Topic
Home / Narasi Islam / Humaniora / Kisah Dipo Wijoyo, 25 Tahun Hidup Merantau

Kisah Dipo Wijoyo, 25 Tahun Hidup Merantau

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
(Foto: Dena Fadillah)
(Foto: Dena Fadillah)

dakwatuna.com – Teringat kisah ashabul kahfi yang dikisahkan di dalam al-quran, yang bercerita tentang sekelompok pemuda yang ditidurkan oleh Allah SWT selama puluhan tahun, dan bangun dengan zaman yang berbeda. Itulah kisah yang mungkin dirasakan sama oleh Pak Dipo Wijoyo. Seorang Pria yang sekarang ini bekerja sebagai penjaga Sekolah di SMPN 1 Sei Menggaris.

Namun berbeda dengan kisah ashabul kahfi, bedanya Pak De (panggilan akrab Pak Dipo) tidak tidur selama puluhan tahun, tetapi dia menjalani kesehariannya selama puluhan tahun di daerah perantauan. Sejak berumur 26 tahun, Pak De sudah merantau meninggalkan pulau Jawa. Dia memutuskan merantau karena dia ingin mencari pengalaman serta kebebasan dalam bekerja, tanpa ada yang mengatur dirinya.

Pengalaman Karir

Pak De Dipo merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang pada masanya dinilai sekolah yang cukup tinggi. Berawal dari Kota Bali, Pak De mulai berkarir selama 1 tahun di salah satu Asuransi yang terkemuka di Indonesia sebagai staf. Karena ada beberapa hal, dia memutuskan untuk mengakhiri karirnya di asuransi dan berangkat ke Aceh dan bekerja sebagai staf bagian ekspor di PT Heeching Taimber Industry Indonesia. Beliau bekerja di perusahaan tersebut selama 5 tahun. Beliau berhenti dari perusahaan tersebut dikarenakan ada rekruitmen dari Kementrian Ketenagakerjaan sebagai Tenaga Kerja Sukarela (TKS) Butsy sebagai penyuluh pertanian, perkebunan dan peternakan yang berada di Banjarmasin. Beliau menimba ilmu di TKS Butsy selama 3 tahun dan di sinilah beliau banyak mendapatkan ilmu pertanian, peternakan dan perkebunan.

“Ketika berada di perantauan, di TKS Butsy lah saya mendapat banyak ilmu. Saya diajarkan tata cara beternak, berkebun dan bertani dari mulai teori-teori sampai ke prakteknya secara langsung, sehingga saya mempunyai keinginan untuk mempunyai usaha sendiri.” Tutur Pak De Dipo

Pengalaman beliau pun sangat banyak, hampir 10 pelatihan yang beliau ikuti di tingkat lokal sampai tingkat Nasional dan hal itu terbukti dari sertifikat-sertifikat yang beliau perlihatkan kepada saya, dan ada beberapa sertifikat yang bertandatangan langsung dari Kementrian Ketenagakerjaan dan bahkan dari Presiden Soeharto.

Sejak saat itulah Pak De ingin menyalurkan ilmu yang telah didapat di TKS Butsy dan memutuskan terjun berwirausaha sebagi peternak. Setelah selesai kontrak dengan TKS Butsy selama 3 tahun, beliau melanjutkan perjalanannya ke Palangkaraya, Samarinda dan Surabaya yang masing-masing 1 tahun sebagai wirausaha peternak ayam. Yang namanya wirausaha memang tak segampang yang dipikirkan, banyak rintangan yang harus dihadapi. Meski beliau sudah berusaha dalam mengembangkan usahanya, tetapi tetap takdir dari Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya.

Karena banyak kegagalan itu, Pak De Dipo hampir putus asa dalam mengembangkan usaha peternakan ayamnya. Dia memutuskan untuk pulang ke Solo dan menjadi penjaga kos-kosan milik temannya sewaktu masih sekolah. Selama satu tahun dia bekerja sebagai penjaga kos-kosan. Dan itu pun dia tidak menghubungi keluarganya yang ada di Yogyakarta.

Memang benar apa kata orang, apabila bekerja tidak disertai rasa cinta terhadap pekerjaannya maka tidak ada rasa nyaman dalam bekerja. Hal itu pula yang dirasakan Pak De Dipo, ketika bidang peternakan menjadi bidang yang disenangi, akhirnya Pak De meninggalkan Solo dan melancong kembali ke tanah Irian. Di Tanah Irian inilah tempat yang paling lama ditinggali oleh Pak De. Kurang lebih 10 tahun dia berada di tanah Irian. Selama 2 tahun dia bekerja sebagai motivator Transmigrasi dan ketika selesai kontrak dia berwirausaha beternak ayam selama 8 tahun. Lagi-lagi kegagalan yang Pak De dapat di tanah Irian. Dengan semangat yang tak kenal putus asa, Pak De melanjutkan perjalannnya ke pulau Sulawesi dengan bidang yang sama yaitu beternak ayam.

Seakan sudah putus harapan dengan bidang peternakan dan juga umur sudah mulai tua, Pak De akhirnya memutuskan untuk menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia, dia bekerja sebagai buruh kasar di kebun sawit selama 1 tahun. Setelah dari Malaysia, dia memutuskan kembali ke Indonesia yaitu ke Nunukan sampai sekarang menjadi penjaga sekolah di SMPN 1 SeiMenggaris. Apabila kita hitung secara keseluruhan, hampir 25 tahun Pak De Dipo merantau tanpa keluarga.

Keadaan Keluarga

Pak De Dipo merupakan seorang lelaki kelahiran Yogyakarata pada tanggal 23 Februari tahun 1950. Usianya sekarang sudah mencapai 65 tahun. Usia yang memang sudah masuk kategori Lansia. Pak De merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara. Dari ke 4 saudaranya, hanya beliaulah yang pergi merantau, sedangkan saudara-saudaranya bekerja di sekitar pulau Jawa. “Saudara saya ada yang bekerja di salah satu Bank di Jakarta, ada juga yang berwirausaha di kampung.” Tutur Beliau.

Orang tua beliau sudah lama meninggal. Oleh karena itu beliau juga kebingungan ketika ingin pergi pulang kampung ke tanah kelahirannya karena di sana sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Saudara-saudaranya pun hilang komunikasi dengan beliau. Entah sekarang saudaranya ada di mana, Pak De Dipo juga tidak tahu.

Ironi apabila kita melihat kondisi Pak De Dipo saat ini, ketika umur sudah beranjak tua, dia kebingungan akan menghabiskan di mana masa tuanya itu. Kita tahu ketika seseorang memasuki umur lanjut usia, keinginannya itu adalah tinggal dan menghabiskan umur bersama keluarganya.

Tetapi pikiran tersebut tidak pernah terbayangkan oleh Pak De Dipo, beliau tetap bersemangat layaknya seorang pemuda. Bahkan ketika saya tanya keinginannya untuk pulang kampung, dia malah menolak untuk pulang ke kampung halamannya. “Saya belum terpikir untuk pulang kampung, di sini saya ingin mengumpulkan uang, ketika uang itu sudah terkumpul saya akan gunakan untuk modal saya berwirusaha di kampung.”tuturnya.

Harapan

Umur 65 tahun merupakan usia yang masuk kategori Lansia, dan sebagian besar orang mungkin sudah mempunyai anak/cucu. Tetapi tidak akan ada yang menyangka di usia Pak De Dipo yang 65 Tahun ini, beliau sampai saat ini belum mempunyai pasangan hidup alias bujang. Entah apa yang menjadi hambatan beliau dalam mencari pasangan.

Itulah yang menjadi harapan beliau saat ini. Beliau berharap di sisa umurnya ini beliau bisa mengamalkan sunnah Rasul untuk menikah dan membentuk sebuah keluarga kecil yang bahagia. Beliau sangat mendambakan seorang istri dan anak yang dapat menemaninya.

Di dekat rumah (di tempat tinggalnya sekarang), ketika anak-anak sedang bermain, beliau pun senang ikut bermain dan bersenda gurau dengan mereka, layaknya anak dan cucu-cucunya. Mungkin itulah kesenangan beliau yang mungkin rindu akan hadirnya seorang anak kandung. Meskipun demikian, beliau terus berusaha untuk mencari pasangan yang dapat menemani beliau di masa tuanya.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Relawan Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa (Penempatan Kab.Nunukan).

Lihat Juga

Carilah Keutamaan Ramadhan

Figure
Organization