Ramadhan dan Revolusi Kuliner di Kupang

Aneka jenis kue dan penganan tradisional Bugis mendominasi pasar penganan berbuka di Kupang. (Darso Arief Bakuama)

dakwatuna.com – Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan. Keberkahan itu tidak saja milik individu pelaku puasa, tapi juga bagi tempat di mana pelaku-pelaku puasa itu tinggal. Sirkulasi barang dan uang cukup pesat karena tingkat konsumsi masyarakat tinggi. Bahkan pada kota-kota tertentu kegiatan wisata, terutama wisata kuliner juga menggeliat. Hal ini terlihat di Kota Kupang, ibukota provinsi NTT yang penghuninya lebih banyak masyarakat non Muslim.

Bila Ramadhan tiba, ada pemandangan yang berubah di Kota Kupang. Kota ini berubah wajah menjadi Kota Wisata Kuliner, lebih spesifik pada penganan berbuka puasa. Meski hanya berlangsung dalam sepotong hari, yakni dari waktu Ashar hingga Magrib tiba, namun pasar kuliner di sini cukup melibatkan banyak pedagang, beraneka makanan dan minuman dengan perputaran uang yang cukup tinggi. Pasar penganan berbuka ini hanya terlihat marak pada tiga lokasi namun pemandangan ini cukup signifikan untuk ukuran Kota Kupang. Berlokasi Kampung Solor (Jalan Urip Sumoharjo), Airmata (Jalan Soekarno) dan Oeba (Jalan Timor Raya), namun itu sudah cukup membuat Kota Kupang meriah dan ramai. Pada tiga tempat ini, tidak hanya orang berpuasa yang datang berbuburu makanan berbuka tapi mereka yang tidak berpuasapun ramai datang berburu penganan yang tidak ada setiap hari pada bulan lain.

Susana pasar penganan berbuka puasa di Jalan Urip Sumoharjo Kupang. (Darso Arief Bakuama)

Tradisi pasar kuliner Ramadhan ini sebenarnya sudah mucul lama, dalam tahun 1980-an oleh masyarakat Kampung Solor dan Aermata. Dua wilayah di tengah Kota Kupang ini memang dihuni oleh mayoritas masyarakat Muslim. Bersamaan dengan bertambahnya penduduk dari Jawa, Sulawesi dan daerah lain, yang umumnya mereka pedagang, pegawai dan professional, maka suasana pasar kuliner Ramadhan ini makin ramai dan meluas. Jenis kuliner yang didagangkan juga makin beragam. Kini, pengunjung pasar kuliner lebih dari sekadar berbelanja tapi juga berwisata.

Masyarakat Kota Kupang sepanjang Ramadhan ramai datang dengan keluarga sambil ngabuburit (Isilah Jawa Barat : jalan-jalan sambil menunggu waktu berbuka), sedangkan bagi muda-muda lokasi pasar kuliner ini jadi ajang nongkrong dan ajang pamer. Kamacetan dan kepadatan lalulintas tentu saja terjadi. Karenanya pemerintah kota dan polisi lalulintas pun sibuk terlihat mengatur lalu lalang kendaraan dan hilir mudik orang.

Bila dicermati, pasar kuliner Ramadhan ini lebih didominasi oleh jenis penganan tradisional Bugis dan Makassar. Mengapa, karena secara umum masyarakat Kupang lebih akrab dengan kue Orang Bugis dibanding jenis kue masyarakat lain, termasuk kue-kue tradisi masyarakat Kupang sendiri.

Dominasi Kue Orang Bugis

Di luar konteks Ramadhan, ketertarikan masyarakat Kota Kupang pada pasar kuliner Ramadhan ini sebenarnya mempunyai latar belakang budaya dan tradisi kuliner masyarakat lokal yang memang tidak banyak. Masyarat Kota Kupang yang awalnya dihuni oleh kelompok etnis dari Timor, Rote, Flores, Sumba, Alor dan Sabu ini sebenarnya tidak memiliki tradisi kuliner yang beragam, terutama jenis kue. Beberapa jenis kue yang biasa diklaim sebagai tradisi asli masyarakat lokal sebenarnya tidak murni lahir dari sini.

Dalam bahasa Melayu Kupang, kue disebut kokis yang sama-sama kita tahu berasal dari Bahasa Inggris. Kata ini juga dipakai dalam bahasa daerah di NTT yang berjumlah puluhan itu. Demikian pula dengan jenis kue-nya. Kokis Solo

yang sering diklaim sebagai kue asli orang Kupang sebenarnya dikenal di seluruh tanah air dengan sebutan Kue Cucur itu. Demikian juga dengan Kokis Bagia yang terbuat dari tepung terigu, kanji dan kacang tanah yang dihaluskan. Adonan kue ini dibuat bulat lonjong dan dibakar dalam oven atau secara tradisional dibakar dengan bara api di atas wadah yang terbuat dari kaleng atau seng. Kue ini sering diklaim sebagai kue-nya orang Kupang. Ternyata kue jenis ini ditemukan dalam tradisi orang Banyuwangi di Jawa Timur. Secara akar budaya, lebih memungkinkan tradisi orang Jawa mempengaruhi orang Kupang, bukan sebaliknya. Demikian pula dengan Kue Kembang Goyang, Kue Rambut atau Semprong. Lain halnya dengan Kokis Perut Ayam atau Kokis Tolo Kuda. Perut Ayam dan Tolo Kuda sebenarnya kue yang terbuat dari bahan yang sama dan sederhana, yakni tepung terigu dan gula lontar dan dimasak dengan cara menggoreng. Jika dibuat panjang melingkar seperti usus ayam disebut Perut Ayam dan jika hanya dituang dalam penggorengan berbentuk bulatan kecul di sebut Tolo (alat kelamin) Kuda (jantan).

Jauh sebelum masyarkat Kupang mengenal bebagai jenis kue, masyarakat keturunan Tionghoa sudah lebih dahulu memprkenalkan beragam jenis kue bersamaan dengan diperkenalkan tepung terigu di Kupang. Meski begitu, kue-kue buatan orang Tionghoa lebih untuk dikonsumsi sendiri daripada dijual. Penyebaran resep kue dari orang-orang Tionghoa biasanya lewat orang lokal yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya. Masih teringat dalam benak penulis, dalam tahun 1970-an seorang Te’o (bibi) penulis bernama Sarlota Bakuama, pernah membawa sekumpulan resep kue yang akhirnya menjadi “Kitab Berharga” bagi masyarakat di Rote. Belakangan, penulis membaca “kitab” itu ternyata (hanya) memuat resep-resep kue yang umum dikenal masyarakat sekarang, seperti berbagai jenis roti dan aneka jenis kue kering.

Ketika migrasi orang Bugis dan Jawa ke Kupang yang dimulai pada tahun 1960-an, mereka membawa dan memperkenalkan tradisi kuliner yang beragam bagi masyarakat lokal. Itu karena orang Jawa dan Bugis yang datang ke Kupang sebagai pedagang sehingga kue menjadi komoditas yang sangat menjual.

Dewasa ini, produksi kue di Kupang lebih didominasi oleh masyarakat Tionghoa dan Bugis. Bedanya, orang Tionghoa menjualnya pada toko-toko dengan jenis kue kontemporer yang kadang berbau Barat, sedangkan masyarakat Bugis lebih pada pasar kue yang terjangkau masyarakat dengan beragam jenis kue tradisional Sulawesi. Akibatnya, orang Kupang lebih mengenal dan menikmati Kue Orang Bugis dibanding Kue Orang Tionghoa. Jika saat ini anda berada Kupang, maka bisa merasakan Kue Orang Bugis begitu mendominasi. Mereka ada di kios-kios pinggir jalan sampai pasar-pasar. Orang Bugis telah menjadikan kue tradisional mereka begitu akrab di lidah orang Kupang. Kue Barongko, Kue Karasa, Kue Didara, Kue Beppa Pute, Kue Katirisala, Kue Cucuru, aneka Kue Bolu dan masih puluhan jenis kue lainnya. Begitu dominasinya kue tradisional Bugis di Kupang, sehingga penulis pernah berkeluh kepada Nur Alim Halvaima, wartawan senior di Jakarta, bahwa orang Bugis bukan hanya menguasai produksi ikan di Kupang, tapi orang Bugus juga membuat kami orang Kupang lupa akan tradisi penganan kami. Dan, eksebisi kue tradisional Orang Bugis itu bisa kita saksikan pada arena Pasar Kuliner Ramadhan ini.

Lahir di Papela, Kec. Rote Timur, Kab. Rote Ndao. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan Bahagia, Bekasi. Pernah di redaksi Majalah Warnasari (Pos Kota Group) dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...