Memaknai Puasa Ramadhan sebagai Tarbiyah Persatuan Umat

dakwatuna.com – Puasa secara syar’i bermakna menahan dan mencegah diri secara sari makan, minum, bersetubuh dengan perempuan dan semisalnya, selama sehari penuh – dari terbit hingga terbenamnya matahari. Banyak hikmah dapat diambil baik untuk muslim ataupun non muslim dari puasa. Dr. Yusuf Qardhawi di dalam bukunya sangat jelas dan ringkas menyatakan hal ini, beberapa hikmah puasa yang beliau kemukakan di antaranya pertama, puasa merupakan sarana penyucian jiwa, kedua puasa memiliki hikmah ijtima’iyah (sosial) dan yang ketiga puasa dapat mempersiapkan seseorang menuju derajat takwa dan naik ke kedudukan muttaqin.

Dalam pengklasifikasiannya ada puasa yang wajib dan ada juga yang disunnahkan. Kedua pengklasifikasian tersebut memiliki beberapa turunan. Dan salah satu yang termasuk dalam turunan puasa wajib adalah puasa di bulan ramadhan. Allah Swt berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan], maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)….” (QS. Al-Baqarah 2:183-185)

Bebagai pemaknaan terhadap puasa di bulan ramadhan sangat beririsan dengan tingkat pengetahuan akan hikmah dan makna di balik kewajiban berpuasa. Semua muslim tidak menyangkal akan banyaknya hikmah di balik berpuasa ramadhan. Namun mengetahui akan hikmah di balik sebuah kewajiban tidak menjamin pemaknaan yang juga benar akan kewajiban tersebut. Ada yang memaknainya bulan ramadhan hanya pemaknaan sebatas berlapar di siang hari dan pembalasan di malam hari, ada lagi yang memaknai bahwa puasa itu cukup menahan haus dan lapar, dan hal-hal yang membatalkan saja namun terkait hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasanya mereka lalai. Padahal Rasulullah SAW ber sabda “Banyak sekali orang yang berpuasa sedang dia hanya mendapat lapar dan dahaga (tidak mendapat pahala)”. Pemaknaan yang benar akan puasa –termasuk ramadhan- bukan hanya dapat menghasilkan pahala yang optimal bahkan maksimal –tentunya dengan diiringi oleh perbaikan kuantitas dan kualitas ibadah yang dilakukan namum juga akan menghasilkan maslahat yang besar bagi umat. Oleh karena pemaknaan yang benar sangat dianjurkan.

Seharusnya umat islam di seluruh dunia memaknai setiap puasa pada bulan ramadhan sebagai sarana tarbiah persatuan umat. Dan sebagai sarana untuk mempertajam kepekaan dengan permasalah umat yang terjadi di dunia ini. Peka akan kondisi saudara kita di Palestina, Mesir, Suria, Rohingya dan negara muslim lainnya serta permasalahan yang terjadi di negeri tercinta kita indonesia. Bukan hanya terbatas bagaimana mereka berpuasa tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan lain, sosial, politik, ekonomi dan pendidikan.

Adalah kewajiban setiap muslim memperhatikan urusan umat muslim lain dan saling bertolong-menolong. Artinya setiap golongan bahkan setiap muslim bertugas untuk memperkecil friksi-friksi yang terjadi antara umat islam. Agar setiap perbedaan tidak melahirkan perpecahan, bukankah kita disuruh oleh Allah SWT harus bersatu dan bertoleransi. Namun pemahaman yang salah dan kaku tentang bersatu dan toleransi melahirkan kesalahan yang lain bahkan sanpai ke titik ekstrim. Seharusnya pemahaman akan perintah toleransi tidak hanya terhadap mereka yang non-muslim saja tetapi juga yang lebih berhak untuk itu adalah umat muslim itu sendiri. Sangat tepat apa yang diungkapkan oleh Syaikh Rasyid Ridho untuk saling menolong terhadap hal yang disepakati dan bertoleransi terhadap yang tidak disepakati.

Terlalu naif jika memandang bahwa agama ini akan tega hanya dengan satu individu atau hanya golongan tertentu saja. Mengutip apa yang diungkapkan oleh Ust. Adian Husaini “masalah umat ini terlalu besar untuk hanya ditangani atau diatasi sendirian. Kewajiban di antara kita adalah melakukan tausiyah, bukan saling mencerca dan saling membenci”. Perbedaan yang sebenarnya tidak begitu mendasar namum sangat cukup untuk memecahbelah umat ini.

Momen ramadhan ini sangat tepat dijadikan sarana untuk mentarbiyah hati, jiwa dan akhlak bersosial baik antar jamaah ataupun individu. Di sini Allah SWT memberikan waktu bagi setiap muslim untuk memupuk rasa kebersama. Sama-sama merakan lapar, berbuka bersama-sama dan kita dilarang untuk saling mencaci seperti sabda Rasulullah SAW :

Bukan dikatakan puasa hanya karena meninggalkan makan dan minum. Tetapi yang dikatakan puasa adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna dan kotor. Apabila ada seseorang mencacimu atau menghinamu, maka katakanlah: “Aku sedang berpuasa.

Begitu lah Allah SWT dan Rasul-Nya mengajarkan kita. Bagi mereka yang ingin mendapat pahala lebih, Allah SWT memberikan ganjran yang sama dengan orang berpuasa lain apabila seseorang menyediakan bukaan bagi saudaranya yang berpusa dan sejalan dengan apa yang Rasulullah SAW lakukan dengan memperbanyak bersedekah di bulan Ramadhan. Tidakkah ini adalah tarbiyah dari Allah SWT dan tausiyah bagi setiap muslim untuk memupuk rasa persatuan dengan mempererat ikatan hati di antara sesama muslim.

Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Anfal : 63)

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...