarakat pada waktu itu rusak. Masalah mazhabisme terbesar berujung pada fanatisme. Setiap mazhab menganggap mazhabnya sebagai satu-satunya representasi kebenaran dalam panggung dunia islam. Setiap mazhab mengagungkan gurunya dan merendahkan guru dari mazhab lain sampai pada saatnya di antara mazhab itu mengalami penyakit apa yang disebut dengan sindrom keangkuhan intelektual.

Dampak Fanatisme Mazhab

Dampak yang dirasakan langsung kemudian adalah karya-karya ulama yang muncul saat itu berupa kitab-kitab tentang mazhabnya masing-masing, biografi Imam mazhab dan cerita keunggulan-keunggulan mazhabnya sendiri. Tidak adanya perkembangan intelektual yang berarti membuat para pecinta ilmu dibatasi pada hal-hal tentang fanatisme kelompok dan tidak bisa terbuka dengan mazhab lain. Siapapun yang berdialog dengan mazhab lain akan dicap sebagai munafik. Walaupun demi untuk kepentingan umat tidak ada toleransi untuk berbaur dengan mazhab lain. Sulitnya para penuntut ilmu untuk membangkitkan kondisi ummat yang sedang jatuh terpuruk karena didera berbagai persoalan mengakibatkan sempat tersebarnya kabar bahwa pintu ijtihad telah tertutup sampai kurun waktu tertentu. Padahal yang terjadi bukan demikian, kabar ini muncul karena segenap daya pikir para ulama masih terpaku pada kitab-kitab tentang mazhab dan kitab karangan Imam, sehingga membuat mereka tidak bersentuhan langsung dengan Al-quran dan Sunnah. Sampai pada akhirnya kondisinya semakin sulit untuk melakukan inovasi dan ijtihad. Mereka disibukkan pada kondisi untuk saling membanggakan mazhab mereka, di saat kondisi ummat dilanda kelemahan yang akut. Alih-alih memenuhi kebutuhan ummat yang amat krusial yaitu persatuan dan kemajuan dibanyak bidang para pengikut mazhab ini justru mementingkan fanatisme untuk mendapat pengakuan dan sulit untuk membuka mata. Dampak ini menyeruak pada bidang-bidang yang justru amat berharga, mazhabisme telah merusak pemikiran,pendidikan dan pengajaran, sosial dan politik.

Puncak dari perselisihan mazhab ini adalah sampai pada penyerangan fisik. Pada rentang tahun 469 H sampai tahun 495 H terjadi beberapa kali perkelahian hingga menewaskan 20 orang. Tidak tanggung-tanggung, kejadian ini terjadi di pusat pemerintahan kota Baghdad, tepatnya di pusat madrasah yaitu Nidhamiyah dan terjadi juga di dalam masjid pada tahun 469 H. Kejadian ini bermula karena seorang Syaikh yang diundang berceramah kemudian menyudutkan mazhab lain sehingga memicu perkelahian antar pengikut mazhab. Dengan ini jelaslah penggambaran kondisi saat itu, bagaimana para pelajar kemudian diberi teladan jikalau sang guru saja bisa menyulut perselisihan.

Sementara hubungan yang terjadi di antara mereka adalah rapuh, umat yang lebih memandang penampilan luar daripada substansi. Formalitas lebih di kedepankan dibanding apa yang ada dalam kesolehan diri dan kredibilitas. Akhlak dan keilmuannya diragukan jika tidak menampilkan ciri mazhabnya apalagi jika bukan dari mazhabnya, ia tidak akan dianggap dan akan disudutkan meski memiliki kapasitas keilmuan, iman dan istiqomah.

Korelasinya dengan Kondisi Umat saat Ini

Kerusakan masyarakat pada zaman itu, ciri-cirinya telah dialami pula oleh umat islam zaman ini. Ketika para pejabat pemerintah mementingkan golongannya, memperkaya diri dengan rekening buncit mereka, sebagian rakyat menderita kemiskinan dan kelaparan. Ketimpangan harta atas si kaya dengan si miskin ini kemudian membuat si miskin mengalami apa yang disebut kecemburuan sosial yang berujung pada maraknya tindak kriminal merebak di masyarakat.

Pada diri aktivis dakwah islam pun mengalami jua. Kalau zaman abad pertengahan persoalan yang muncul adalah perselisihan mazhab karena soal fiqih, maka pada hari ini, persoalan kemudian menggerogoti pada tingkat yang kalau kita mau jujur adalah persoalan pada organisasi pergerakan atau yang biasa disebut Harokah. Hal-hal yang biasa dijadikan persoalan adalah tidak jauh-jauh dari persoalan qunut, yasinan, tahlilan, maulid Nabi, jumlah rakaat tarawih dan lainnya. Para aktivis ini kemudian membahas persoalan ini dengan pendekatan fiqih, adalah hal yang kurang tepat jika persoalan fanatisme pada tingkat kelompok/golongan kemudian yang dibahas adalah masalah fiqih padahal permasalahan ini adalah masalah tentang identitas, identitas untuk diakui dan ingin dianggap lebih unggul. Persoalan fiqih tentang qunut, tahlilan, maulid, jumlah rakaat tarawih dan sebagainya telah tuntas sejak lama bahkan sejak abad pertengahan silam. Sudah saatnya kita mawas diri tentang identitas bahwa jika saja masing-masing harokah tersebut saling menghargai dan menerima kemudian bersatu maka kaum muslimin menjadi solid. Bukan hanya pada harokah tersebut saja tetapi juga kaum muslimin seluruhnya akan turut merasakan kekuatan kesolidan islam.

Jika kaum muslimin saling menghargai dan menerima perbedaan maka tidak akan terjadi apa itu rebutan masjid, tidak ada masjid harokah ini dan masjid harokah itu, yang ada adalah masjid kaum muslimin, masjidnya orang islam. Tidak akan ada apa itu islam modernis dan islam tradisional, yang ada adalah islam itu satu seutuhnya. Sehingga kaum muslimin akan disegani oleh musuh, sehingga orang-orang yang memusuhi islam tersebut tidak berani macam-macam dan bertindak diluar batas. Dengarlah ketika Imam Hasan Al-Banna menasehati seorang pengikutnya yang mulai menunjukan sifat fanatisme terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin, seorang pengikutnya mengatakan, “Kita adalah jamaah islam sejati”. Kemudian dengan bijak dan indah Imam Hasan Al-Banna memberi tanggapan,”Bukan seperti itu, tapi katakanlah kita adalah jamaah dari jamaahnya kaum muslimin, yang Anda katakan tadi tidak tepat, itu adalah ungkapan yang bisa menimbulkan kesombongan dan bisa menimbulkan fanatisme yang berujung pada perpecahan”.

Seringkali kita temui para pengikut yang masih awam senang sekali beradu argumen, mengunggulkan kelompoknya dan membanggakan gurunya/kiayinya/ustadznya. Seringkali kita juga dapati sebagian anggota kelompok tertentu jika melihat kelompok lain maka ia merendahkan, sulit untuk mengakui kelebihan orang lain meskipun orang itu memiliki kapasitas keilmuan dan kredibilitas.

Penutup

Hidup berjamaah dalam suatu harokah bisa membuat kita lebih baik dalam hal pengetahuan Islam. Tetapi juga bisa membuat kita terbawa arus untuk menjadi fanatik. Setelah kita bergabung dengan harokah tertentu maka otomatis kita mempunyai identitas, identitas dalam ilmu metafisika disebut dengan accident, sedangkan accident tidak boleh lebih besar dari substansi. Artinya bahwa sekalipun kita bergabung dengan harokah misalkan, tidak kemudian kita larut dengan identitas. Kita tetap harus menjaga kedirian kita, di mana sebaiknya kita bersikap pada persoalan tertentu dan tidak ikut-ikutan dalam sekelompok jamaah yang fanatik tidak bisa menghargai jamaah lain. Yang biasa terjadi adalah kita akan kehilangan kesadaran diri kita, individu dalam kelompok yang meleburkan diri dalam masa/kelompok akan kehilangan kediriannya. Seseorang, yang melemparkan dirinya kedalam masa akan kehilangan dirinya, dia akan ikut saja apa yang kelompok itu lakukan. Yang biasanya jika sendirian dia bisa menerima, kemudian karena banyak teman maka dia lebih berani dan cenderung mengikuti kebanyakan orang.

Kita belajar untuk lebih bisa menghargai manusia atau kelompok lain untuk berdialog dengan terbuka, mencari inovasi demi pemecahan masalah umat. Menyelamatkan umat islam dari kondisi saat ini yang terombang-ambing karena ekonomi dan rusaknya peradaban adalah lebih penting dari sekedar mendapat pengakuan bahwa kita lebih unggul dan lain sebagainya. Kebutuhan umat islam yang paling krusial adalah pengadaban. The lost of adab (hilangnya adab) adalah penyebab utama rusaknya masyarakat islam saat ini sehingga kembali terpuruk seperti abad pertengahan silam. Krisis identitas segera dilenyapkan dengan memperbaiki niat dan amal kita di dunia ini. Memahami worldview islam adalah sebuah keharusan untuk mencari dan menguatkan substansi diri.

Wallahu A’lam bish-Shawab..

Sumber rujukan:

Al-Kilani, Dr. Majid ‘Irsan .2007. Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib. Bekasi. Kalam Aulia Mediatama.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization