Kesalehan Sosial, Modal Utama Pembangunan Bangsa

 

ilustrasi-kesalehan sosial (lazisdewandakwah.org)

dakwatuna.com – Islam tidak melulu berbicara mengenai ibadah wajib (mahdhah, vertikal), tapi juga ibadah sosial (ghairu mahdhah, horisontal). Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya. Keduanya harus serimbang, seiring-sejalan. Saling melengkapi, saling menyempurnakan. Melakukan ibadah wajib semata, adalah orang yang merugi, karena belum memberi manfaat kepada sesama (bangsa dan negara). Sedangkan melakukan ibadah sosial tanpa dibarengi ibadah wajib, maka akan sia-sia.

Pada kenyataannya, masih banyak umat Islam di Indonesia yang masih memahami bahwa kesalehan di mata Allah swt hanya kesalehan pribadi semata. Sementara, kesalehan sosial belum dianggap sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari hidup keseharian. Padahal, dalam ajaran Islam, banyak mengandung nilai-nilai sosial yang memiliki peran yang sangat besar dan signifikan dalam pembangunan bangsa.

Berikut beberapa nilai sosial Islam yang bisa dijadikan sebagai modal dasar pembangunan bangsa, di antaranya:

1. Ta’awun (Tolong-Menolong)

Memiliki sifat suka menolong merupakan salah satu ciri orang yang beriman (At-Taubah: 71). Menolong tanpa pamrih, tulus, dan hanya mengharap keridhaan Allah semata. Bukan menolong karena berharap imbalan materi atau ingin dipuji oleh orang lain. Tolong-menolong harus dalam hal kebaikan dan kemaslahatan, bukan dalam hal keburukan dan kezhaliman. Menurut H. Machmud Ranusemitro (1999), salah satu kriteria bangsa madani adalah adanya ta’awun (tolong-menolong).

Tolong menolong dalam skala kecil seperti menolong tetangga atau menolong rekan kerja. Sedangkan menolong dalam skala yang luas, seperti yang kuat menolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin, yang berkuasa menolong yang terzhalimi.

Suka menolong harus menjadi kesadaran iman bagi setiap muslim. Buat apa kita rajin beribadah tapi enggan memberikan pertolongan. Buat apa kita kaya-raya tapi hanya untuk diri sendiri dan enggan berbagi. Mengapa kita tidak malu mengaku Muslim jika tidak memiliki kepedulian pada orang lain. Mengapa kita mesti bangga telah menjadi orang sukses, jika di sekitar kita masih banyak orang yang kesusahan. Dan bagaimana kita bisa percaya diri mengaku sebagai pejuang, apabila kita membiarkan penyakit sosial makin merajalela.

Menyantuni fakir-miskin, mengurus anak yatim, menolong kaum dhuafa; bukanlah tugas pemerintah saja. Tapi tugas kita semua. Tugas setiap orang yang mengaku beriman. Kalau ada tetangga kita yang miskin, kalau ada di kampung kita yang menjadi pengemis, kalau masih banyak di desa kita yang tidak mampu sekolah; jangan langsung menyalahkan pemerintah. Salahkan diri kita sendiri. Mengapa kita tidak membantu mereka, mengapa kita tidak peduli dengan mereka.

Tolong-menolong dalam lingkup kehidupan bernegara dan berbangsa terjadi antara pemerintah dan rakyat. Kedua elemen tersebut jika tidak saling tolong-menolong, maka pembangunan akan terhambat. Program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah harus mendapat dukungan dan partisipasi dari rakyat. Sedangkan pemerintah harus dengan terbuka menerima masukan dan aspirasi dari rakyat.

2. Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS)

Kesalehan sosial berikutnya yang memiliki peran besar dalam pembangunan bangsa adalah pelaksanaan zakat, infaq, dan shadaqah. Pada kenyataannya, walau banyak umat Islam yang kaya-raya atau berkelimpahan harta, tapi mereka masih enggan untuk berinfaq atau bersedekah. Termasuk mereka yang memiliki harta-benda yang sudah mencapai nisab, mereka pun belum mau membayar kewajiban zakat.

Jika yang kaya menyantuni yang miskin, jika yang kuat dan berkelimpahan harta bersedekah kepada mereka yang dhuafa; sehingga bisa mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, sekaligus menurunkan tindak kriminal. Nilai sosial dari berinfaq dan bersedekah sangat besar perannya dalam pembangunan dan kemaslahatan umat.

Maka, semangat untuk berbagi, gairah untuk memberdayakan orang lain, dan sikap peduli terhadap mereka yang lemah; adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam diri orang beriman. Di sisi lain, sifat-sifat serakah, rakus, zhalim, dan hubbun-dunya harus kita tanggalkan.

Sementara zakat pun memiliki andil yang tak kalah pentingnya bagi pembangunan dan kesejahteraan umat. Apabila semua orang Islam yang sudah wajib zakat melaksanakannya kewajibannya dengan baik dan tepat waktu (Al-Baqarah: 43), maka kesejahteraan dan kemakmuran yang akan terjadi. Bisa dibayangkan berapa uang dan harta yang akan terkumpul jika penduduk Muslim di Indonesia membayar zakat.

Dana zakat yang besar tersebut bisa disalurkan untuk berbagai keperluan, seperti menyantuni fakir-miskin dan yatim piatu, pengembangan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, program dakwah maupun pembangunan fisik, seperti jalan, jembatan, fasilitas sosial, dan lain-lain.

Menurut M.A. Mannan (1993)[1], salah satu prinsip zakat adalah pemerataan dan keadilan merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia. Menurutnya, secara umum fungsi zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Sedangkan dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat. Di bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara.

Sementara, menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin (Kahf, 1999)[2].

Muhammad Daud Ali menerangkan bahwa tujuan zakat adalah: (1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; (6) menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama yang memiliki harta; (8) mendidik manusia untuk berdisiplin menunaika kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial (Ali, 1988)[3].

Jadi, alangkah tidak bijak jika kita hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah atau menadahkan tangan meminta-minta. Karena bagaimana pun, rakyat harus proaktif dan partisipatif dalam setiap kegiatan pembangunan. Bahkan, untuk mencapai pembangunan yang cepat dan berhasil guna, maka semboyan pemilu pun juga tepat diterapkan dalam hal pembangunan, yaitu “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

3. Qurban

Ibadah qurban sangat dianjurkan dalam Islam. Selain bertujuan sebagai pengabdian dan bentuk ketaatan kepada Sang Pencipta, melakukan qurban merupakan perwujudan kesalehan sosial seseorang. Nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya sangatlah tinggi. Di antaranya adalah solidaritas sosial, kedermawanan, kepedulian, juga persaudaraan.

Dengan berqurban, kita dididik untuk memiliki karakter untuk senang berbagi. Berbagi rejeki, berbagi kebahagiaan, dan berbagi kebersamaan. Fakir-miskin dan kaum dhuafa yang jarang makan daging, bisa merasakan nikmatnya memakan daging. Sedangkan bagi yang berkurban, bisa menghilangkan ketamakan dan cinta harta berlebihan.

Peristiwa qurban yang setiap tahun dirayakan umat Muslim di seluruh dunia seharusnya tak lagi hanya dimaknai sebatas proses ritual keagamaan, tetapi juga diletakkan pada peneguhan nilai-nilai sosial-kemanusiaan dan semangat keadilan, sebagaimana pesan Allah dan RasulNya lewat Al-Qur’an dan al-Hadits.

Dengan kata lain, ibadah qurban bukan hanya bermakna bagaimana manusia berusaha mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama kepada mereka yang fakir-miskin dan dhuafa, sehingga mencerminkan dengan tegas pesan nilai sosial Islam.

Dalam Q.S. Al-Hajj: 36 menegaskan bahwa qurban sebagai media untuk ber-taqarrub

kepada Allah, selalu terkait dengan anjuran untuk memperhatikan dimensi-dimensi kesejahteraan sosial baik secara material, moral, dan spiritual. Jadi, qurban bukan semata-mata ibadah individual tetapi juga ibadah sosial.

Dengan disyariatkannya qurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama (khairunnas anfa’uhum lin-naas).

Di samping itu, ibadah qurban memiliki dimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal ini terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan qurban, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berbaur, berkumpul, dan berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi fakir-miskin, lebih-lebih dalam situasi krisi ekonomi dan moneter seperti sekarang ini sangat tinggi nilainya, saat mereka menerima daging hewan kurban tersebut.

Dengan syariat qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaan sosialnya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang tinggi.

Atas dasar uraian tersebut, secara garis besar, semangat berqurban mempunyai dua nilai, nilai keshalehan spiritual dan nilai keshalihan sosial. Nilai sosial yang bisa diperoleh adalah semakin eratnya hubungan antara si kaya dan si miskin, memperkokoh tali persaudaraan, dan terciptanya kehidupan yang harmonis terutama dalam bidang sosial-ekonomi.

Dalam kerangka kehidupan berbangsa, pelaksanaan ibadah qurban bisa membantu program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pemerataan ekonomi, dan menumbuhkan lapangan kerja baru. Juga memperkuat rasa persatuan dan persaudaraan, berkurangnya jurang pemisah antara si kaya dan miskin, serta timbulnya keadilan sosial dan ekonomi.

Itulah beberapa perintah dan ibadah dalam Islam yang mengandung nilai-nilai sosial yang memiliki peranan besar dalam membangun diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Apabila umat Islam di Indonesia mampu melaksanakan berbagai ibadah tersebut dengan baik, secara langsung maupun tidak langsung mereka telah berpartisipasi dan proaktif dalam membangun bangsa.

Terjebak Ritualisme

Tidak sedikit umat Islam yang masih terjebak pada ritualisme. Melakukan sebuah ibadah hanya sekedar menjalankan perintah atau untuk mendapatkan pahala semata. Mereka tanpa sadar memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat, atau dengan kata lain; ibadah yang dilakukannya hanya berefek pada kehidupan akhirat saja.

Akibatnya, tak jarang mereka melakukan suatu amalan hanya mengutamakan kuantitas tanpa memperhatikan kualitas, perbuatan yang berulang-ulang, tanpa pemaknaan dan penghayatan. Padahal, setiap ibadah yang kita lakukan harus diikuti proses transendensi dan kontemplasi. Dan yang terpenting adalah setiap ibadah ritual selalu memiliki implikasi sosial.

Menurut pakar antropolog Indonesia, Clifford Geertz, bangsa kita seperti “bangsa teater”. Bangsa yang sangat sering menyelenggarakan upacara-upacara. Semua hal diterjemahkan menjadi upacara. Negara ibarat panggung sandiwara, pentas teater. Masyarakat teater, pemerintahan teater. Bahkan, setiap ibadah pun tak lebih dari sebuah seremoni tanpa substansi, hanya lebih ke tradisi tanpa implikasi (sosial).

Perayaan hari-hari besar agama sering nampak gebyar, riuh, ribut, klobot, tapi sering tidak mencapai inti. Tidak memproduksi apa-apa, abai pada substansi, dan terjebak pada jalan hingga lupa pada tujuan yang hakiki. Bahkan, ketika praktik keagamaan telah menjadi sebuah industri. Ada industri dzikir, industri shalawat, industri pengobatan Islami, dll.[4]

Padahal seharusnya dari mulai ibadah rutin keseharian kita, seperti shalat, dzikir, baca Alquran, puasa Senin-Kamis; hingga ibadah pada waktu-waktu tertentu seperti puasa Ramadhan, shalat Id, qurban dan lain-lain. Semua itu, selain berdimensi vertikal, juga memiliki dimensi horisontal (sosial).

Dalam Q.S. Ibrahim: 7 disebutkan bahwa “tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”. Ini mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan ke dunia ini diperintahkan untuk beribadah baik ibadah vertikal maupun ibadah horisontal. Namun, sebagian kita masih mengartikannya secara sempit, yaitu hanya ibadah vertikal saja. Akibatnya, masih banyak orang yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, antara kerja dan ibadah.

Hal ini terbukti, ada orang yang sangat rajin beribadah, tapi malas bekerja. Ada yang rutin baca Alquran, tapi tidak peka sosial. Ada yang rajin berpuasa sunnah, tapi perilaku kesehariannya masih buruk. Kesalehan individual, tidak diikuti dengan kesalehan sosial. Padahal, nilai-nilai sosial Islam yang terkandung dalam ibadah dan ajaran Islam haruslah termanifestasikan dalam kerja dan perilaku sehari-hari.

Sering kita temui, para pemuka agama, pejabat, tokoh politik, yang sekalipun mengaku beragama dan rajin beribadah; tapi masih anti-sosial dan serakah, hanya memikirkan diri sendiri dan kelompok (golongan, partainya). Janji untuk dekat kepada rakyat, berpihak kepada yang lemah, dan membantu yang miskin-papa hanyalah sekedar retorika belaka.

Sudah sepatutnyalah kita mencontoh Rasulullah saw, para sahabat, alim-ulama, serta para pendiri negeri ini, tentang bagaimana mereka memahami agama dan mempraktikkannya. Selain mereka taat beribadah pada Allah swt, mereka juga beramal nyata, memiliki rasa kemanusiaan dan kepeduliaan sosial yang tinggi, serta bisa menjadi contoh dan tauladan dalam berbagai hal bagi orang-orang di sekitarnya.

Kesimpulan

Ibadah yang kita lakukan sehari-hari baik ibadah vertikal maupun ibadah horisontal, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial yang sangat berguna bagi kepentingan dan kemaslahatan umat. Amalan ibadah sekecil apapun, pasti memiliki dimensi sosialnya sendiri.

Nilai-nilai sosial yang terkandung dalam ajaran Islam juga sepadan dengan nilai-nilai universal, seperti musyawarah, persaudaraan, bekerjasama, menghormati orang lain, persamaan, dan sebagainya. Juga dalam ibadah qurban atau zakat, terdapat nilai-nilai universal seperti semangat berbagi, kepedulian, solidaritas, empati, dan lain-lain.

Sudah barang tentu, jika nilai-nilai sosial Islam tersebut dipahami, disadari, dan dilaksanakan oleh setiap muslim; akan memberikan sumbangsih yang sangat besar dan signifikan terhadap pembangunan bangsa dan negara. Apabila kemiskinan dapat dikurangi, ketidakadilan dapat diberantas, serta kesenjangan ekonomi tak lagi kentara; paham-paham seperti radikalisme, anarkisme, hingga terorisme juga dapat diminimalisir. Sebab tindakan-tindakan tersebut lebih dipicu oleh faktor sosial-ekonomi daripada faktor keyakinan atau agama.

Nilai-nilai sosial Islam jika diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan mampu menumbuhkan rasa cinta tanah-air dan nasionalisme. Kepedulian terhadap korban banjir, gempa bumi, tanah longsor, daerah pedalaman, akan menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan, seia-sekata, dan anti-permusuhan.

Akhir kata, mari kita sama-sama kembali menggali nilai-nilai sosial dalam ajaran Islam untuk kemudian kita pahami, kita sadari, dan kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari dengan ibadah yang kita lakukan, kita asah kepekaan sosial kita, kita tingkatkan kepedulian kita; untuk menuju Indonesia yang makmur dan sejahtera, serta berkeadilan sosial. (trimanto/dakwatuna)

Daftar Referensi:

Ali, Mohamad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. UI Press. Jakarta. 1988

Asmuni Mth, Menelusuri Spiritualitas Sosial Ibadah Kurban. Makalah Refleksi Diskusi Terbatas di MSI 2006.

Dwi Budiyanto. Prophetic Learning, Menjadi Cerdas Dengan Jalan Kenabian. Pro-U Media, Yogyakarta, 2009.

Kahf, Monzer. The Principle of Socioeconomics Justice in The Comtemporarry Fiqh of Zakah. Iqtisad. Journal of Islamic Economics. Vol. 1. Muharram 1420 H / April 1999

Mannan, M.A. Islamic Economics: Theory and Practice. Lahore. 1970

[1] Mannan, M.A. Islamic Economics: Theory and Practice. Lahore. 1970

[2] Kahf, Monzer. The Principle of Socioeconomics Justice in The Comtemporarry Fiqh of Zakah. Iqtisad. Journal of Islamic Economics. Vol. 1. Muharram 1420 H / April 1999

[3] Ali, Mohamad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. UI Press. Jakarta. 1988.

[4] Petikan dari Maiyah Rebo Legi, Maret 2015

Konten ini telah dimodifikasi pada 29/07/15 | 17:34 17:34

Pegiat literasi dan pendiri TBM �Rumah Cahaya� Boyolali. Mulai aktif di dunia kepenulisan dari tahun 2006 ketika bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) Depok. Karya-karyanya berupa artikel, esai, maupun cerpen dimuat di berbagai majalah dan surat kabar lokal maupun nasional. Sudah menulis 5 buku solo dan 8 buku antologi. Selain aktif menulis, juga menjadi pembicara pada berbagai workshop dan training kepenulisan, juri berbagai lomba menulis, pendamping kids writing, narasumber di beberapa radio swasta Islam, termasuk kegiatan yang bersifat sosial seperti pelatihan menulis dan mendongeng untuk yatim-piatu dan kaum dhu�afa. Tahun 2009-2011 dipercaya sebagai Ketua FLP Depok. Tahun 2011-2013 diamanahi sebagai Humas FLP Wilayah Jakarta Raya. Saat ini dipercaya lagi memimpin FLP Soloraya (2013-2015). Selain di FLP, juga aktif di organisasi keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, organisasi nirlaba, komunitas, termasuk mendirikan taman baca (TBM Rumah Cahaya) di rumah sederhananya. Ayah dua anak ini juga menjadi Direktur CV Madina Publika.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...