Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Fiqih I’tikaf: Mubah dan Larangan dalam I’tikaf (Bagian Akhir)

Fiqih I’tikaf: Mubah dan Larangan dalam I’tikaf (Bagian Akhir)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Masjidil Haram - Foto: hajis.co.uk
Masjidil Haram – Foto: hajis.co.uk

dakwatuna.com – Berikut ini aktivitas yang diperbolehkan selama I’tikaf (diringkas dari Fiqhus Sunnah):

  1. Tawdi’ (melepas keluarga yang mengantar), sebagaimana yang nabi lakukan terhadap Shafiyyah
  2. Menyisir dan mencukur rambut, sebagaimana yang Aisyah lakukan terhadap nabi
  3. Keluar untuk memenuhi hajat manusiawi, seperti buang hajat
  4. Makan, minum, dan tidur ketika i’tikaf di masjid, atau mencuci pakaian, membersihkan najis, dan perbuatan lain yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan shalat jumat bagi yang i’tikafnya di masjid ghairu jami’, antara yang membolehkan dan yang mengatakan batal i’tikafnya.

Pembatal-Pembatal I’tikaf

Pembatal-pembatal tersebut antara lain:

  1. Secara sengaja Keluar dari masjid tanpa ada keperluan walau sebentar
  2. Murtad
  3. Hilang akal
  4. Gila
  5. Mabuk
  6. Jima’ (hubungan badan). (Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 1/481-483)

Aktivitas Selama I’tikaf

Hendaknya para mu’takifin memanfaatkan waktunya selama i’tikaf untuk aktivitas ketaatan, seperti membaca Alquran, dzikir dengan kalimat yang ma’tsur, muhasabah, shalat sunnah mutlak, boleh saja diselingi dengan kajian ilmu.

Berbincang dengan tema yang membawa manfaat juga tidak mengapa, namun hal itu janganlah menjadi spirit utama. Tidak sedikit orang yang i’tikaf berjumpa kawan lama, akhirnya mereka ngobrol urusan dunianya; nanya kabar, jumlah anak, kerja di mana, dan seterusnya, atau disibukkan oleh SMS yang keluar masuk tanpa hajat yang jelas, akhirnya membuatnya lalai dari aktivitas ketaatan.

Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah mengomentari hal ini, katanya:

وقوله: «لطاعة الله» اللام هنا للتعليل، أي: أنه لزمه لطاعة الله، لا للانعزال عن الناس، ولا من أجل أن يأتيه أصحابه ورفقاؤه يتحدثون عنده، بل للتفرغ لطاعة الله عزّ وجل

وبهذا نعرف أن أولئك الذين يعتكفون في المساجد، ثم يأتي إليهم أصحابهم، ويتحدثون بأحاديث لا فائدة منها، فهؤلاء لم يأتوا بروح الاعتكاف؛ لأن روح الاعتكاف أن تمكث في المسجد لطاعة الله ـ عزّ وجل ـ، صحيح أنه يجوز للإنسان أن يتحدث عنده بعض أهله لأجل ليس بكثير كما كان الرسول صلّى الله عليه وسلّم يفعل ذلك

“Perkataannya (untuk ketaatan kepada Allah) huruf Lam di sini adalah untuk menunjukkan sebab (‘ilat- istilahnya lam ta’lil), yaitu bahwa dia menetap di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan untuk memisahkan diri dari manusia, bukan pula karena ingin mengunjungi sahabat-sahabatnya, kerabatnya, lalu berbincang dengan mereka, tetapi untuk memfokuskan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Dengan inilah kita tahu bahwa mereka sedang i’tikaf di masjid. Lalu datang kepada mereka sahabat-sahabat mereka, dan ngobrol dengan tema pembicaraan yang tidak berfaidah, mereka ini datang tidak dengan ruh (spirit) untuk beri’tikaf, karena ruh yang ingin beri’tikaf, berdiamnya di masjid adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar, bahwa manusia boleh saja berbincang kepada sebagian anggota keluarganya tetapi tidaklah memperbanyaknya, sebagaimana yang dilakukan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Ada pun untuk menuntut ilmu di majelis i’tikaf, beliau berkata:

لا شك أن طلب العلم من طاعة الله، لكن الاعتكاف يكون للطاعات الخاصة، كالصلاة، والذكر، وقراءة القرآن، وما أشبه ذلك، ولا بأس أن يَحضر المعتكف درساً أو درسين في يوم أو ليلة؛ لأن هذا لا يؤثر على الاعتكاف، لكن مجالس العلم إن دامت، وصار يطالع دروسه، ويحضر الجلسات الكثيرة التي تشغله عن العبادة الخاصة، فهذا لا شك أن في اعتكافه نقصاً، ولا أقول إن هذا ينافي الاعتكاف.

“Tidak ragu bahwa menuntut ilmu termasuk ketaatan kepada Allah, tetapi i’tikaf terdapat ketaatan khusus, seperti shalat, dzikir, membaca Alquran, dan yang serupa itu. Tidak apa-apa mu’takif menghadiri satu pelajaran atau dua dalam sehari atau malam, sebab itu tidak mempengaruhi i’tikafnya, tetapi jika majelis ilmu diadakan terus menerus, akan membuatnya mengkaji materinya, menghadiri berbagai majelis yang memalingkannya dari ibadah khusus, ini tidak ragu lagi membuat i’tikafnya berkurang, di sini saya tidak katakan menganulir i’tikafnya. (Lihat semua dalam Syarhul Mumti’, 6/163)

Pelajaran (Ibrah) dari I’tikaf

Pelajaran yang bisa kita petik dari i’tikaf adalah:

  1. Menegaskan kembali posisi masjid sebagai sentral pembinaan umat
  2. Sesibuk apa pun seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala secara fokus dan totalitas
  3. Hidup di dunia hanya persinggahan untuk menuju keabadian akhirat.

Wallahu a’lam wa ilaihi musytaka

Refensi:

  • Alquranul Karim
  • Shahih Bukhari, karya Imam Al Bukhari
  • Shahih Muslim, karya Imam Muslim
  • Shahih Ibnu Hibban, karya Imam Ibnu Hibban
  • Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah
  • Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Daud
  • Sunan At Tirmidzi. Karya Imam Abu Isa At Tirmidzi
  • Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah
  • Sunan Ad Darimi, karya Imam Ad Darimi
  • Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad
  • Musnad Abu Ya’la, karya Imam Abu Ya’la Al Maushili
  • As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi
  • Akhbar Ashbahan, karya Imam Abu Nu’aim
  • Syarhus Sunnah, karya Imam Al Baghawi
  • Syarh Musykilul Atsar, karya Imam Abu Ja’far Ath Thahawi
  • Al Mushannaf, karya Imam Ibnu Abi Syaibah
  • Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain, karya Imam Al Hakim
  • Al Jami’ Li Ahkamil Quran, karya Imam Al Qurthubi
  • Fathul Qadir, karya Imam Asy Syaukani
  • Madarik At Tanzil wa Haqaiq At Ta’wil, karya Imam An Nasafi
  • Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
  • As Silsilah Ash Shahihah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
  • Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, departemen Waqaf Kuwait
  • Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
  • Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili
  • Syarhul Mumti’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
  • Qiyamur Ramadhan, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
  • Atsarul ‘Ulama fi Tahqiqi Risalatil Masjid, karya Syaikh Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization