Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Komersialisasi Air Mata

Komersialisasi Air Mata

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: islam.ru)
Ilustrasi. (Foto: islam.ru)

dakwatuna.com – Air mata merupakan simbol dari keharuan, ia adalah luapan ekspresif tak tertahankan dari hati. Membuat terenyuh penuh empati orang yang memandang. Menjadi ajang pemberitahuan informasi tentang keadaan seseorang. Di sisi lain air mata terkadang merupakan senjata ampuh menjaring simpati. Perkasa tak mudah ditebak oleh strategi, namun ampuh meluluhlantakkan perasaan emosi.

Selain menjadi objek manifestasi perasaan dalam hati air mata juga membuat orang lain merasakan misteri pribadi orang yang mengeluarkannya. Menjadi misteri, karena kita terkadang tak memahami makna air mata yang mengalir deras di pipi tersebut, halusinasikah, atau sekadar tipuan berbalut penyembunyian jati diri.

Membicarakan air mata tak akan pernah habisnya, karena ia adalah simbolisasi ekspresif alamiah yang semua orang mampu melakukannya. Yang menjadi pembeda adalah makna tersembunyi dalam setiap tangisan yang menyertainya. Bahagiakah, sedihkah, atau hanya sekedar kepura-puraan belaka.

Hari ini kita dihadapkan pada kenyataan hidup di era globalisasi yang cenderung menganut sistem kapitalisme. Untuk urusan sederhana yang dahulu dianggap tabu saja sekarang terang benderang terintegrasi secara sistematis dan massiv di dalam industri demi memburu gelimang rente. Tangisan yang dahulu merupakan simbol sakral penuh khidmat, sekarang malah laku menjadi ajang dagangan di aneka stasiun televisi.

Kita dahulu hanya melihat tangisan seseorang di kala tersendunya ia dalam doa yang penuh ketulusan, kesedihan karena kehilangan, ataupun luapan kegembiraan tak tertahankan. Ataupun tangisan drama dalam kebohongan di tengah tersudutnya ia dalam bahaya yang mengancam, macam maling ayam yang ketangkapan.

Apabila kita cermat melihat tayangan televisi hari ini akan terlihat air mata yang berevolusi menjadi ajang komersial. Ia tak lagi menjadi luapan emosi yang sakral penuh arti ketulusan maupun ekspresi penipuan karena tekanan keadaan. Industri televisi berlomba-lomba untuk menampilkan sisi ketidakberdayaan seorang anak manusia dalam tangisannya.

Cara yang diambil ini memang sangat ampuh mendongkrak rating karena memang sebagian besar animo masyarakat terhadap tayangan yang mengumbar tangisan makin populer. Kepopuleran tersebut tidak serta merta muncul begitu saja di tengah masyarakat indonesia. Secara psikologi masyarakat indonesia memang sebagian besar dibentuk oleh karakter sungkan dan tidak enakan. Budaya ketimuran yang sopan santun tentu memang turut andil dalam membentuk manusia yang mudah terenyuh melihat penderitaan orang lain yang di citrakan dengan tangisan.

Jangankan ruang terbuka macam televisi, beberapa kasus penggerebekan “mesum” oleh aparat satpol PP ataupun inisiatif yang dilakukan oleh warga saja, syarat dengan suasana haru oleh pasangan yang ketangkapan. Mereka akan menangis sejadi-jadinya dengan harapan agar dilepaskan. Tak jarang petugas tertipu oleh sandiwara ini, karena bisa jadi mereka melakukan hal yang sama di tempat lain dan memakai jurus yang sama agar dilepaskan kembali.

Konsekwensi ini akhirnya cerdas dimanfaatkan oleh para pemburu rating di dunia bisnis pertelevisian indonesia. Tayangan yang ada bak jamur di musim hujan merebak di mana-mana. Unsur reality show, quiz, acara musik, acara sahur, dan iklan mulai keranjingan membuat selipan kesedihan di dalamnya.

Akibat banyaknya tayangan yang menyajikan unsur kesdihan di dalamnya, terkadang membuat kita menebak ataupun beradu argumen. Aslikah atau hanya sekadar sandiwara semata? Acara musik yang dahulu menyajikan kreativitas musik para seniman musik di tanah air, berganti menjadi acara “alay” tak jelas. Di satu sisi menampilkan teriak-teriak penghinaan di sisi lain tiba-tiba muncul fase games dengan sosok peserta yang meminta belas kasihan.

Jualan penderitaan hidup keluarga tak malu lagi mereka pamerkan demi merebut simpati penonton televisi. Ketika simpati penonton televisi meningkat otomatis yang di untungkan adalah para konglomerat empunya stasiun televisi. Sponsor berkerumun rebutan mengiklan di lokasi yang lagi ngehits penontonnya.

Televisi yang mudah diakses menjadikan metode mengeruk keuntungan lewat jualan kesedihan akhirnya ramai diikuti oleh pengemis di indonesia saat ini. Kebanyakan pengemis yang kita temui saat ini, mereka yang memiliki tampilan mengenaskan maupun cacat. Anak bayi sekarang bukan lagi menjadi seorang yang harus diberikan perhatian dan kasih sayang, namun oleh para pengemis bayi ini dijadikan properti layaknya bahan pelengkap sayuran macam garam.

Menurut Bambang Sugiharto (kompas, 25-06-15), seorang Guru besar filsafat budaya Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, beberapa tayangan di televisi terkesan hanya ingin meraih pemirsa terbanyak dengan menjual sensasi yang mudah dijangkau masyarakat, seperti gosip, hiburan, dan cerita dengan alur luapan emosional yang tidak masuk akal.

Seharusnya media memiliki tanggung jawab sosial untuk menayangkan program bermanfaat yang bermanfaat bagi masyarakat, sekalipun tidak populer. “tanggung jawab media untuk menyajikan tayangan informasi bermanfaat dan mencerdaskan masyarakat. Dan kita sebagai masyarakat diharapkan kian melek   media dan pandai untuk   memilih tayangan yang bermanfaat.

Pada akhirnya manakala air mata hari ini tidak diekspresikan sebagaimana mestinya niscaya, kehidupan akan ramai oleh gagap gempita kebingungan dalam kepalsuan. Begitu ngerinya ekspresi ketidakberdayaan yang telah diperbudak hingga dikendalikan oleh nafsu kapitalis menyebabkan kita semakin terseret oleh identitas kemanusiaan kita. Kemanusiaan yang tau terhadap batas-batas sisi kemanusiaan tanpa dirasuki sikap materialistis buta.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mungkin tulisan hanya kan menjadi pajangan, namun dengan tulisan kita mampu mengekspresikan keresahan dan harapan. melalui tulisan pun kita mampu menciptakan perubahan yang akan terekam dalam keabadian. Seorang biasa yang berusaha untuk terus belajar dan melengkapi kekurangan

Lihat Juga

Puluhan Peserta Aksi Jadi Korban Tembakan Gas Air Mata

Figure
Organization