Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Tangan Kanan KUA

Tangan Kanan KUA

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo)
Ilustrasi. (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo)

dakwatuna.com –…Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mas kawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati…” (Q.S An-Nisa’ : 4)

Itulah kenyataan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir ini saat bulan Syawal. Banyak pasangan muda – mudi yang melengkapkan setengah agamanya. Di sini, di daerah penempatanku selama setahun yang aku jalani telah satu semester terhitung dari bulan Januari 2015 hingga saat ini di bulan Agustus 2015 banyak yang telah aku lihat, kultur serta budaya dan adat istiadat di daerah ini mulai aku pelajari satu persatu. Dan ternyata setiap orang itu unik, bukan hanya itu, daerah pun bisa terbilang unik. Bagaimana tidak, daerah ini – Desa Kutakarang Kecamatan Cibitung Kabupaten Pandeglang, merupakan salah satunya.

Acara walimahan atau biasa dikenal dengan pernikahan, jika di daerah ini biasa dikatakan sebagai hajatan, merupakan acara yang sangat sederhana dan tidak berbelit – belit, walaupun menggunakan adat istiadat, namun acara pernikahan tak jadi hal besar yang merepotkan, tidak seperti pada kebanyakan acara pernikahan yang sering terjadi di kota – kota besar.

Acara pernikahan yang terjadi di kampung ini sangat sederhana, mengundang pihak keluarga dan kerabat dekat saja serta hidangannya pun sederhana, menambah suasana pedesaan yang masih kental dengan adat istiadat daerah sunda.

Dalam pernikahan yang biasa dilaksanakan oleh umat muslim di Indonesia, biasanya menggunakan mahar atau mas kawin yang besarannya berbeda di tiap daerah. Ada yang mahal, ada yang sedang dan bahkan ada yang sangat sederhana. Terkadang mahar yang tinggi diakibatkan oleh adat istiadat yang mesti di ikuti saat prosesi pernikahan, sementara di dalam Islam telah di jelaskan bahwa, sebaik – baiknya mahar adalah yang tidak memberatkan memepelai pria. Sehingga pasca nikah tidak menjadi beban psikologis untuk mengganti uang saat nikah dan masih banyak lagi polemik dari mahalnya mahar saat nikah.

Namun, berbeda pengalaman yang aku alami, saat berada di daerah pengabdianku ini. Beberapa pekan yang lalu, aku mengikuti acara prosesi pernikahan yang dilaksanakan di kampung tetangga tempat aku tinggal.

Suasana kekeluargaan mulai tercipta saat mempelai pria mulai diantarkan ke rumah mempelai wanita, tempat berlangsungnya acara pernikahan. Seluruh warga kampung yang merupakan kerabat dekat ikut serta dalam mengantarkan pria ke acara pesta. Iring – iringan suara motor memecah kesunyian tiap kampung yang di lalui oleh rombongan hingga di lokasi pesta. Setibanya di sana aku melihat panggung yang sederhana serta jamuan tamu undangan yang juga sangat sederhana, jauh dari nuansa glamour dan mewah. Namun, tak mengurangi suasana hikmat pernikahan.

Ilustrasi. (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo)
Ilustrasi. (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo)

Abah Masli, begitulah biasa orang memanggilnya. Seorang anggota P3M, pegawai KUA (Kantor Urusan Agama) yang menjadi tangan kanan KUA di tingkat desa. Tugasnya sebagai penghulu telah banyak menikahkan pemuda dan pemudi yang ingin melengkapkan setengah agamanya. Yang membuat aku tercengang, Abah Masli ini telah 29 tahun menikahkan warga di kampungnya, telah puluhan bahkan bisa dikatakan ratusan pasangan yang ia nikahkan. Bahkan, dari ayah hingga cucu dalam suatu keluarga tersebut ia yang menikahkannya. Sungguh suatu hal yang sangat mengagumkan.

Ada hal lain lagi yang membuatku tercengang, yaitu mahar yang diberikan mempelai pria terhadap pasangannya, kurang dari uang merah yang bergambar pahlawan proklamasi tersebut. Sungguh pernikahan yang tak memberatkan pihak manapun. Setelah aku konfirmasi kepada Abah Masli sebagai penghulu yang menikahkan banyak pasangan, “memang seperti itu pak Sapto, pernikahan di Sunda ini terutama daerah Banten sangat mudah dan tak dibuat susah, uang berapa pun bisa dijadikan mahar untuk nikah, yang jelas kedua belah pihak saling setuju” begitulah kata Abah Masli. “Nantinya, acara ini akan dilanjutkan di rumah mempelai pria seminggu kemudian dan begitulah acara pernikahan di daerah banten pada umumnya pak Sapto” lanjut Abah Masli.

Ya begitulah, lain orang lain cerita, lain daerah lain pula kebiasaannya. Inilah pengalamanku saat berada di daerah pengabdian dalam mengikuti acara pernikahan.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Tangan Ribamu Mengikis Keadilan dan Kesejahteraan

Figure
Organization