Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Strategi Opini dan Sikap Terhadap LGBT dan Pernikahan Sesama Jenis

Strategi Opini dan Sikap Terhadap LGBT dan Pernikahan Sesama Jenis

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Haramnya LGBT (inet)
Haramnya LGBT (inet)

dakwatuna.com – Bismillahirrahmanirrahim. Hanya bagi Allah swt segala puji dan Muhammad saw sebaik-baik tauladan.

Jumat, 3 Juli 2015 lalu, Ikatan Lembaga Dakwah Kampus berbasis Budaya (ILDKB) mengadakan diskusi dengan mengangkat tema LGBT dan pernikahan sejenis. Uniknya, diskusi kali ini diadakan via online melalui media sosial Whatsapp. Dengan banyaknya anggota ILDKB yang tersebar di berbagai kota di Indonesia menjadi pertimbangan utama mengapa diskusi kali ini diadakan jarak jauh.

Narasumber yang diundang adalah Ustadz Akmal Sjafril, (Penulis lepas, Kontributor Rubrik Ghazwul Fikri untuk Majalah Al-Intima’, Peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), Pengajar di SPI (Sekolah Pemikiran Islam), serta Ketua Divisi Litbang #IndonesiaTanpaJIL Pusat). Diskusi yang dimoderatori Robby Ainurroziqi (Ilmu Sejarah Unair 2011) ini berlangsung selama kurang lebih dua setengah jam.

Pada awal diskusi, Ustadz Akmal menyatakan bahwa jika dilihat dari segi pemikiran, pangkal permasalahan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan pernikahan sejenis terletak pada konsep gender. Banyak yang menyangka bahwa gender itu sama dengan jenis kelamin, padahal tidak. Berdasarkan jenis kelamin, manusia terbagi atas jenis laki-laki dan perempuan. Tidak ada jenis ketiga.

Memang ada manusia berkelamin ganda, tetapi dari dua alat kelamin yang dimilikinya, tetap saja hanya satu yang berfungsi. Dari alat kelamin yang berfungsi itulah kita menentukan jenis kelaminnya. Gender membagi manusia pada dua kelompok, yaitu maskulin dan feminin. Dalam pandangan orang Barat-sekuler, maskulin tidak mesti identik dengan laki-laki, dan feminin tidak mesti identik dengan perempuan. Dalam pandangan mereka, imej laki-laki yang maskulin dan perempuan yang feminin adalah konstruksi sosial, bukan takdir Ilahi (lagipula, sejak kapan orang sekuler mempedulikan takdir Ilahi?). Karena itu, konstruksi yang sudah mapan ini bisa dirombak saja, sehingga munculah laki-laki yang feminin dan perempuan yang maskulin.

Karena maskulin dan feminin mesti berpasangan, maka terbukalah kemungkinan berpasangannya laki-laki maskulin dan laki-laki feminin, begitu juga dengan perempuan maskulin dan perempuan feminin. Inilah hubungan homoseksual yang dikenal dengan istilah gay dan lesbian. Di luar sana, ada kaum yang suka berpasangan baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis. Mereka ini disebut biseksual. Ada juga yang mengubah jenis kelaminnya, yang dikenal dengan nama transgender. Mereka inilah kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender).

Penggalangan opini yang pro terhadap kaum LGBT ini dapat kita lihat dari bahasa. Dahulu, kaum homoseks dikenal dalam bahasa Inggris dengan sebutan “sodomites”, yang makna harfiahnya adalah “penghuni negeri Sodom”. Konotasinya sangat negatif. Setelah itu, istilah berganti menjadi “homosexual”. Istilah ini terkesan netral, karena mencerminkan sebuah alternatif dari kelompok heteroseksual.

Terakhir, kerap digunakan istilah “gay”, yang makna asalnya adalah “gembira”. Kini, konotasinya menjadi positif. Sebaliknya, pendukung homoseksualitas menyerang lawannya dengan istilah “homophobics”. Dengan cara itu, pihak lawan terkesan paranoid, fanatik, atau mengalami gangguan jiwa. Sebuah manual yang digunakan oleh American Psychiatric Association (APA) yang disebut sebagai Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders (DSM) telah resmi menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa sejak tahun 1994. Yang menariknya, dari 7 orang perumus DSM tersebut, 5 di antaranya adalah pelaku homoseks, sedangkan sisanya adalah aktivis pendukung LGBT. Dengan demikian, psikolog di seluruh dunia praktis akan mengalami tekanan jika memperlakukan kaum homoseks sebagai penderita gangguan jiwa.

Di Barat, homoseksualitas memang sama sekali bukan barang baru. Barat memang membanggakan dirinya sebagai pewaris peradaban Romawi, dan Romawi berakar dari peradaban Yunani dengan segala produk filsafatnya. Perilaku seksual menyimpang adalah ciri khas dari peradaban Yunani kuno. Jika kita meneliti mitologi Yunani, kita akan menemukan perilaku para dewa yang tidak terpuji. Dewa perkasa seperti Zeus, misalnya, telah memperkosa Hera sebelum menikahinya. Selain itu, Zeus juga kerap turun ke dunia untuk menghamili manusia, sehingga lahirlah manusia setengah dewa semacam Hercules dan Perseus.

Tetapi adakalanya dewa berperilaku homoseks seperti Poseidon dengan Persephone, kekasihnya yang merupakan manusia berjenis kelamin laki-laki. Zeus sendiri pernah menculik anak gembala laki-laki untuk dibawanya ke Olympus sebagai budak seksnya. Beberapa dewa-dewi juga berhubungan seks dengan binatang. Tokoh seperti Hercules juga berkelana dengan Iolaus, yang tidak lain adalah keponakannya sendiri dan merangkap kekasihnya.

Homoseksualitas, pedofilia dan zoofilia (seks dengan binatang) sudah sejak lama dipraktikkan masyarakat Yunani kuno, meniru dewa-dewi mereka. Semua ini diwariskan kepada Romawi, dan kepada masyarakat Barat. Di Bali, kabarnya ada wisata seks ilegal dengan binatang, dan peminatnya terutama turis dari Barat, lanjut Ustadz kelahiran Jakarta 1981 itu. Antara homoseksualitas dengan pedofilia terdapat banyak irisan. Banyak orang menjadi homoseks lantaran menjadi korban pelecehan seksual di usia mudanya.

Dalam Alquran, perilaku homoseksual diawali oleh kaum Nabi Luth as. dalam Surah Al-Hijr. Di awal Surah, dijelaskan bahwa orang-orang kafir mengolok-olok Nabi Muhammad saw dan menantang beliau untuk menghadirkan malaikat ke hadapan mereka. Tetapi Alquran menjelaskan bahwa jika sampai malaikat itu datang, maka kedatangannya untuk membawa azab. Hal demikianlah yang terjadi pada kaum Nabi Luth as.

Sebelum menjelaskan tentang kisah kaum Nabi Luth as, Surah Al-Hijr menerangkan tentang sikap Iblis yang ambigu. Meski Iblis sudah menyadari betul kesalahannya, ia tetap tidak minta ampun dan ngeyel. Bukannya bertaubat, Iblis malah ngotot ingin menyesatkan manusia. Kurang lebih mirip dengan kaum Nabi Luth as. yag tidak mau sadar meski dinasihati oleh utusan Allah. Bahkan ketika melihat tamu-tamu Nabi Luth as. (yang sebenarnya adalah malaikat-malaikat), mereka ingin melakukan hal yang tidak baik kepadanya. Kurang lebih sama dengan tabiat kaum homoseks di zaman sekarang yang selalu mencari cara untuk mengubah orang yang ‘lurus’ menjadi ‘bengkok’ seperti mereka, ujar Ustadz Akmal.

Beberapa kaum Islam liberal di Indonesia berusaha mengaburkan fakta tentang kisah kaum Nabi Luth as. Saidiman Ahmad, misalnya, mengatakan bahwa mereka diazab bukan karena homoseks, melainkan karena menyodomi para malaikat yang Allah swt utus kepada Nabi Luth as. Jika kita cermati kronologi yang tercantum dalam Surah Al-Hijr, terlihat jelas bahwa para malaikat sejak awal diutus untuk menyampaikan peringatan akan datangnya azab. Dengan demikian, teori Saidiman keliru besar.

Setelah mendapatkan pengakuan, kaum homoseks memperjuangkan hak untuk menikah. Sekarang, pernikahan sesama jenis telah dilegalisasi di seluruh negara bagian AS. Beberapa negara lain di luar AS juga telah lebih dulu melakukannya. Mereka juga mendapatkan hak untuk mengadopsi anak. Selain adopsi, ada dua solusi lain untuk pasangan sejenis. Pasangan lesbian bisa mendapatkan sperma dari bank sperma, sedangkan pasangan gay bisa menggunakan jasa seorang surrogate mother yang tidak keberatan ‘meminjamkan’ rahimnya.

Meski kelihatannya ‘lancar’, homoseksualitas masih menyisakan begitu banyak masalah. Laki-laki yang berlagak feminin dan perempuan yang berlagak maskulin pada akhirnya akan membentur kodratnya sendiri. Pasangan sejenis juga biasanya lebih emosional dan posesif, sehingga tak jarang terjadi kekerasan di antara mereka.

Anak-anak yang mereka besarkan juga akan mengalami masalah. Setiap anak semestinya dibesarkan oleh ayah dan ibu, bukan dua ayah atau dua ibu. Anak laki-laki membutuhkan kasih sayang ibu dan keteladanan dari seorang ayah, dan anak perempuan butuh perlindungan dari ayah dan keteladanan dari seorang ibu. Anak yang lahir dari donor sperma tidak punya kesempatan mengenal ayahnya, dan sang donor pun tak pernah mengenal anaknya. Demikian juga anak yang lahir dari rahim surrogate mother tidak sempat mengenal ibunya, dan ibu yang malang itu tak sempat membelai anak yang telah dipelihara di dalam rahimnya dengan susah payah selama sembilan bulan lebih. Semua ini adalah masalah besar bagi kemanusiaan.

Meski kaum homoseks sudah diperbolehkan menikah, bukan berarti mereka mau menikah semuanya. Hubungan homoseksual yang tidak memungkinkan terjadinya kehamilan membuat perilaku seksual semakin liar, karena seolah tanpa konsekuensi. Akibatnya, banyak di antara mereka yang sering berganti pasangan. Kaum homoseks inilah yang paling banyak mengidap HIV (Human Immune Defeciency Virus) /AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Kenyataannya, pada awal tahun 1980-an dahulu, AIDS dikenal dengan nama lain, yaitu GRID (Gay-Related Immune Deficiency). Nama ini diberikan karena penyakit ini awalnya hanya ditemukan di kalangan homoseks. Fakta ini kemudian ditutup-tutupi demi mencegah diskriminasi terhadap kaum homoseks.

Homoseksualitas sendiri sudah ada di Indonesia sejak lama, tersembunyi dalam beberapa tradisi, kalau tidak salah misalnya dalam tradisi Tari Barong, ungkap Ustadz Akmal. Tidak mengherankan karena dahulu agama Hindu dominan di sini (Indonesia), dan Hindu yang datang dari India pernah bertemu dengan peradaban Yunani. Itulah pertemuan suku Arya dan Dravida.

Terkait mulai kapan LGBT di Indonesia mulai mem-booming hingga sekarang muncul komunitas semacam GAYa Nusantara, menurut Ustadz Akmal bahwa hal tersebut relatif. Karena akan menimbulkan pertanyaan; dari segi apa mengukurnya? Kalau pendirian GAYa Nusantara yang menjadi ukuran, dapat dicek. Yang jelas kampanye LGBT secara global memang terasa sekali digalakkan sejak lima tahun terakhir. Tetapi bisa dicek, sejak tahun 1990-an, sitkom-sitkom di Amerika Serikat selalu memiliki karakter homoseks, minimal satu.

Kontribusi yang baik adalah bagaimana menjadi cerdas dalam mengambil peran. Anggota LDK (Lembaga Dakwah Kampus) ialah aktivis dakwah. Yang namanya dakwah memang bermain dalam hal opini. Kita tidak dapat melarang pihak seberang beropini, dan mereka pun tidak dapat melarang kita beropini. Jadi memang tugas kita memberikan opini supaya masyarakat awam tidak bingung.

Sekarang yang perlu dipikirkan adalah strateginya. Point-point apa yang harus disampaikan ke masyarakat, dan bagaimana cara berdakwah kepada mereka yang mempunyai kecenderungan homoseks. Biasanya, kaum yang mempunyai kecenderungan ini sensitif sekali perasaannya. Kalau kita ‘serang’, mereka makin defensif. Maka, pola dakwahnya harus lebih lembut. Ustadz yang aktif dalam komunitas #IndonesiaTanpaJIL ini juga mepaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga seseorang dapat terjerumus dalam lingkaran LGBT.

Pertama, kita percaya bahwa fitrah manusia tidak begitu, dan jika melakukan hal yang demikian (karena alasan apapun) maka mereka tengah mendzalimi diri sendiri.

Kedua, sampai saat ini tidak ada bukti bahwa homoseksualitas berasal dari problem genetis.Artinya, ini bukan bawaan sejak lahir. Salah seorang rekan narasumber mengkompilasi bukti-buktinya di laman

iwanyuliyanto.co/2013/12/08/runtuhnya-teori-gen-gay/

Ketiga, karena ini bukan masalah genetis, maka pasti masalah ini muncul setelah lahir. Problem bisa muncul dalam hal pengasuhan, pendidikan atau lingkungan. Bergaul dengan orang-orang homoseks dapat membuat seseorang terbawa arus. Pendidikan yang memberikan banyak pembenaran dan peluang juga memungkinkan orang untuk menjadi homoseks.

Yang sekarang menjadi sorotan adalah pola pengasuhan orangtua. Anak laki-laki yang kehilangan figur ayah alias tidak dekat dengan ayahnya sangat rentan kehilangan maskulinitas. Sebab, ia belajar ‘menjadi laki-laki’ dengan melihat ayahnya. Kalau ayahnya ada tetapi tidak pernah berinteraksi dengannya, maka ia kehilangan tuntunan. Sebaliknya, ayah yang terlalu galak juga bisa jadi menekan jiwa anaknya, sehingga menimbulkan efek balik. Ada ayah yang terlalu keras sehingga anak laki-lakinya justru menjadi terlalu lembut. Persoalannya, sejak awal perasaan sang anak cenderung lembut, tetapi justru dikerasi. Akhirnya ia menjadi berontak.

Maka, lihatlah Khalifah pertama setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar ra. Sifat dasarnya lembut sekali. Tetapi ketika menjadi Khalifah, beliau dapat tegas menindak orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Pendidikan yang benar mengarahkan jiwa manusia pada keseimbangan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Kemudian bagaimana dengan seorang anak laki-laki misalnya, yang kehilangan ayahnya lalu menjadi lelaki feminin? Sebenarnya yang menjadi masalah adalah kehilangan figur ayah, bukan kehilangan ayah. Bisa jadi ayah tak ada lagi, tetapi harus ada yang menggantikan figur tersebut. Bisa jadi paman, atau kakak sulung laki-lakinya. Itulah pentingnya menolong anak yatim. Ini salah satu hikmah mengapa Islam sangat memuliakan orang yang memelihara anak yatim.

Saat ini simbol yang dimunculkan ke permukaan oleh kaum LGBT ini adalah pelangi dengan berbagai ‘atribut’ lain seperti #LoveWins dan lain-lain. Pelangi adalah simbol keragaman saja, ujar Ustadz Akmal. Mereka berusaha merebut simpati dengan secara tidak langsung mengatakan bahwa ‘kami hanya beda saja kok dari kalian’, sekaligus menuduh siapa saja yang menolak mereka sebagai ‘anti perbedaan’. Hashtag #LoveWins juga termasuk kampanye simpatik untuk menunjukkan bahwa yang mereka perjuangkan adalah cinta, hanya saja kebanyakan orang tidak memahami cinta mereka itu.

Kemudian bagi para pelaku (yang secara tidak langsung juga merupakan korban), apakah ia bisa berubah? Soal bisa berubah, insyaAllah bisa, lanjut Ustadz Akmal. Beliau pernah bertanya kepada seorang gay, bagaimana kalau menyukai seorang laki-laki yang normal? Jawabannya, sang gay akan membuatnya bengkok, dalam artian menjadi gay juga, sama sepertinya! Kalau yang lurus bisa dibuat bengkok, berarti yang bengkok bisa dibuat lurus kan?

Sikap kita sebagai teman tentu tidak menjauhi. Dekati dan memberi nasihat. Seperti yang saya bilang tadi, mereka pasti defensif. Kalau kita agresif, justru mereka akan menjauh, tegas Ustadz Akmal. Metode yang kaum LGBT lakukan saat ini sudah semakin ‘terbuka’. Seperti seminar LGBT-IQ, yang mana pembicaranya, sebut saja HY di Fakultas Ilmu Budaya di salah satu Universitas terkemuka di Jawa Barat (ungkap salah seorang peserta diskusi). Bahkan silabus-silabus sudah diperkenalkan untuk membaca bahan-bahan bacaan sastra yang memiliki isu tentang hal ini.

Lalu apa sikap kita? Kampanye akademis dilawan secara akademis pula. Mahasiswa jangan mau dibuat mentok dengan keadaan, karena mahasiswa jelas berbeda dengan siswa. Pemikiran dilawan pemikiran. Kampanye akademik dilawan kampanye akademik.

Wallahu a’lam bish shawaab.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Putri pertama dari empat bersaudara. Lahir 20 tahun lalu di Slerok, Kota Tegal. Tinggal di Kota Tangerang dan kini tengah menjalani masa studi Strata 1 Jurusan Sastra Jepang Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Saat ini alhamdulillah aktif dalam beberapa organisasi di antaranya Unit Kerohanian Islam Fakultas Ilmu Budaya dan KAMMI Komisariat Thoriq bin Ziyad.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization