Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Sukma yang Istimewa

Sukma yang Istimewa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Huruf A… ya hanya huruf A yang sanggup dia tulis, bagaimanapun tugas yang diberikan tetap saja yang ditulisnya hanya huruf A. Penulisannya pun tidak seperti biasanya, jika kebanyakan orang menulis A dari kiri ke kanan maka dia menulis A dari kanan ke kiri. Dia adalah seorang bocah kecil kelas satu MI di tempatku mengajar. Sukma, begitulah saya biasa memanggilnya, meskipun teman-temannya ada yang memanggil Ijat bahkan ada juga yang memanggil Ahmad. Semua nama muncul bukan tanpa alasan, penggantian nama itu diharapkan dapat merubah Sukma menjadi lebih baik lagi.

Begitu banyak guru yang mengeluh dengan Sukma, sudah dua tahun dia duduk di kelas satu hanya bisa menulis huruf A. Awalnya aku juga heran melihat anak yang tidak pernah duduk selama di dalam kelas, kalau dia sudah bosan maka dengan santainya dia minta pulang dengan logat sundanya yang begitu kental “uwih buk”. Suatu ketika kusuruh dia menulis namanya, tapi yang terjadi dia malah menangis. Ada ketakutan di hatiku, apalagi rumahnya tepat berada di depan sekolah, bagaimana kalau orang tuanya tahu anaknya menangis di sekolah gara-gara aku, guru baru. Namun aku berusaha untuk tetap terlihat santai di depan siswa yang lainnya.

Di lain waktu saat kami belajar menyanyi, muncullah Sukma yang baru, Sukma yang ceria dan penuh semangat. Tetapi semua itu hanya muncul ketika ada kegiatan menyanyi. Perlahan ku coba mendekatinya, memberikan dia amanah untuk menjadi pemimpin doa bagi kelas 1,2 dan 3 sebelum pulang sekolah. Meskipun dia tak bisa menulis, setidaknya dia bisa merasakan bahwa dia kini sudah dianggap ada oleh teman-temannya. Selama ini anggapan bodoh, nakal, dan sebagainya telah melekat dari teman-temannya. Bahkan ibunya sering mengeluh kepada guru lainnya, sambil berujar “seandainya saya bisa mencabut nyawa, maka biarlah Sukma itu mati saja”,

Kini semuanya telah berubah. Sukmaku telah hilang, tiada lagi anak yang menangis saat kusuruh menulis, tak ada lagi anak yang sibuk minta istirahat, minta masuk dan minta pulang dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama. Sukma hanya terlihat sibuk bermain dari pagi hingga sore hari. awalnya kukira dia sakit makanya tidak sekolah, tetapi dari kabar yang beredar ternyata Sukma dilarang sekolah oleh ibunya. “Sukma cukup belajar di rumah, di sekolah pun dia tidak mau menulis, kalau di rumah kan dia takut sama ibunya”, begitulah alasan dia tidak sekolah lagi.

Jika semua itu berjalan sesuai keinginan orang tuanya maka tidak akan ada kesedihan dalam hatiku. Tapi semuanya tidak begitu, ada luka yang tertoreh dalam hatiku. Kalau Sukma benar-benar bisa menulis di rumah, maka tidak masalah dia tidak datang lagi ke sekolah, tetapi yang ada Sukma diikat di kamarnya selama dua hari tanpa dikasih makan, hanya karena dia tidak mau menulis. Guru mana yang tidak terluka, saat anak didiknya teraniaya..?

Apalah dayaku sebagai orang baru di kampung ini? Kini yang coba kulakukan hanya mendekati Sukma dengan impian suatu saat dia mau lagi belajar menulis bersamaku. Setiap kali ketemu, aku selalu memanggil dan mendekatinya. Pernah suatu kali sepulang sekolah kulihat Sukma sibuk bermain, kupanggil ia dan mengajaknya bicara. “sukma, ku naon teu sakola deui..? (kenapa gak sekolah lagi..?) tanyaku. “Abi ulahan sakola jeung mamah buk, abi ntos salin baju putih, tapi dititahan ku mamah salin deui, ulahan sakola, abi di talian dua dinten di kamar jeung mamah, tapi di bukakeun sareng bapak” (saya dilarang sekolah sama mamah, saya udah ganti baju putih, tapi sama mamah disuruh ganti lagi, gak boleh sekolah. Saya diikat dua hari sama mamah di kamar, lalu dibukakan sama bapak) jawabnya,. “tapi sukma palay sakola,,? (tapi Sukma masih ingin sekolah..?)” lanjutku. Hanya anggukan kecil yang kulihat dari wajah polos itu. Semakin besar keinginanku untuk terus mendekatinya dan mengajaknya belajar menulius sambil bermain.

Sekarang setiap kali bertemu denganku dia selalu memanggil dengan nama yang dia suka saja. Dia selalu bercerita ingin membeli motor, aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik, sambil sesekali menimpali, minta diantar pulang ke kampung halamanku. “Sukma hantarkeun ibu uwih ka imah ibu jeung motornya Sukma nya (Sukma, hantarkan ibu pulang pake motor Sukma ya)?” pintaku. “imah ibu mah kebal, Abi di upahan teu buk (rumah ibu mah jauh, saya dibayar gak buk)?” katanya. “Teu, ibu mah teu boga duit, diupahannya jeung salak bae hiji nya (tidak, ibu gak punya uang, bayarnya sama buah salak aja satu ya)” candaku. “Ndung abi mah buk, ripuh abi teu dibayaran (gak ah, capek saya mah buk, gak dibayar)”, ujarnya.

Terkadang dia juga mengikutiku hingga ke rumah induk semangku sepulang sekolah. Kesimpulan sementara yang dapat kuambil, Sukma benar-benar butuh perhatian, si yatim kecil yang terlupakan. ibu Sangni, ngendong ti imah abi, buk. Ti imah abi mah aya tipi gede, loba daging, daging kotok, daging bebek, daging mbek, loba bu, Bu sangni ngendong ti imah abi nya..” (ibu Sangni, nginap di rumah saya, buk. Di rumah saya ada TV besar, banyak daging, daging ayam, daging, bebek, daging kambing, banyak buk. bu Sangni nginap di rumah saya ya)”.

Begitulah sapaannya setiap kali bertemu aku akhir-akhir ini. Namaku telah diubahnya dari Sasni menjadi Sangni. Tetapi hingga saat ini aku belum bisa mendapatkan cara yang tepat untuk mengajak Sukma belajar menulis bersamaku. Di hati ini seakan timbul harapan terbesar untuk Sukma. Di beberapa bulan sisa pengabdianku di tanah Banten ini, aku ingin Sukma bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung) dan bergabung kembali ke sekolah sehingga akan lahir Sukma baru yang mampu menghapuskan semua gelar “kebodohan” yang melekat di dirinya. Bahkan semua ini adalah sebuah keharusan yang harus kujalani tidak hanya sebatas keinginan yang terpendam dalam kesibukan, semoga saja. Aku ingin kehadiran Sukma diterima di keluarga dan lingkungannya. Sukma adalah murid istimewa yang Allah kirimkan untukku. Dialah pelajaran berharga dalam hidupku, semoga aku tak lalai hingga menyia-nyiakannya.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Apakah Palestina Istimewa?

Figure
Organization