Perkembangan Infrastruktur dan Dinamika Pemikiran Islam di UIN Jakarta

Ilustrasi – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (wikipedia)

dakwatuna.com – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dahulu bernama ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) berlangsung sejak (1957-1960), lalu menjadi IAIN Al-Jamaah Yogyakarta (1960-1963), lalu berubah menjadi IAIN Syarif Hidayatullah (1963-2002), hingga akhirnya menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2002-Sekarang). Pertumbuhan tersebut merupakan sebuah perjalanan intelektual yang panjang, dan penuh dengan dialektika.

Ketika masih menjadi ADIA, hanya ada 3 jurusan; yaitu pendidikan agama, bahasa arab, dan dakwah wal irsyad. Lalu beranjak menjadi IAIN Al-Jamaah Yogyakarta, ADIA Jakarta disatukan dengan PTAIN Yogyakarta. Lalu memasuki fase IAIN Syarif Hidayatullah mulai terlihat reformasi kampus secara masif. Reformasi pembangunan sekaligus reformasi pemikiran. Apalagi di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Azyumadi Azra, MA dengan dibukanya jurusan psikologi, dan pendidikan MTK; pada fakultas Tarbiyah. Serta jurusan Ekonomi dan Perbankan Islam pada fakultas Syariah.

Reformasi pembangunan IAIN tidak berhenti di situ saja. Pada tahun 2000 dibuka program studi agribisnis dan teknik informatika; bekerjasama dengan IPB serta BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan Program Manajemen & Akuntansi. Lalu pada 2001 diresmikan fakultas Psikologi dan Dirosat Islamiyah yang bekerjasama dengan Al-Azhar Mesir. Selain itu juga kampus IAIN Jakarta membangun kerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB), Mc Gill melalui Canadian International Development Agencies, Leiden University (INIS), King Saud University (Riyadh), Universitas Indonesia, Ohio University, LIA(Lembaga Indonesia Amerika), BNI, hingga Bank Muamalat Indonesia.

Adapun periode UIN Syarif Hidayatullah, menjadi fase keterbukaan untuk 3 fakultas umum baru. Yaitu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kepereawatan (FKIK), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), dan Fakultas Sumberdaya Alam dan Lingkungan (FSDAL). Dan begitulah infrastruktur pembangunan kampus UIN bertumbuh. Terus bertumbuh dan tidak pernah berhenti bertumbuh.

Jika kita hitung jumlah rektor kampus UIN sejak masih bernama ADIA, maka kampus ini sudah memiliki 10 rektor. Pada masa ADIA, rektornya adalah Prof. Dr. Mahmoed Yonoes (1957-1960), lalu memasuki fase IAIN Al-Jamiah Al-Islamiyah Yogyakarta rektornya adalah Prof. Dr. Sunario Sastrowardoyo (1960-1963), lalu digantikan oleh Prof. Drs. H. Soenardjo Abu Ngusman, lalu digantikan Prof.Dr. H Bustami Abdul Ghani (1969-1970), lalu Prof. H. M. Toha Yahya Umar, MA (1970-1973), lalu Prof. Dr. Harun Nasution, Drs. Ahmad Syadali, MA (1984-1992), Prof. Quraish Shihab (1973-1984) dan (1992-1998), Prof Ahmad Sukardja SH,MA(April-September 1998), Prof. Dr. Azyumadi Azra (1998-2006), Prof. Komarudin Hidayat (2006-2015), hingga sekarang rektornya adalah Prof. Dede Rosyada.

Jika kita melihat rektornya secara seksama, kehadiran mereka saja sudah mencerminkan keberagaman pemikiran. Apalagi pemikir-pemikir yang ada di bawahnya, akan jauh lebih dinamis lagi. Dinamika pemikiran lulusan timur dan lulusan barat sangat terasa di kampus UIN Jakarta. Lulusan barat yang sering sering diidentikkan dengan barisan Prof. Harun Nasution(Mc Gill) sangat banyak sekali. Ada Prof. Azyumadi Azra (Columbia University), Nur Cholish Madjid (Chicago University), Fachry Ali (Monash University), Prof. Komarudin Hidayat (Connecticut, AS), hingga Prof. Bambang Pranowo, MA (Monash University, Australia).

Adapun lulusan pendidikan timur juga sangat banyak. Tokoh seperti Prof. Quraish Shihab (Mesir), Prof. Ahmad Syatori Ismail, MA (Universitas Cairo), Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA (Universitas Ibnu Saud, Riyadh), Prof. Didin Hafidudin, MS (IAIN Jakarta), Said Agil Al-Munawwar (Ummul Quro, Mekkah), hingga Dr. Surahman Hidayat (Al-Azhar).

Itulah dinamika pemikiran timur dan barat yang terjadi dikampus UIN Jakarta. Lulusan barat memang sering diidentikan dengan golongan liberal. Sebaliknya dengan lulusan timur yang didentikkan dengan golongan fundamental. Hal ini benar di satu sisi, walaupun tidak seluruhnya benar. Karena adapula lulusan timur yang lahir dengan pemikiran liberal, dan lulusan barat yang lahir dengan pemikiran fundamental. Faktanya masih ada seorang Prof. Siti Musdah Mulia yang menuntut ilmu di IAIN (lulusan timur), tapi memperjuangkan LGBT(Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Adapun Prof. Din Syamsuddin yang menuntut ilmu di University of California, Los Angeles (UCLA), tapi sukses menjadi ketua umum Muhammadiyah selama 2 periode, bahkan sukses menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kenapa pendidikan barat itu cenderung membawa seorang scholar menjadi liberal, dan pendidikan timur sebaliknya. Penjejelasannya adalah mereka yag berlatarbelakang pendidikan barat cenderung menguasai ranah teologi. Dan ranah teologi memang menjadi jalan masuk sepilis (sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) yang paling ‘empuk’. Pertama pemahaman keislaman ditafsirkan melalui logika kemanusiaan yang sangat terbatas. Kedua seringkali sumber-sumber keislaman yang diambil, keluar dari konteks quran dan sunnah (Kitab suci agama lain, hinga literature orientalis).Sehingga yang terjadi adalah dualisme. Karena menempatkan suatu bidang ilmu tidak pada ahlinya. Sedangkan lulusan pendidikan sekolah timur, cenderung menguasai ilmu-ilmu dasar (Tafsir, Hadis, Fiqh, Bahasa Arab, dll). Sehingga pemikiran-pemikiran yang adopsi tidak keluar dari quran dan sunnah. Dan dari segi kedalaman ilmu pun, lulusan timur cenderung memiliki kedalaman ilmu yang lebih.

Itulah keindahan UIN Jakarta yang hadir dengan seluruh keberagamannya. Prof. Harun Nasution yang sering dilabeli sebagai ‘gembong liberalisme’ di UIN Jakarta pun, pernah dikritik habis-habisan oleh gurunya H.M. Rasjidi. Bahkan dialektika 2 pemikir besar tersebut, terlihat seperti sebuah pertarungan besar. Tapi ketika dua orang ini bertemu, Prof. Harun Nasution tak segan untuk mencium tangan H.M. Rasjidi. Itulah keindahan akhlak.

Kampus UIN Jakarta merupakan lokomotif pemikiran Islam Indonesia. UIN Jakarta juga bisa dikategorikan sebagai miniatur pemikiran Islam dunia. Semua pemikir dari latarbelakang yang beragam, hadir di sini. Sehingga dalam banyak literatur barat sering muncul istilah ‘ciputat factor’. Itulah bukti betapa kuatnya posisi UIN Jakarta dalam mempengaruhi wacana Islam dan kebangsaan. Sudah terlalu banyak intelektual besar yang lahir dari UIN. Sudah terlalu banyak jurnal internasional yang lahir dari pemikir UIN. Hingga di kalangan intelektual, sering muncul sebuah istilah ‘mazhab ciputat’, di mana UIN Jakarta adalah pelopor utamanya.

UIN Jakarta dengan segala kemajuan dan kemoderenannya, memberi ruang terbuka untuk semua pemikiran. Dan itulah hakikat Islam, bahwa beragama itu harus disadari sebagai sebuah pilihan, tanpa adanya keterpaksaan. Tapi hal penting yang harus diingat adalah, kebebasan berpikir haruslah kebebasan yang bertanggung jawab. Begitu juga kita yang masih belajar Islam, jangan takut dan anti terhadap orang yang berbeda pemikiran terhadap kita. Buka pintu dialog sebesar-besarnya. Jangan sungkan untuk memberi teguran pada setiap kekeliruan. Bangkitkan budaya intelektual keislaman yang baik, dan ukhuwah islamiyah harus terus dijaga. Jika hal ini dapat kita jaga, maka ingat suatu hari kelak; orang akan mengatakan bahwa seorang intelektual muslim adalah orang yang berpengetahuan luas, dan memiliki etika moral yang tinggi.

 

Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...