Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Arti Ilmu dari Sang Guru

Arti Ilmu dari Sang Guru

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (legend.az)
Ilustrasi. (legend.az)

dakwatuna.com – Darsini bersimpuh di kelasnya, baginya kelas adalah tempat mengadu ilmu yang telah ditempa empat tahun di perguruan tinggi. Ia hafal seluk beluk tempatnya mengajar, sebagaimana hafalnya seorang pada kamar tempatnya tinggal. Sedemikian betah Darsini berada di kelas memajang karya anak didik hingga lupa bahwa hari telah menjelang senja.

“Ndak pulang kah Bu?” ujar Pak Tanggo yang tiba-tiba muncul di belakang Darsini.

“Eh belum Pak, sedikit lagi ini” jawab Darsini sembari beringsut menggeser duduknya.

Pak Tanggo di mata Darsini orang aneh. Di Desa Dawukan, Pak Tanggo dikenal orang yang kurang waras. Sering kali membuat ulah di sekolah. Sempat suatu kali nangka yang matang dipakai Pak Tanggo untuk mengelap kaca sekolah, jadilah kaca sekolah penuh dengan getah. Ketika ditanya kenapa melakukannya Pak Tanggo hanya tersenyum saja. Maka ketika Darsini berjumpa dengan Pak Tanggo sore ini, tumbuh pula kekhawatiran dalam hatinya.

“Buat apa kah Bu Guru, mari saya bantu?”

“Sudah mau selesai Pak, terima kasih. Ini tinggal beres beres saja.” Jawab Darsini.

Segeralah Darsini mengemasi barang dan meninggalkan kelas, tak lagi dihiraukan Pak Tanggo yang masih duduk terdiam di tempatnya.

“Bu guru mau kemana bu?” seru Pak Tanggo.

Yang ditanya justru berlari menghindari, berlari kecil meninggalkan sekolah.

“Mau ke neraka ya Bu yah? Dasar guru munafik! Di dasar neraka tempatnya orang munafik itu”. Cerocos Pak Tanggo sambil mengacung-acungkan tangannya.

Darsini berdesir mendengar kata -kata itu, sambil berlari ditutup telinga kuat kuat agar tak satupun kata menyelip ditelinganya. Telinga yang sudah tertutup jilbab menjadi lebih rapat tertutup dengan tangan. Namun tetap saja suara Pak Tanggo mampu menyusup ke dalam gendang telinga menusuk hati Darsini. Terlebih kata munafik kerap kali diucap Pak Tanggo tiap bertemu Darsini, di sekolah atau ketika mengajar TPQ di masjid Desa Dawukan.

Memang sebenarnya lah Darsini kerap dikejar Pak Tanggo, seperti setan mengikuti orang untuk diganggu. Di manapun ada Darsini maka tidak akan beselang lama Pak Tanggo akan datang mengucapkan umpatan. Mengatai Darsini munafik yang akan masuk neraka. Padahal di Dawukan Darsini dikenal sebagai seorang guru yang baik. Tak pernah terlambat hadir. Menjadikan murid menjadi semangat menuntut ilmu. Terkadang begitu semangat Darsini mengajar sampai murid-murid enggan istirahat. Sore hari Darsini mengajar TPQ di masjid. Bagi warga, Darsini sudah dianggap ustadzah. Tempat meminta saran dan juga nasehat. Warga pun juga tak pernah menggubris setiap umpatan Pak Tanggo, karena tahu Pak Tanggo kurang akal. Tetapi bagi Darsini, Pak Tanggo menjadi penganggu yang menakutkan. Sore ini pun demikian. Pak tanggo menunggu Darsini mengajar mengaji anak-anak dari luar masjid. Sesekali Pak Tanggo melongok ke dalam masjid sekadar memastikan Darsini masih di dalam. Pada orang orang lewat Pak Tanggo menghasut agar tidak percaya pada Darsini.

“Eh mas, jangan mau anaknya diajar sama orang munafik” kata Pak Tanggo pada salah satu orang yang melintas.

“Memangnya siapa yang munafik itu Pak Tanggo?” jawab orang itu.

“Itu Darsini”

“Ah Pak Tanggo ini, kan Bu Darsini ustadzah di sini, jangan mengada ada”. Kata orang itu, sembari meninggalkan Pak Tanggo yang masih saja mengolok.

“Betul Pak, Darsini itu munafik, jangan percaya dia” lanjut Pak Tanggo

“Dasar orang gila” desis orang itu tanpa memandang lagi Pak Tanggo.

Menjelang magrib satu persatu murid TPQ mulai pulang, senja yang kian gelap membuat Darsini menjadi semakin khawatir, bukan karena gelap malam. Akan tetapi Pak Tanggo yang masih menunggu di teras masjid. Diperhatikannya Pak Tanggo sedang berdiri tepat di dekat sandal Darsini berada. Jika ada pintu lain untuk meninggalkan surau pastilah Darsini melewati pintu itu. Kini mau tak mau Darsini harus melewati Pak Tanggo yang pasti akan menghujani dengan umpatan. Ragu Darsini melangkah menuju pintu masjid, dilangkahkan kakinya perlahan seolah berupaya agar langkahnya tidak terdengar Pak Tanggo, meskipun mau tak mau akan berpaprasan juga.

“Hai Guru munafik !” hardik Pak Tanggo

Darsini yang sudah melangkah perlahan sontak terkejut, tangannya reflek menutup telinga. Tak ada jawaban dari Darsini. Seolah membeku menunggu apa lagi umpatan yang akan dikeluarkan.

“Bu Guru kenapa selalu menghindar?” ujar Pak Tanggo sambil berjalan menuju Darsini.

Darsini makin khawatir, ditatapnya Pak Tanggo. Badannya mulai gemetar membayangkan yang akan menimpanya. Mulutnya hendak berkata tapi melihat tatapan Pak Tanggo yang terjadi justru sebaliknya. Darsini kian melangkah mudur menyudut. Berharap dapat berlindung di sudut masjid. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Maka jadilah Pak Tanggo melanjutkan perkataannya.

“Bu Guru kenapa takut, jikalau Bu Guru tidak munafik ?”

Darsini kian tersudut hingga terduduk lemah, dengan kedua tangan ditutup telinganya rapat rapat. Matanya mulai memejam ketakutan.

“Bu Guru munafik, munafik, munafik !“ hardik Pak Tanggo, tangannya mengacung ke arah Darsini yang tak lagi berdiri.

Darsini berupaya melawan setiap kata, kata yang didengar berulang telah membuat alam bawah sadarnya takut. Tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya. Sebaliknya Pak Tanggo justru kian lantang bersuara.

“Pagi Bu Guru ajarkan anak Dawukan tentang wilayah Majapahit, tentang Gajah Mada yang menaklukan Jambi, Palembang, Tumasik, Kedah dan semua daerah. Kau suruh muridmu menghafalkan. Kau ajarkan anak Dawukan kekejaman untuk berkuasa”

Suara Pak Tanggo bergetar, seperti ragu mengatakan kata-kata selanjutnya. Tetapi tetap saja ocehannya meluncur dengan derasnya.

“Sore hari kau ajari anak Dawukan mengaji, mencintai alam dan sesama. Pagi kau ajari anak berbuat semena-mena, Sore kau ajari anak kasih sayang. Bu guru munafik, pagi bilang kedele, sore bilang tempe. Murid apa yang akan lahir dari guru macam itu hah?” cerocos Pak Tanggo.

Hati Darsini terguncang mendengar tiap kata pak tanggo, kata-kata itu terserap dalam lubuk hati. Teringat kembali dahulu mengajari murid pelajaran tentang majapahit dengan drama perang. Di sore hari Ia ajari anak anak menjadi anak yang cinta pada sesama.“Benarkah yang Pak Tanggo katakan, benarkah Aku munafik?” Katanya dalam hati. Tanpa disadari kepalanya menggeleng, air matanya menitik. Hatinya berdesakan ingin mengatakan sesuatu, lagi-lagi tak ada yang keluar selain isakan dan air mata. Terbayang neraka di kepalanya untuk orang munafik, terbayang dosa yang melumuri dirinya. Makin Darsini termenung makin darsini meringkuk dalam sedih. Menyesali diri telah menjadi guru.

“Ustadzah, mau shalat di sini?”

Darsini heran mendengar suara itu, perlahan dibuka matanya, yang dilihatnya bukan Pak Tanggo, tapi Pak Imam.

“Pak Tanggo sudah kabur duluan waktu melihat saya ustadzah” Lanjut Pak Imam

“Tidak usah dipikirkan kata Pak Tanggo. Dia tidak tahu bahwa guru itu kerja paling mulia, dari ustadzah akan lahir pemimpin yang tidak hanya berkuasa, tapi juga bijaksana. Tidak hanya pandai menjaga negara, tapi juga rajin beribadah pada Allah semata. Bukan kah begitu arti semua ilmu yang ustadzah ajarkan?”

Darsini mengangguk membenarkan tiap kata Pak Imam, diseka matanya yang masih lembab. Maka dalam hati Ia berkata “Memang demikianlah harapan guru sebenarnya, bukan sebaliknya”

Darsini bangkit mengambil wudhu, hatinya telah terang, seperti terangnya purnama terbit senja ini. Tekadnya kian bulat menjadi guru. “Aku bangga jadi guru” desisnya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization