Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Membangun Cita Kader Dakwah Unggulan

Membangun Cita Kader Dakwah Unggulan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (modifikasi dari foto di: win4000.com)
Ilustrasi. (modifikasi dari foto di: win4000.com)

dakwatuna.com – Dalam siklus panjang sebuah pergerakan dakwah,’pengkaderan’ merupakan proses inti yang harus diberikan porsi khusus, dari sekian banyak konsep yang tercakup dalam sebuah organisasi. Karena kualitas kader, akan menjadi titik tolak kesuksesan sebuah pergerakan dakwah. Penulis mengatakan hal ini, berdasarkan percakapan dengan seorang junior ditempat penulis kuliah. Junior tersebut pada dasarnya adalah ‘produk asli’ sebuah ormas besar Islam diIndonesia. Latar belakang keturunan, buku bacaan, pendidikan formal, pergaulan, hingga cara berpikir pun; sangat menunjukkan bahwa beliau merupakan kader ideologis dari sebuah ormas Islam besar di Indonesia.

Tapi ketika memasuki dunia kampus, dan disodori berbagai macam pergerakan yang memiliki beragam corak pemikiran Islam. Sang junior tidak memilih organisasi yang menjadi perpanjangan tangan ormas besar Islam yang selama ini dia ikuti. Dia malah bergabung dengan lembaga dakwah kampus, yang bermanhajkan tarbiyah. Yang secara garis pemikiran, sudah memiliki banyak khilafiyah. Ketika penulis bertanya,’mengapa antum lebih memilih dakwah kampus?’. Dia menjawab, ’Akhlak kader dakwah lebih bagus bang. Lingkungannya pun lebih membuat ane nyaman’.

Itu adalah salah satu potret kecil, bahwa kualitas kader akan menjadi pesona tersendiri di mata orang lain. Tapi membangun kualitas yang unggulan, pastilah melewati pergulatan yang panjang. Sehingga kita terbiasa mendengar peribahasa, ’tajam pisau karena diasah’. Begitu juga dengan kader dakwah. Kader unggulan yang lahir, pasti terlihat dari keaktifan dan pelayanannya yang hebat. Pelayanan kepada organisasi, maupun pelayanan kepada masyarakat secara umum.

Semua tahapan dakwah pastilah bertahap. Rasul pun bertahap. Dari era dakwah sirriyah hingga era dakwah jahriyah. Dari jumlah pengikut ratusan orang di awal hijrah, hingga menjadi ratusan ribu orang pada saat beliau wafat. Dari turunnya Alquran masih dalam pembahasan ayat-ayat tauhid, hingga pembahasan mendetail mengenai imamah, hukum, dan perdagangan. Begitu juga dalam kehidupan berharakah, pastilah kita harus melakukannya secara bertahap. Setidaknya berkesesuaian dengan marhalah dakwah.

Pada tahapan individu, kita bisa belajar pada fase baiat aqabah. Baik baiat aqabah 1, maupun baiat aqabah 2. Karena peristiwa tersebut adalah peristiwa masuknya seseorang ke dalam Islam. Dalam kehidupan berharakah, peristiwa ini serupa dengan kegiatan rekrutmen. Baiat aqabah 1 adalah perjanjian Rasulullah saw dengan 12 orang, yang terjadi pada tahun ke-12 kenabian. Sedangkan Baiat Aqabah 2 adalah perjanjian Rasulullah saw dengan 73 orang laki-laki, dan 2 orang perempuan. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-13 kenabian.

Baiat ini adalah fase penting dalam kehidupan berislam maupun berharakah. Bahkan Syaikh Hasan Al bana dalam Risalah Ta’alimnya, membahas rukun-rukun baiat(Arkanul Baiah) yang berisi 10 pilar manhaj tarbiyah. Dan pada bagian pertama, ada pembahasan mengenai al fahmu, yang juga membahas 20 prinsip (ushul isyrin). Dan menurut Dr. Yusuf Qardhawi, ushul isyrin memuat begitu banyak kaidah syariat, yang dijelaskan secara ringkas.

Begitulah baiat aqabah mengajari kita hakikat berdakwah dalam kehidupan harakah. Bahwa hakikat berdakwah tidak hanya berhenti pada proses rekrutmen dan pendidikan awal. Tapi perlu sebuah manhaj sistematis yang membuat kader dakwah memiliki program kehidupan yang menyeluruh.

Lalu pada tahapan dakwah sosial dan institusi, kita bisa belajar bagaimana proses pembangunan masjid menjadi sebuah tonggak perekat sosial di antara masyarakat. Jadi bangunan pertama yang dibangun Rasulullah setelah berhijrah adalah masjid. Khususnya masjid nabawi, yang masih kita rasakan kebermanfaatannya hingga saat ini. Diriwayatkan, bahwa masjid Nabawi pada saat itu tidak memiliki mimbar untuk berkhutbah. Sehingga kehidupan sosial mulai Rasulullah bangun, dengan cara mengajak semua muslim untuk shalat berjamaah di masjid. Saat itu Rasulullah membangun kerekatan sosial di antara umat muslim.

Jadi kita pelajari secara seksama, pada saat itu fungsi masjid adalah tempat; 1.Ibadah, 2.Ahli Suffah, muhajirin dari golongan miskin yang belum memiliki rumah, 3. Ta’lim, 4. menerima utusan(baik dari kabilah, maupun luar negeri), 5. bersosialisasi semua golongan; baik dari kalangan elit, menengah, maupun miskin.

Lalu pada tahapan dakwah bernegara, kita bisa belajar dari peristiwa piagam madinah. Disana kita bisa melihat, adanya kontrak sosial antar golongan. Sehingga pada titik ini, Rasulullah berhasil merangkul golongan yang berada di luar Islam. Setidaknya pada saat itu terdapat tiga golongan besar; 1.Kaum Muslim (Muhajirin dan Anshar) yang menjadi golongan mayoritas, 2. Kaum Musyrik (berasal dari suku Auz dan Khazraj yang belum masuk Islam) yang menjadi golongan minoritas, 3. Kaum Yahudi (Bani Nadhir, Bani Quraizah, Bani Qainuqa’). Sehingga kita melihat bahwa Islam sangat menerima keberagaman, dan sangat menghormati perbedaan. Bahkan jika kita bandingkan dengan teori sosial kontemporer, Piagam Madinah sendiri memiliki kesesuaian nilai dengan demokrasi, dan juga memberi ruang terbuka bagi civil society.

Begitulah cita-cita membangun kader dakwah unggulan, prosesnya panjang dan berliku. Tapi jika kita lihat produknya, maka kita akan melihat banyak keteladanan. Jika berbicara ilmu, kita akan menemukan Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab. Bila kita berbicara tentang kedermawanan, kita akan menemukan Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan. Bila kita berbicara tentang dunia intelijen, maka kita akan menemui Hudzaifah bin Yaman. Bila kita berbicara mengenai ahli strategi dan peperangan, maka kita akan menemui Sa’ad bin Abi Waqash dan Qais bin Sa’ad. Dan berbagai keahlian lainnya. Mereka semua dirangkai sedemikian rupa, hingga terintegrasi kedalam sebuah kekuatan kelompok yang solid dan kokoh.

Tapi kita lihat, proses membangun kader dakwah unggulan tidak bisa dilakukan dengan sekadar open recruitmen maupun pendidikan awal organisasi. Proses tersebut memakan waktu yang lama, dan memerlukan kesabaran yang panjang. Karenanya perlu ada sebuah tim khusus yang mencetak kader unggulan, yang dipersiapkan untuk menjadi the next leader dalam sebuah organisasi. Karena Rasulullah pun membangun kepribadian seorang kader unggulan, melalui beragam medan pembuktian. Jika ta’lim adalah basis ilmunya, sehingga para sahabat seorang yang alim. Rasulullah juga membangun kebugaran fisiknya melalui riyadhoh dan latihan berperang, sehingga para sahabat juga seorang jundi. Rasul juga membangun kualitas hatinya dengan ubudiyah yang intensif, sehingga para sahabat juga seorang mukmin yang taat. Semoga Allah memudahkan langkah kita semua.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization