Kesejahteraan Guru versus Kualitas Pendidikan

ilustrasi (inet)

dakwatuna.com –Mendidik itu mengabdi dan lahir dari hati, bukan sekadar profesi apalagi sematamata hanya mengharapkan gaji”

Ungkapan di atas sangat benar sekali, menjadi guru lebih kepada panggilan nurani untuk memperbaiki kualitas pewaris negeri. Begitu banyak lembaga dan komunitas yang menerjunkan diri ke ranah pendidikan yang penuh suka duka. Berusaha menghapus keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan. Mulai dengan sosialisasi mencari donatur hingga rela merogoh kocek pribadi. Semua itu mereka lakukan bukan semata-mata karena profesi tetapi lebih kepada kepedulian yang lahir dari hati. Begitu banyak macam ragam wadah pendidikan, mulai dari ruangan dengan gedung mewah hingga sekolah alam yang berlantaikan tanah.

Kini aku merupakan bagian dari lembaga yang mencoba memperbaiki pendidikan dari daerah- daerah terpencil. Kondisi sekolah di sini sangat jauh berbeda dengan sekolahan di luar sana. Gedung kelas yang terbatas dengan fasilitas jauh dari cukup, buku-buku yang tidak mampu menunjang kegoiatan pembelajaran, membuat sekolah di sini menurutku sangat memprihatinkan. Permasalahan di sekolahku begitu beragam, mulai dari siswa yang tidak semangat belajar hingga guru yang lemas mengajar.

Jumlah guru di sini menurutku lebih dari cukup jika dibandingkan murid MI yang tidak sampai enam puluh orang, ada sebelas orang guru di luar kepala sekolah. Namun permasalahannya tidak semua mereka hadir setiap hari, bahkan ada guru yang selama satu bulan tidak pernah hadir dan semua itu biasa-biasa saja. Setiap hari paling banyak hanya lima sampai enam orang guru yang hadir ke sekolah. Apalagi saat mereka harus dibagi menjadi tenaga pengajar di MTs juga tentu sedikit kewalahan. Tetapi efektifnya guru di sini setiap jam pelajaran hanya empat orang saja. Dua orang untuk mengajar MI yang hanya dua ruangan untuk enam kelas dan dua orang untuk MTs yang juga dua kelas.

Belakangan baru kuketahui bahwa begitu banyak permasalahan yang terselubung di sekolah ini. Terakhir guru di sini menerima gaji yang ala kadarnya bulan November 2014 lalu, hingga kini Maret 2015 mereka belum menerima sepeser pun. Meskipun tujuan utama mereka menjadi guru bukanlah untuk mengharapkan gaji, tetap saja semua ini membawa pengaruh dalam kelangsungan proses pembelajaran di sekolah. Tidak sedikit guru yang kehilangan semangat untuk datang mengajar ke sekolah, karena banyak yang mesti mereka pikirkan. Bisa dibayangkan jika guru itu sebagai kepala keluarga dan tidak mempunyai pekerjaan sampingan bagaimana dia akan menafkahi keluarganya? Bahkan untuk sekadar ongkos menuju sekolah pun mereka tak punya.

Aku pun tak tahu harus berbuat apa, kemana hendak mengadu. Aku prihatin dengan nasib guru-guru di sini namun lebih prihatin lagi dengan nasib murid-murid di sini. Jika gurunya berbulan-bulan tidak datang ke sekolah bagaimana mereka akan bisa memahami pelajaran. Kalaupun akan belajar sendiri di rumah, buku pun tak cukup tersedia di sini, jangankan buku untuk siswa, buku pegangan guru pun sudah sangat sepuh. Lama kelamaan aku berkesimpulan bahwa kesejahteraan guru mesti diwujudkan agar pendidikan pun bisa berjalan seutuhnya, di samping pemenuhan sumber belajar juga.

Menurutku gaji itu bukan sebatas angka yang tertera di belakang rupiah, tapi lebih kepada alat untuk menjadi pengikat guru dengan kewajibannya. Guru yang paham bahwa gaji itu merupakan amanah yang mesti dipertanggungjawabkan, maka saat mereka lalai maka mereka akan berpikir bahwa mereka telah makan dan minum dari imbalan atas kehadiran murid-muridnya. Mereka pun akan terus berusaha memberikan yang terbaik untuk muridnya.

Jika semua guru berpikiran demikian maka akan terpuaskanlah haus dahaga murid akan ilmu pengetahuan. Tapi sampai saat ini entah apa yang bisa menjadi solusi dari semua permasalahan ini. Atau mungkin siapa yang bisa menyelesaikan semua permasalahan ini. Di beberapa sekolah yang lain di daerah penempatanku pun masalahnya hampir sama. Kesejahteraan guru yang terlupakan menjadikan pendidikan untuk murid-murid di sini juga terabaikan.

Kalau dipikir-pikir ulang maka “mengorbankan” murid dalam semua perkara ini adalah kesalahan sangat besar. Tak semestinya guru punya alasan melalaikan kewajiban terhadap muridnya hanya karena tidak menerima gaji dan tidak bisa datang ke sekolah. Tapi aku pun belum bisa membantah mereka, Karena tak ada solusi yang bisa aku suguhkan untuk memperkuat pendapatku.

Kesimpulan terbesar yang aku dapatkan bahwa kesejahteraan guru sangat mempengaruhi kualitas pendidikan. Meskipun persentase pengaruh ini sangat kecil jika dibandingkan dengan permasalahan lain, seperti kualitas guru, kelengkapan sarana prasarana, teknologi informasi komunikasi dan lain sebagainya. Tetapi tidak ada salahnya jika pemerintah punya sedikit waktu untuk memperhatikan dan mempertimbangkan kesejahteraan guru. Jangan lihat nilai rupiahnya tetapi lihatlah akibat yang timbul di sebaliknya. Jika tidak segera diselesaikan maka ada kekhawatiran akan timbul imbas yang teramat besar dalam dunia pendidikan.

 

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...