Bahagia Tak Harus Kaya

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Semua pasti ingin bahagia, benar kan? “eh, kata siapa. Saya ingin hidup melarat.” “Hmm… Maaf, anda pernah masuk ke RSJ?” “loh, itu kan tempat tinggalku. Kok bisa tahu yah? Dua juta rupiah, huaaaahahahahaaa.” dasar gila. Pasti semua ingin bahagia. Kata pak Awang Surya “Setiap anak ketika ditanya ‘apakah kamu ingin rangking satu? Jawabannya pasti iya. Untuk apa rangking satu? Agar bisa ke perguruan tinggi favorit. Kenapa ingin ke perguruan tinggi favorit? Supaya bisa bekerja di perusahaan besar. Kenapa ingin ke perusahaan besar? Agar kaya. Kenapa ingin kaya? Karena saya ingin bahagia. Pada kesimpulannya, semua orang ingin bahagia.”

Bahagia sering kali disangkutpautkan dengan kaya. Kalau kaya berarti bahagia. Sedangkan Kalau nggak kaya berarti nggak bahagia. Seakan-akan yang punya mobil mewah lebih bahagia dari yang punya sepada motor. Yang punya sepeda motor lebih bahagia dari yang punya sepeda onthel. Yang punya sepeda onthel lebih bahagia dari yang jalan kaki. Apa benar seperti itu? Entahlah.

Bahagia menurut KBBI (kamus besar bahasa indonesia), keadaan atau perasaan senang dan tentram. Dari pengertian ini, bahagia tidak ada sangkut pautnya dengan harta melimpah ruah. Tapi urusannya dengan hati. Kalau hati kita merasa bahagia, saat itu juga kita bahagia. Nggak peduli punya uang atau tidak, yang penting bahagia.

Banyak orang yang bekerja pagi-pagi petang, pulang larut malam. Untuk apa? Mencari uang. Ketika harta sudah terkumpul, si pekerja tak bisa menikmati hartanya. Karena tak punya waktu untuk menikmatinya. Lantas, di mana letak kebahagiaannya. Terlebih, tak bisa bergumul bersama keluarga. Sehingga anak-anaknya dibiarkan apa adanya. Tidak dididik dengan kasih sayangnya. Di mana hubunganya harta dengan bahagia?

Bisa kita buktikan di lapangan, bahwasanya banyak orang kaya yang hidupnya tidak bahagia. “Lah, itu kan di sinetron”. Benar, tapi sinetron itu terinspirasi oleh kenyataan hidup. Makanya banyak kasus bunuh diri, lantaran belum merasakan bahagia. Padahal kebutuhannya semua tercukupi.

Salah satu kunci bahagia menurut Awang Surya adalah syukur. Sering kali kita iri kepada orang yang bermobil, sedang kita hanya bersepeda. Sering kali kita iri kepada teman kita yang memiliki smartphone, sedang kita hanya memiliki HP gablok. Hal itu akan membuat kita merasa tidak nyaman untuk menggunakannya. Dan otomatis tidak ada rasa syukur, karena masih ada rasa kurang. Coba kalau kita melihat ke bawah, yang masih bersepeda onthel atau jalan kaki, yang tak memiliki HP, pasti kita akan merasa lebih. Dan hal itu akan membuat kita bersyukur. Jika kita sudah bersyukur, maka benih-benih kebahagiaan itu akan muncul. Karena dengan bersyukur, berarti kita sudah menikmati semua pemberian Allah.

Memberi, juga merupakan salah satu kunci kebahagiaan. Dengan memberi, berarti kita menularkan kebahagiaan kita kepada orang lain. Karena pasti ada sebagian yang sudah kita syukuri. Kalau kita tidak bersyukur, pasti tidak mau memberi. Takut kebahagiaannya berkurang. Umpama, kita memiliki beras dua kilo. Kemudian kita gunakan yang satu kilo untuk makan. Karena kita bersyukur dan merasa cukup, maka kita akan memberikan yang satu kilo lainnya kepada orang lain. Berbeda dengan yang tidak mau memberi, pasti takut tidak cukup dengan makannya. Dan di balik memberi sendiri ada rasa lega atau plong. Kata pak Awang “Harta itu sama dengan sumur dan darah. Sumur, kalau airnya tidak pernah digunakan akan menjadi beracun. Darah, kalau tidak didonorkan akan berakibat buruk bagi tubuh. Kalau selalu digunakan, pasti akan bagus.”

Bahagia tidak perlu menunggu kaya. Karena saat kaya belum tentu bahagia. Bahagia tidak hanya dimiliki oleh orang kaya, karena tukang becak juga bisa bahagia. Maka, bahagia sejatinya bukan soal “berapa uangnya”. Tapi “bagaimana hatinya”.

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...