Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Tentang Satu Rindu

Tentang Satu Rindu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: rawmavy.deviantart.com)
Ilustrasi. (Foto: rawmavy.deviantart.com)

Hujan… Teringatkan aku
Tentang satu rindu di masa yang lalu
Saat mimpi masih indah bersamamu

Terbayang satu wajah
Penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah
Penuh dengan kehangatan
Kau ibu… Oh ibu…

(Satu Rindu-Opick Feat Amanda)

Sabtu, 6 Oktober 2012.

dakwatuna.com – Di Sabtu pagi ini sejatinya menjadi salah satu hari bahagia yang takkan terlupakan bagi diriku. Tak terasa empat tahun sudah diriku bergulat dengan angka dan aku telah mengaplikasikan ilmu yang kuserap ke dalam sebuah mahakarya skripsi. Puncaknya adalah hari ini. Ya, hari ini akhirnya toga gagah itu akan nangkring di kepala.

Wisuda!

Aku sudah berpakaian rapi dan siap berangkat pergi menuju auditorium kampusku yang baru saja diresmikan beberapa hari yang lalu. Sementara Bapak mandi, aku mematut dan memantas-mantaskan diriku di depan cermin. Bapak baru saja tiba dari Ternate malam tadi. Pertemuanku dengan Bapak semalam di kost-ku adalah pertemuan yang pertama sejak empat tahun silam.

Tiba-tiba saja Yang Maha Kuasa memberikan rezeki pagi, yaitu hujan turun membasahi Bumi. Hujan pagi ini yang mengingatkan diriku tentang satu rindu. Rindu dengan sosok luar biasa yang selama ini menjadi inspirasi bagiku. Sosok yang selalu mengayomi dan melindungiku tanpa kenal lelah. Sosok yang tak pernah berhenti mengajarkanku tentang arti kehidupan dan kesabaran dalam menghadapi rintangan.

Namun, sosok itu telah pergi untuk selamanya. Tepat di saat aku menginjakkan kaki pertama kalinya untuk menuntut ilmu di kota metropolitan. Meskipun begitu, takkan pernah kulupa senyumnya. Senyum yang ternyata menjadi senyum terakhir yang kulihat ketika melepas kepergianku di bandara. Senyumnya memang terlihat dipaksakan untuk sekadar menutupi kesedihan dan menahan rasa sakit, namun tetap saja sebuah senyum ketulusan yang kurasakan.

Seperti kaset yang diputar ulang, aku pun mencoba untuk mengingat memori tentang sosok itu di masa lalu. Tak terasa air mata menetes membasahi pipiku. Mengingat sosok itu memang selalu menghadirkan tangis karena menahan kerinduan yang begitu menggebu-gebu.

***

Rindu Masa Putih Merah.

“Fatiiih… Ayo belajar berhitung dulu, Nak!” teriak Ibu dari dalam kamarku.

“Iya, Bu.” Aku meninggalkan mainan mobil-mobilan di ruang tamu dan bergegas menuju meja belajar yang berada di dalam kamar.

“Satu tambah satu berapa?”

“Dua, Bu.”

“Kalau dua tambah dua berapa?”

“Empat, Bu.”

“Anak pintar. Belajar yang rajin dan banggakan kedua orangtuamu, Nak.”

Rindu Masa Putih Biru.

Ketika berseragam putih biru, aku jarang langsung pulang ke rumah selesai pelajaran di sekolah. Aku senang sekali main ke rumah teman, tanpa pernah bilang dan izin kepada Ibu terlebih dahulu.

Aku yang hanya tahu asyiknya bermain bersama teman-teman, tidak pernah memikirkan Ibu yang seringkali mengkhawatirkan diriku. Ibu berdiri di depan pintu sepanjang siang sampai sore menjelang seraya berharap anak kesayangannya segera pulang dan memelukku dengan penuh rasa sayang.

Rindu Masa Putih Abu-abu.

Ibu tidak pernah absen dalam menghadiri acara pengambilan rapor di sekolahku. Bahkan di saat diriku telah berseragam putih abu-abu. Di saat itu, entah mengapa aku malu mengantarkan Ibu untuk mengambilkan raporku. Aku malu dengan teman-temanku yang mengambil rapornya sendiri.

Padahal kulihat bangganya wajah Ibu di kala wali kelas memberikan ucapan selamat karena aku mendapatkan ranking satu dan menjadi juara umum di sekolah. Jika Ibu saja merasa bangga sepenuh jiwa, maka seharusnya tak ada alasan bagiku untuk merasa malu. Sepertinya aku memang belum mengerti bahwa pada suatu hari nanti aku akan merindukan momen spesial itu.

***

Terhitung baru satu minggu kujejakkan kaki di kota metropolitan. Hujan yang turun menemani diriku yang sedang mengerjakan tugas kuliah di dalam kamar kost. Tiba-tiba saja handphone bututku berdering nyaring. Di layar handphone tertera tulisan, “Bapak Tercinta”. Mungkin ada sesuatu yang penting, batinku dalam hati.

Assalamu’alaikum. Ada apa, Pak?”

Wa’alaykumussalam. Ib… Ibu…”

Sepertinya kampung halamanku, Ternate, juga sedang hujan dan lebih deras dibandingkan di kost-an. Sehingga sinyal terganggu dan mengakibatkan suara Bapak terdengar terputus-putus.

“Halo… Halo… Ada apa dengan Ibu, Pak?”

“Ib…Ibu baru saja menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Kamu harus sabar ya, Nak.”

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.”

Mendengar berita duka cita tersebut, tak ayal membuat airmataku mengalir deras. Akhir-akhir ini kondisi kesehatan Ibu memang terus menurun karena sakit darah tinggi yang dideritanya telah mencapai stadium akut. Meskipun begitu Ibu tetap memaksa ikut mengantarkan kepergianku di bandara seminggu yang lalu.

Aku bersikeras untuk pulang ke kampung halaman. Namun, Bapak melarang diriku. Bukan apa-apa. Bapak tidak punya uang untuk membelikan tiket pesawat Jakarta-Ternate PP.

Uang tabungan Bapak telah terkuras habis untuk biaya perawatan Ibu di rumah sakit. Belum lagi Bapak juga harus tetap memikirkan bagaimana caranya mencari uang untuk kelangsungan kuliahku nanti. Aku pun luluh dan akhirnya hanya bisa berdoa dari jauh. Aku berdoa supaya Ibu mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya.

***

“Ayo, kita berangkat, Nak. Sepertinya hujan sudah mulai reda,” ujar Bapak membuyarkan lamunanku.

Tak ayal aku langsung menghapus airmata yang ada di pipiku. Setelah itu, aku bergegas mengenakan sepatu pantofel warna hitam yang telah kusemir tadi malam sehingga sepatu terlihat mengkilat sekarang.

“Kenapa kamu menangis, Nak?” tanya Bapak seraya memegang pundakku dengan lemah lembut.

Nggak apa-apa, Pak. Aku menangis bahagia karena hari ini akan diwisuda,” kilahku mengalihkan perhatian Bapak.

“Bukannya menangis karena rindu dengan ibumu?” Tak kusangka Bapak seolah-olah bisa membaca apa yang saat ini sedang berada di dalam pikiranku.

“Eh… Bapak kok tahu?” tanyaku penasaran.

“Ya, jelas Bapak tahu. Jika melihat hujan, Bapak juga akan langsung teringat dengan ibumu. Teringat dengan janji Bapak dengan Ibu untuk terakhir kalinya. Janji untuk selalu bekerja keras demi bisa menguliahkan kamu sampai wisuda supaya nantinya kamu bisa menjadi kebanggaan bagi kami berdua yang hanya lulusan SD saja. Alhamdulillah sekarang Bapak telah berhasil memenuhi janji itu.”

Bapak menjawab pertanyaanku dengan panjang lebar sembari mencoba untuk tetap terlihat bersikap tegar di hadapanku. Aku pun memeluk erat Bapak yang kusayangi itu. Seorang Bapak yang tubuhnya kini semakin renta dimakan usia. Wajahnya juga penuh dengan kerutan dan sinar wajahnya menandakan kebahagiaan yang telah lama tergadaikan.

Kami berdua berangkat ke kampus dengan berjalan kaki. Jarak rumah kost dengan kampus memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh menit saja. Namun, kami berdua harus berjalan cukup hati-hati karena banyak genangan air di jalan laksana jejak yang ditinggalkan oleh sang hujan.

Sesampainya di kampus, ternyata suasana di sekitar auditorium telah ramai dengan keriuhan dan kerumunan orang lalu lalang, tak ubahnya seperti pasar malam. Ya, seperti pasar malam yang sering kulihat di akhir bulan yang digelar di sepanjang jalan menuju rumah kost-ku. Aku pun merangsek masuk ke dalam barisan teman-teman yang sudah diatur rapi sedangkan Bapak menuju tempat yang telah disediakan di lantai dua untuk menyaksikan prosesi wisuda.

Pada pukul delapan tepat, prosesi wisuda pun dimulai dengan suasana penuh khidmat. Para dosen mulai memasuki auditorium diikuti barisan para mahasiswa, termasuk diriku di dalamnya. Semua menduduki tempat masing-masing yang telah disediakan. Hanya tersisa sedikit kegugupan saja di sana karena kami telah mengikuti rangkaian kegiatan gladi kotor dan gladi bersih sebelumnya.

Setelah acara pembukaan dan sambutan, tibalah pada acara utama yang paling mendebarkan dan dinantikan. Acara pemindahan tali toga yang dilakukan oleh rektor. Para mahasiswa dipanggil satu per satu berurutan sesuai abjad. Tibalah giliran namaku dipanggil ke depan podium.

“Muhammad Fatih Ramadhan!”

Aku berjalan maju ke depan podium dengan perasaan tidak karuan. Gembira, bingung, sedih, haru. Semuanya bercampur menjadi satu. Seelsai pemindahan tali toga, aku meninggalkan podium dengan menuruni anak tangga. Kualihkan pandanganku ke lantai dua. Tepatnya ke arah tempat duduk di mana Bapak sekarang berada.

Kulihat Bapak berdiri agak maju di tepi pembatas lantai dua supaya bisa melihatku dengan lebih jelas. Namun, aku melihat Bapak tidak sendirian di sana. Di sebelahnya seperti ada sesosok perempuan yang menemaninya. Sosok perempuan yang tidak asing bagiku. Sosok perempuan yang telah kukenal begitu lama. Sosok perempuan yang selalu mengingatkanku tentang satu rindu.

Ibu!

Ya, aku melihat sosok Ibu yang sedang berdiri mendampingi Bapak. Ibu lantas melemparkan senyum kepadaku. Senyum ketulusan yang sama dengan senyum terakhir yang kulihat di bandara. Secara refleks kubalas senyumannya sembari berjanji di dalam hati.

Hari ini aku telah berdiri tegap di sini. Kuikrarkan selaksa janji tulus suci. Izinkan putra kebanggaanmu menjadi anak yang berbakti. ‘Kan kuukir senyum terindah di wajahmu sekali lagi.”

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Bayu Bondan adalah nama pena dari penulis berkacamata ini. Setelah 4 tahun berguru kepada maestro angka, Alhamdulillah saya berhasil merengkuh toga gagah di kepala dan telah bekerja sebagai PNS di daerah Jakarta Pusat. Di sela-sela kesibukan aktivitas sehari-hari, saya mulai sedikit berpaling dari angka dan mencoba berteman dengan aksara. Biarkan saja pena menari dan lihat saja hasilnya nanti.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization