Konsepsi Pendukung dalam Syiah; Dari Klasik hingga Kontemporer (Bagian ke-4): Konsepsi Syiah tentang Fiqih

Ilustrasi. (kalisombowi.blogspot.com)

D. Konsepsi Syiah tentang Fiqih

i. Mukadimah

Implikasi Imamah seperti telah disebutkan di muka, juga sangat terasa terhadap kajian fiqih dan ushul fiqih. Tentang mashādir at-Tasyri’ (Sumber Hukum) yang empat yaitu: Al-Quran, Sunnah, Qiyas dan Ijma’ misalnya, Syiah memiliki sikap yang jauh berbeda dengan Ahlu Sunnah. Dua dari empat sumber hukum di atas yaitu: Al-Quran dan Hadits –seperti telah disinggung di atas- telah terkontaminasi oleh konsep Imamah. Sementara, sumber ketiga yaitu qiyas ditolak dengan menempatkan “al-Aql” (Akal) sebagai gantinya. Sedangkan Ijma’, hanya bisa dianggap sah jika Imam termasuk salah satu pihak yang turut menentukan ijma’ tersebut. Untuk itu hasil ijma’ tersebut juga hanya bisa dianggap sah jika menyingkap apa yang dikatakan oleh Imam.[1] Ini berarti bahwa hal yang paling menonjol dalam ijma’ serta menjadi porosnya adalah sosok Imam.

Dalam masalah fiqih, mayoritas produk fiqih ja’fari juga sangat dipengaruhi oleh konsepsi Imamah ini. Di antara contohnya adalah:

Kewajiban shalat Jum’at, menurut Ahlu Sunnah merupakan harga mati. Tapi, menurut pandangan Syiah Dua Belas Imam hukum shalat Jum’at sangat terkait dengan Imam, di mana sebelum munculnya Imam Mahdi, hukum shalat Jum’at adalah: Pertama, haram menurut sebagian ulama’. Kedua, wājib takhyīr menurut sebagian ulama lainnya, artinya boleh memilih antara shalat zhuhur atau Jum’at. Ketiga, wajib menurut ulama lainnya.

Tentang adzan juga demikian, di mana Syiah menambahkan syahadah ketiga “Asyhadu anna Aliyyan waliyyullāh”, biasanya ditambahkan juga: “wa anna al-Fātimata wa abnā’ahum al-ma’shūmūn hajajullāh“, serta mengubah “Asshalātu khoirun min an-naum”  menjadi “Hayya ‘alā khoiri al-amal”.

Sementara shalat lima waktu pada masa ghaibah ini dapat dijama’ ke dalam tiga waktu saja, karena pada masa ghaibah umat (Syiah)  tidak dalam kondisi normal. Jika dalam kondisi bepergian saja dibolehkan untuk menjama’, maka dalam kondisi Imam ghaib lebih utama.[2]

Shalat tarawih yang menurut Ahlu Sunnah sunnah dilaksanakan dalam jamaah, menurut Syiah haram dilaksanakan dengan berjamaah.

Lalu, jika menurut Ahlu Sunnah bagian wajah, tangan, dan kaki dalam wudhu seharusnya dibasuh, maka menurut Syiah seharusnya diusap.[3]

Di antara produk fiqih yang juga sangat kontradiktif dengan Ahlu Sunnah adalah nikah mut’ah. Nikah kontrak yang menurut Ijma’ Ulama’ Ahlu Sunnah telah di-nasakh kebolehannya itu, oleh Syiah dianggap menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah yang berpahala besar. Mereka juga berkeyakinan, bahwa nikah mut’ah masih dibolehkan berdasarkan Al-Kitab, Hadits an-Nabawi, ijma’ dan qiyas.[4] Mereka juga beranggapan, bahwa mut’ah adalah sebuah solusi untuk menghindarkan seseorang dari perzinaan.[5] Bahkan, beberapa Imam dan ulama’ mereka ada yang berfatwa bahwa nikah mut’ah dapat mengampuni dosa[6]. Ada juga yang menyebutnya belum sempurna seorang Mukmin kalau belum melakukan nikah mut’ah.[7]

Intinya, dalam masalah fiqih, Syiah Dua Belas Imam menerapkan kaidah: “al-mukhōlafah li al-a’dā” (menyelisihi para musuh)[8]. Salah satu produk kaidah ini adalah ajaran tentang Nikah Mut’ah.

Berikut ini kajian lebih mendalam tentang Nikah Mut’ah berikut kritik ulama’ Ahlu Sunnah atas argumentasi Syiah dalam masalah ini.

ii. Kritik atas Pandangan Syiah tentang Nikah Mut’ah[9]

a. Pendahuluan

Dalam Islam, pernikahan merupakah bagian dari agama dan memiliki nilai yang sakral.[10] Karena itu pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum fiqih yang telah disepakati para ulama. Mengabaikan ketentuan hukum ini akan menghilangkan nilai kesakralan itu. Konsekuensinya, akan banyak permasalahan yang ditimbulkan. Sebab, garis nasab/garis keturunan seseorang hanya bisa didapat dari hasil sebuah perkawinan yang sah, begitu juga pembagian harta warisan[11]. Seorang anak yang terlahir dari orang  tua di luar perkawinan yang sah, secara biologis memiliki orang tua, namun secara hukum tidak bisa dikatakan sebagai orang tua yang sah pula.

Berbeda dengan sebuah pernikahan dalam ajaran Syiah; yang dikenal dengan sebutan nikah mut’ah (kawin kontrak). Meskipun kasusnya telah lama terjadi, namun demikian masih banyak terjadi simpang-siur pendapat tentang hukum pernikahan tersebut. Sementara dampak negatif yang ditimbulkan juga membuat orang tidak semuanya setuju secara nurani. Namun, Syiah berkeyakinan, bahwa nikah mut’ah masih dibolehkan berdasarkan Al-Kitab, Hadits an-Nabawi, ijma’ dan qiyas.[12] Mereka juga beranggapan, bahwa mut’ah adalah sebuah solusi untuk menghindarkan seseorang dari perzinaan.[13] Bahkan, beberapa Imam dan ulama’ mereka ada yang berfatwa bahwa nikah mut’ah dapat mengampuni dosa[14]. Ada juga yang menyebutnya belum sempurna seorang mukmin kalau belum melakukan nikah mut’ah.[15]

Islam memang pernah membolehkan nikah mut’ah pada awal Islam.[16] Tapi yang masih menjadi polemik, apakah pembolehan itu masih berlaku sampai sekarang atau tidak?  Sebab, telah ada nash yang me-nasakh hukum tersebut.

Jika Syiah menyatakan bahwa nikah mut’ah dibolehkan dan bahkan dianjurkan, maka pertanyaannya: Sejauh mana kevalidan dalil-dalil yang mereka gunakan dapat dipertahankan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan penulis bahas dalam kajian berikut.

b. Pengertian Nikah Mut’ah

Secara etimologi, kata mut’ah (متعة) dalam bahasa Arab berasal dari kata mata’ (متاع) yang bermakna kesenangan atau sesuatu yang memberi manfaat seperti makanan, perlengkapan rumah tangga, uang dan lain-lainnya.[17]

Sedangkan secara terminologi,  kata mut’ah setidaknya mengandung beberapa makna dan pengertian yang berbeda, sesuai dengan namanya. Ada nikah mut’ah, mut’ah haji dan mut’ah cerai.[18] Ketiganya meski sama-sama menggunakan istilah mut’ah tetapi memiliki pengertian yang berbeda-beda.

Nikah mut’ah adalah sebuah pernikahan yang terikat dengan waktu atau pernikahan munqathi’ (terputus), di mana seorang laki-laki dan perempuan mengadakan akad nikah dengan ketentuan waktu sehari, sepekan atau sebulan. Pernikahan seperti ini akan habis masanya bersama dengan habisnya waktu kontrak.[19] Sedangkan menurut Muhammad Jawad, antara nikah mut’ah dengan nikah permanen tidak ada perbedaan, di mana ia tidak sah tanpa adanya akad yang sah yang menunjukkan maksud nikah mut’ah secara jelas.[20]

Menurut Muhammad Bagir, dinamakan nikah mut’ah yang berarti (sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan) karena yang melakukannya memperoleh manfaat dan kenikmatan sampai batas waktu yang ditentukan.[21] Singkatnya, nikah mut’ah adalah nikah yang waktunya terbatas.

Dalam ibadah haji juga dikenal istilah mut’ah, yaitu haji tamattu’. Haji tamattu’ adalah salah satu metode mengerjakan haji, di mana orang yang telah tiba di Tanah Haram dan telah melaksanakan umrah, tidak langsung mengerjakan ibadah haji dengan terus berihram, akan tetapi berhenti dari berihram sambil menunggu masuknya Hari Arafah.[22] Haji dengan metode tamattu’ ini disyariatkan dalam firman Allah SWT. (QS Al-Baqarah 196): “ … Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat…”.

Yang terakhir, istilah mut’ah juga digunakan sebagai harta yang diberikan oleh suami kepada istri ketika terjadi perceraian, yang sifatnya bukan kewajiban melainkan hanya sebagai anjuran.[23] Dasarnya adalah firman Allah SWT, “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf….”[24]

c. Syarat dan Ketentuan dalam Mut’ah

Dalam nikah mut’ah ada rukun yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin melakukan pernikahan tersebut. Seperti halnya dalam nikah permanen, rukun-rukun itu jika tidak terpenuhi maka menyebabkan tidak sahnya pernikahan. Rukun-rukun itu adalah sebagai berikut:

Pertama, akad, karena ada dan tidaknya suatu ikatan itu tergantung pada akad. Bentuk akad dalam nikah mut’ah adalah sebagai berikut[25]:

“أتزوجك متعة كذا كذا… بكذا كذا….”

“Saya nikahi kamu secara mut’ah dengan mahar sekian dan waktu sekian….”

Sebagian ulama Syiah berpendapat bahwa lafazh yang dipakai dalam akad harus menggunakan bentuk madhi, yaitu zawwajtuka atau ankahtuka, karena bentuk seperti ini lebih mengandung makna yang pasti daripada bentuk mudhari’nya.[26]

Kedua, harus ada kesepakatan tentang batasan waktu. Jika tidak disebutkan batasan waktunya, maka status nikahnya menjadi permanen. Dan adanya batasan waktu itulah yang paling membedakan di antara dua nikah tersebut. Karena itu dalam Al-Kafi, Abu ‘Abdillah berpendapat bahwa tidak ada nikah mut’ah jika tidak ada batasan waktu.[27] Sementara Imam ar-Ridho pernah ditanya oleh muridnya: “Apakah mungkin melaksanakan nikah mut’ah untuk waktu satu atau dua jam saja? Beliau menjawab: “Tidak ada batas waktu yang dapat dimengerti dari satu atau dua jam saja. Bahkan Syiah mengutip perkataan Abu Hasan yang menyatakan bahwa mut’ah boleh dilakukan untuk sekali hubungan saja.”[28]

Ketiga, mahar. Sebagaimana dalam nikah permanen, dalam nikah mut’ah, pihak laki-laki wajib memberi mahar kepada pihak perempuan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Abdillah bahwa nikah mut’ah itu tidak sah kecuali dengan batasan waktu dan mahar.[29] Adapun bentuk dari mahar itu tidak mengikat. Bisa harta benda, uang, perhiasan, perabotan rumah tangga, binatang, ataupun berbentuk jasa dan tidak ada batas minimal dan maksimal pemberiannya. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat dijadikan mahar.[30] Hal ini dipertegas lagi oleh pernyataan Abu Abdillah ketika ditanya tentang jumlah mahar dalam nikah mut’ah itu, beliau menjawab: “Berapapun jumlahnya yang kamu saling meridhai terhadapnya”[31]

Keempat, adanya calon suami-istri. Tidak mungkin ketiga rukun di atas tadi terlaksana jika tidak ada rukun ini. Dalam hal ini, calon suami-istri adalah orang yang tidak terhalang oleh ketentuan syara’ untuk melangsungkan akad pernikahan, baik itu karena nasab maupun sesusuan, ataupun tidak sedang menjadi istri orang lain dan tidak dalam waktu ‘iddah.[32]

Selain keempat rukun di atas, masih ada beberapa ketentuan lain berkaitan dengan nikah mut’ah dalam madzhab Syiah Imamiyah (yang biasa disebut juga madzhab Ja’fary). Bahwa dalam nikah mut’ah tidak ada kewajiban memberi nafkah, karena sudah cukup dengan pembayaran mahar yang disetujui bersama pada saat dilangsungkannya akad nikah. Dalam hal ini, pihak perempuan punya hak tawar di awal. Dia berhak menentukan besar-kecilnya mahar, yang sekiranya pihak laki-laki nanti tidak memberi nafkah, hal  itu tidak menjadi persoalan.[33]

Seperti halnya nikah permanen, dalam nikah mut’ah juga dikenal ‘iddah apabila perempuan (yang dimut’ah) itu ditinggal mati atau dicerai suaminya. Dan masa Iddah itu selama 45 hari atau dua kali masa haid bagi yang dicerai, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang ditinggal mati suaminya, baik telah dicampuri ataupun belum.[34]

Mengenai jumlah wanita yang dimut’ah, tidak ada batasan tertentu. Dan dia tidak termasuk wanita yang empat – jumlah wanita yang boleh dinikahi dalam nikah permanen – dan hal itu karena mereka dibayar, jadi terserah kepada laki-laki.[35]

Yang lebih membedakan lagi dengan nikah permanen adalah, bahwa dalam nikah mut’ah tidak diperlukan adanya saksi, sama seperti pendapat madzhab Syiah Imamiyah (atau madzhab Ja’fary) tentang tidak wajibnya persaksian dalam nikah biasa. Bahkan, jika calon istri telah baligh, dia berhak menentukan nasibnya sendiri tanpa ada intervensi dari orang tuanya dalam memilih calon suami. Jika demikian nikah mut’ah bisa dilaksanakan antara dua orang saja (calon suami-istri).[36]

Ketentuan yang lain, tidak  boleh memperpanjang waktu yang ditentukan. Apabila seorang yang melakukan mut’ah ingin menambah masa kontraknya, ia harus menunggu kesepakatan yang pertama habis baru membuat kesepakatan yang baru lagi.[37]

Dalam masalah warisan, meskipun terdapat perselisihan pendapat, namun menurut riwayat yang sah sebagaimana dianut oleh kebanyakan ulama’ Syiah adalah yang mengatakan tidak ada waris dalam nikah mut’ah, kecuali jika dalam akadnya tidak ada ikatan waktu, artinya nikah itu adalah nikah daim (selamanya), yang tidak masuk dalam kategori nikah mut’ah. Dalam kondisi ini terdapat hak waris bagi yang ditinggal mati.[38]

Sebagai legalisasi hukum mut’ah, para ulama’ Syiah banyak mengeluarkan fatwa, baik dalam kitab-kitab maupun melalui dunia maya (internet), seperti di blog, situs-situs, bahkan jejaring sosial.  Dan perlu diketahui, bahwa seorang Ulama apalagi telah dianggap sebagai marja’ (rujukan) mereka, akan selalu diikuti apabila mengeluarkan fatwa. Karena menaati ulama’ -dalam pandangan mereka- merupakan kewajiban pertama[39]. Ucapan mereka adalah ucapan Tuhan[40], karena para fuqaha’ adalah pengganti Imam, sementara Imam adalah penerus Rasul, dan Rasul adalah utusan Tuhan. Untuk itu, para Rasul dan Imam memiliki sifat ma’shum[41], sementara para fuqaha’ dekat dengan kemaksuman, sehingga apa yang diucapkan itu pastilah merupakan representasi dari kebenaran.

Di antara fatwa-fatwa para fuqaha’ Syiah terkait dengan nikah Mut’ah adalah: Dibolehkan melakukan mut’ah dengan seorang PSK. Sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh Ayatullah Al-‘Uzhma Sayyid Muhammad Shadiq Al-Husaini Ar-Ruhani.

Saat beliau ditanya oleh salah seorang:

“Suatu saat saya pergi ke klub malam, seorang wanita pelacur (PSK) memintaku untuk membayarnya sebesar 100 $ (dolar), ia berkata padaku, “Saya berikan tubuhku ini semuanya untuk kamu pakai bersenang-senang sebagai ganti dari uang ini, tapi dalam jangka sehari saja”, apakah ini sudah termasuk nikah mut’ah?

Beliau (Muhammad Shadiq) menjawab:

”Bismillahi Jallat Asma’uhu… jika ia mengatakan dengan maksud untuk menikah dan Anda menjawabnya setelah itu dengan: “Saya terima untuk diriku sendiri”, maka ini sudah termasuk nikah mut’ah.[42]

Jika demikian, lantas apa bedanya dengan orang yang pergi ke tempat lokalisasi, lalu mengadakan transaksi berupa kesepakatan uang dan waktu?

Transaksi  mut’ah juga diperbolehkan melalui telepon. Pendapat ini diutarakan oleh Syekh Ali As-Sistani. Yang penting syarat-syaratnya dipenuhi, seperti shighah, mahr, dan muddah (waktu).[43]

d. Keutamaan dan Pahala Nikah Mut’ah menurut Syiah

Menurut pandangan Syiah seorang yang melakukan mut’ah akan mendapat pahala dan ampunan dari Allah SWT. Dalam hal ini Syiah mengutip perkataan Imam Al-Baqir:

“Jika seseorang melakukan mut’ah karena Allah ‘Azza wa jalla dan menyelisihi si fulan, maka tidaklah ia mengucap satu ucapan, kecuali Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan untuknya. Jika ia menyetubuhinya, Allah akan mengampuni dosanya. Jika ia mandi, Allah memberi ampunan untuknya sejumlah air yang membasahi kepalanya, yaitu sebanyak rambutnya.[44]

Masih dari Imam Al-Baqir, ketika Rasulullah Saw di-isra’kan ke langit, beliau ditemui Jibril, lalu berkata:

“Wahai Muhammad, sesungguhnya aku telah mengampuni orang-orang yang melakukan nikah mut’ah dari kalangan wanita.”[45]

Yang menjadi pertanyaan lagi: Dalam nikah mutlak  yang jelas-jelas dibolehkan, tidak ada jaminan pahala sebesar itu, mengapa mut’ah yang masih belum jelas hukumnya, pahalanya begitu besar?

Selain itu, mut’ah dianggap sebagai pengganti dari diharamkannya khamr. Hal ini dapat dilihat dari fatwa yang disematkan kepada Imam As-Shadiq, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan setiap minuman yang memabukkan atas Syiah (kelompok) kami, dan menggantinya dengan mut’ah.”[46] Di mana letak hubungan antara minuman khamr dan nikah mut’ah? Bukankah fatwa ini mengada-ada?

Tidak seperti ajaran Sunni, mut’ah juga boleh dilakukan dengan wanita Yahudi, Nasrani dan Majusi. Syekh Muhammad At-Thusi menyebutkan riwayat yang bersumber dari Imam al-Ridha, bahwa beliau membolehkan menikahi wanita Yahudi, Nashrani, bahkan Majusi secara mut’ah.[47] Padahal dalam Al-Quran surat Al-Baqarah 221, disebutkan, bahwa diharamkan bagi kaum Muslimin menikahi wanita-wanita maupun budak perempuan yang musyrikah. Ataupun sebaliknya, kecuali mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dalam kitab “Man la Yahdhuruhu al-Faqih” disebutkan bahwa seorang Mukmin tidak dianggap sempurna sebelum melakukan nikah mut’ah.[48]

Mengenai batas waktunya, tidak terbatas. Mut’ah boleh dilakukan dengan sekali melakukan hubungan badan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Furu’ al-Kafi: Bahwa Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut’ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami-istri. Jawabnya: “Tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya”.[49]

Mut’ah juga tetap dianggap sah bila dilakukan dengan perempuan yang telah bersuami, namun ia berbohong. Menurut Ayatullah Ali As-Sistani, sebaiknya sebelum melakukan mut’ah, disarankan untuk bertanya-tanya dulu tentang status wanita yang diinginkannya, pertama apakah dia wanita yang baik? Kemudian bertanya tentang status bersuami atau belum. Seandainya dia ternyata berbohong, karena mengaku perawan ternyata sudah bersuami, hal itu tidak membatalkan pelaksanaan mut’ah. Karena mengetahui status wanita bukanlah syarat sahnya nikah mut’ah.[50] Hal serupa juga dikatakan Abu Abdillah ketika ditanya, bagaimana jika ternyata wanita itu berbohong tentang statusnya, bahwa dia bukan perawan lagi bahkan ada yang bilang dia pelacur? Maka jawaban beliau: “Ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.[51]

Dari pemaparan fatwa-fatwa para Imam Syiah di atas tadi, dapat diambil kesimpulan, bahwa betapa mudahnya pelaksanaan nikah mut’ah itu. Bahkan, kalau kita mau, tiap hari bisa melakukannya untuk sekali hubungan dengan mahar yang paling rendah, berarti bisa berupa sebungkus mie instan, atau sebotol minuman kaleng, dan barangkali dengan membelikan pulsa handphone mungkin saja terjadi, karena yang terpenting dalam mut’ah ini adalah mahar meskipun sedikit dan waktu yang tidak ada batasan minimal. Selain itu, jaminan pahala yang besar, dan kemuliaan yang didapat dari mut’ah begitu menggiurkan. Hal ini akan mendorong para budak nafsu birahi untuk selalu menuruti kemauan syahwatnya.

e. Dalil-dalil Nikah Mut’ah menurut Syiah dan Kritik Terhadapnya

Syiah memakai beberapa dalil sebagai landasan pendapat mereka terhadap nikah mut’ah, baik dari Al-Quran maupun Al-Hadits. Berikut dalil-dalil  yang mereka gunakan:

a) Dalil dari Al-Quran surat An-Nisa’

Yang menjadi dasar utama bagi Syiah dalam menentukan hukum mut’ah itu halal adalah firman Allah SWT:

“Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban”.[52]

Melalui ayat tersebut di atas, Syiah memegang kuat qira’at beberapa Sahabat seperti Abdullah bin Masu’d, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Sai’d ibn Jubair dan As-Saddi:

(فمااستمتعتم منهن (إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى) فآتوهن أجورهن بالمعروف) Artinya: Maka karena kenikmatan yang telah kalian dapatkan dari mereka “sampai batas waktu tertentu.[53] Maka berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban.

Dasar yang dijadikan pijakan pemahaman Syiah tentang tambahan kalimat ini: Bahwa istimta’ (mengambil kenikmatan) dalam waktu tertentu (ajal musamma) itu disebut mut’ah. Singkatnya, ayat ini –menurut Syiah- telah menunjukkan dihalalkannya mut’ah.

Selain itu ayat ini tidak dalam rangka menetapkan hukum yang baru, tetapi menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslimin dari kalangan Sahabat-Sahabat Nabi Saw dan membimbing mereka kepada apa yang harus dilakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Karena itu, Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: استمتعتم, dan ini merupakan bukti kuat bahwa para Sahabat sejatinya telah mempraktikkan nikah mut’ah.[54]

Menjawab tentang qirā’ah Ibnu Mas’ud dan yang lainnya, Imam Nawawi menyebutnya sebagai qirā’ah syādzah[55]. Artinya, bacaan itu cacat karena berbeda dengan yang telah disepakati Jumhur Ulama’. Selain itu, tidak ada yang meriwayatkan qiraah tersebut dari Nabi Saw kecuali sangat jarang dan itupun hanya sebatas pemahaman atau pendapat pribadi Sahabat yang dalam ucapannya menggunakan lafazhnya sendiri.[56] Padahal telah maklum, bahwa secara prinsip, pendapat Sahabat itu tidak bisa dijadikan hujjah.[57] Imam At-Thabari juga berpendapat, bahwa ayat tersebut bertentangan dengan yang tertulis dalam mushaf yang selama ini digunakan oleh kaum Muslimin. Sehingga tidak boleh bagi siapapun memberi tambahan ataupun pengurangan selama tidak ada riwayat yang qath’i dan mutawatir.[58] Al-Maziri juga menambahkan dalam Al-Mu’allim bahwa qira’at Ibnu Mas’ud itu adalah cacat, sehingga tidak boleh dijadikan hujjah.[59]

Selain itu, kata إلى أجل مسمى terdiri dari jār dan majrūr yang berkaitan dengan istimtā’, bukan terkait dengan akad mut’ah itu sendiri. Padahal, sangat jelas bahwa adanya ketentuan waktu dalam mut’ah itu berkaitan dengan akad bukan pada istimtā’.[60] Jelaslah bahwa tambahan kalimat dalam ayat tersebut terdapat kerancuan, karena ada kontradiksi antara makna ayat secara lahiriah dengan pengertian mut’ah itu sendiri.

Jika memang ayat di atas konteksnya adalah mut’ah, mengapa ketika Umar Ra di atas mimbar dan menyampaikan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan sampai hari Kiamat, tidak ada satu Sahabatpun yang menyanggahnya. Mestinya, dari golongan Syiah memprotes ketika itu juga, begitu juga Ali Ra -yang mereka anggap sebagai Imam-[61] pasti tidak akan tinggal diam jika ada yang salah dalam menerapkan syariat.

Turunnya surat An-Nisa’ ayat 24 jika ditelusuri, merupakah bagian dari ayat-ayat  lainnya, yang menerangkan tentang wanita-wanita yang halal maupun haram untuk dinikahi.[62] Meskipun, menurut Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya,[63] ayat ini memiliki makna yang umum, sehingga bisa juga dijadikan hujjah untuk nikah mut’ah. Namun terlepas dari masalah umum dan tidaknya ayat itu, kita dapat melihat bahwa perempuan yang dimut’ah itu,  dalam pandangan Syiah, tidak dianggap sebagai salah satu dari istri yang empat dalam nikah permanen. Hal itu dikarenakan tidak ada talak dan tidak saling mewarisi, dia hanyalah wanita sewaan (musta’jarah).[64] Jadi, sangat tidak sinkron jika ayat ini dikatakan sebagai ayat mut’ah, karena tidak ada korelasi dengan wanita yang halal dan yang haram untuk dinikahi.

b) Syiah ber-hujjah dengan perkataan Sayyidina Ali Ra.

Menurut  Syiah, Ali menolak pengharaman mut’ah. Buktinya, dalam sebuah riwayat beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang hukum mut’ah, jawabnya:

“Sesungguhnya Ali berkata bahwa kalau saja Umar tidak melarang mut’ah, maka tidak akan ada orang berbuat zina.”[65].

Perkataan Ali ini seakan-akan menyatakan tidak setuju dengan dilarangnya mut’ah oleh Umar. Karena, dengan mut’ah itu orang-orang terhindar dari perbuatan zina.

Apakah Ali benar-benar mengatakan demikian? Mari kita lihat sanad dari Hadits tersebut. Yang meriwayatkan Hadits tersebut adalah Hakam bin ‘Utbah. Menurut Imam Ibn Hibban, dia telah berbohong dan tidak jelas apakah Hadits itu berasal dari Ali, karena sanadnya terputus. Sedangkan dia sendiri tidak mungkin bertemu dengan Ali karena hidup dalam waktu yang berbeda. Dia lahir pada tahun 47 atau 50 H, sedangkan Ali Ra wafat pada 40 H. Jelaslah, bahwa riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah.[66]

Selain itu, tidak satu pendapatpun dari Ahlu Bait yang meriwayatkan tentang dibolehkannya mut’ah selain di atas tadi yang notabene-nya dha’if. Bahkan secara ijma’ Ahli Bait telah mengharamkannya. Seperti disebutkan dalam Shahih Bukhari, bahwa Ali Ra pernah mengingatkan Ibnu Abbas Ra yang bersikap “lunak” dalam  masalah mut’ah, dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah melarangnya.[67]

Begitulah usaha Syiah dalam mendapatkan dalil penghalalan mut’ah. Mereka membuat riwayat dari Ali Ra padahal beliau sendiri melarang mut’ah secara keras.

c) Syiah ber-hujjah dengan riwayat Ibnu Umar yang telah diubah.

Untuk mendapatkan dalil yang kuat dalam penghalalan mut’ah, banyak cara dilakukan oleh Syiah meskipun harus berbohong. Hal ini terlihat dari Hadits yang mereka gunakan, salah satunya adalah Hadits Ibnu Umar, di mana Ibnu Umar pernah ditanya tentang hukum nikah mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa hal itu dibolehkan.[68] Padahal dalam Jāmi’ at-Turmudhi, Imam At-Tirmidhi berkata bahwa Ibnu Umar tidak ditanya tentang nikah mut’ah, akan tetapi tentang Mut’atul Hajj (Haji Tamattu’).[69] Bagaimana mereka begitu berani mengubah nash, bukankah itu sebuah kebohongan yang jelas dan nyata? Dalam Mushannif Abdurrozak juga ada riwayat tentang Ibnu Abbas, yang dijadikan dalil penghalalan mut’ah oleh Syiah.[70] Tapi dalam hal ini ada tiga pendapat[71]:

Pertama, membolehkannya secara mutlak. Disebutkan dari ‘Atha’, beliau mendengar Ibnu Abbas Ra berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan.[72] Kedua, membolehkannya dalam keadaan darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau. Di antaranya lagi riwayat dari Ubaidillah,[73] bahwa Abdullah bin Abbas berfatwa tentang mut’ah. Karenanya, para ahli ilmu mencelanya, akan tetapi beliau bergeming pada pendapatnya, hingga para ahli syair melantunkan syair tentang fatwanya:

Wahai kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu ‘Abbas?

Apakah engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …

Maka berkatalah Ibnu Abbas: “Bukan itu yang aku maksud, dan bukan begitu yang aku fatwakan. Sesungguhnya mut’ah tidak halal, kecuali

bagi yang terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan

bangkai, darah dan daging babi”.

Ketiga, melarangnya secara mutlak, akan tetapi riwayat ini lemah karena salah satu sanadnya ada Musa bin ‘Ubaidah. Beliau dianggap oleh ahli rijal lemah (Dha’if).[74]

Dari tiga pendapat ini, pendapat pertama yang diambil oleh Syiah. Namun, yang menjadi pertanyaan kita (Sunni), mengapa mereka mengambil riwayat dari Ibnu Abbas Ra yang sangat mereka benci, termasuk kepada Umar Ra, Aisyah, Abu Hurairah dan lain-lainnya. Bahkan dalam salah satu ungkapannya mereka mengatakan bahwa para Sahabat itu (derajatnya) tidak lebih dari sayap nyamuk.[75]

Tanggapan para Ulama Sunni terhadap Fatwa Ibnu Abbas Ra

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Umar menanggapi pendapat Ibnu Abbas itu, bahwa tidak mungkin dia memberi keringanan terhadap mut’ah. Bahkan dia (Ibnu Umar) berani bersumpah atas nama Allah SWT untuk meyakinkan bahwa Ibnu Abbas  tidak melakukan (memberi keringanan mut’ah) itu. Menurutnya, jika dia berani mengatakan itu pada masa Umar Ra sehingga orang-orang melakukan mut’ah, pasti beliau akan menghukumnya karena mut’ah itu tidak lain adalah zina.[76]

Sementara tanggapan Khattabi, pembolehan Ibnu Abbas akan nikah mut’ah itu adalah bagi orang yang terdesak, atau karena terlalu lama membujang atau karena tidak mampu. Akan tetapi beliau akhirnya mencabut fatwa itu dikarenakan banyak yang melakukan praktik mut’ah ini secara serampangan, lalu beliau bertobat.[77] Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu al-Qayyim Al-Jauzi.[78] Sedangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa kalangan ulama menilai bahwa fatwa Ibnu Abbas dalam masalah mut’ah merupakan satu-satunya fatwa yang mengatakan boleh.[79]

Di sinilah perbedaan antara Syiah dan Sunni. Mereka banyak melakukan manipulasi terhadap periwayatan Hadits. Apakah hal itu dilakukan semata-mata untuk agama, atau sekadar mencari legitimasi guna menuruti hawa nafsu mereka? Sebenarnya, tidak sulit untuk membantah argumen-argumen Syiah dalam masalah nikah mut’ah.  Selain karena dangkalnya landasan argumentasi mereka, juga karena sesuatu yang bathil meskipun ditutupi dengan serapat-rapatnya, akan tercium juga kelak bau busuknya.

a) Syiah berargumen dibolehkannya mut’ah adalah qath’i, sementara pelarangannya adalah

Penghalalan nikah mut’ah pada awal Islam adalah suatu yang mujma’ ‘alaih (disepakati). Baik Syiah maupun Sunni telah sepakat akan hal itu, sehingga sifatnya adalah qath’i. Sementara, menurut Syiah, pengharamannya sampai sekarang masih terjadi ikhtilaf dan berarti zhanni. Sesuatu yang qat’i tidak bisa dihapus dengan zhanni.[80]

Jika memang benar pendapat mereka itu, bukankah dulu umat Islam pernah disuruh shalat menghadap ke Bait al-Maqdis dan ini qath’i,  lalu hukum itu dihapus dengan perintah menghadap ke arah Ka’bah. Jadi sesuatu yang qath’i bukan berarti tidak bisa di-nasakh. Apalagi dalam nikah mut’ah, banyak riwayat shahih yang telah menyebutkan pengharamannya,[81] sebagaimana yang akan penulis paparkan nanti. Selain dari itu, dalam nikah mut’ah yang dipermasalahkan bukan hukum asal penghalalannya melainkan hukum keberlangsungannya yakni setelah pernah dihalalkan itu sampai sekarang. Jika menurut Syiah pengharamannya adalah zhanni, maka keberlangsungan hukum halal itupun juga zhanni. Sehingga hukum yang zhanni bisa di-naskh dengan yang zhanni pula. Dalam hal ini, keberlangsungan hukum halal itu yang di-nasakh (hapus).[82]  

f. Dalil-dalil Pengharaman Nikah Mut’ah

Banyak dalil yang menerangkan dilarangnya nikah mut’ah, baik dari Al-Quran maupun dari Al-Hadits bahkan terdapat juga dalam kitab Syiah sendiri, berikut rinciannya:

a) Dalil pengharaman Mut’ah dari kitab mereka sendiri.

Sebenarnya, dalam kitab marja’ Syiah sendiri terdapat riwayat yang melarang mut’ah itu. Bahkan matan Hadits yang digunakannya sama dengan yang dipakai dalam riwayat Hadits Sunni. Sebagaimana tercantum dalam kitab Tahdhību al-Ahkām, dengan sanadnya dari Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali ‘alaihi as-salam berkata: “Rasulullah Saw mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.” [83]

Semua perawi Hadits itu tsiqah ditinjau dari literatur Syiah sendiri:

Muhammad bin Yahya[84]: Dia adalah tsiqah, An-Najashi mengatakan dalam kitabnya, (no. 946): “Dia adalah guru madzhab kami di zamannya, dia ini tsiqah (tepercaya)”. Abu Ja’far[85] juga tsiqah (terpercaya), lihat juga dalam Al-Mufid min Mu’jam Rijālil al-Hadits.

Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At-Taimi[86], Haditsnya shahih. Lihat juga dalam Al-Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits.

Husein bin Alwan[87] ialah tsiqah (terpercaya). Lihat juga dalam Fa’iqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al-Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits.

‘Amr bin Khalid Al Wasithi[88] adalah thiqah, juga terdapat dalam Mu’jam Rijalil Hadits dan Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.

Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu Ahlul Bait Nabi, jelas thiqah.

Lagi-lagi yang menjadi pertanyaan kita, apakah ulama’ Syiah tidak mengetahui riwayat ini? Atau mereka mengetahui akan tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka? Hadits ini jelas masyhur di kalangan Syiah. Jika tujuannya untuk taqiyyah[89], berarti Syiah benar-benar meremehkan Ali Ra karena dengan begitu telah menganggapnya sebagai orang pengecut karena mengatakan haramnya mut’ah hanya pura-pura. Dan berarti juga bahwa Ali Ra telah berbohong kepada Rasulullah Saw.

Dalil pelarangan mut’ah dari kitab mereka yang lain adalah dalam kitab Ar-Raudh an-Nadhir, yang dikutip oleh Ya’qub Badar al-Qothomi dalam Al-Kafi fī Naqdhi al-Mut’ah, bahwa Ali Ra pernah menegur Ibnu Abbas dengan keras ketika beliau mengatakan mut’ah itu boleh. Ali Ra mengatakan: “………sungguh kamu telah tersesat!”[90] Apakah ucapan yang keras itu juga dianggap taqiyyah oleh Syiah?

Kalau memang nikah mut’ah itu menurut mereka dibolehkan, mengapa hal ini tidak berlaku bagi perempuan dari ulama’ ataupun syekh mereka, baik untuk istri, saudara maupun anak-anak mereka? Bagaimana sebuah hukum agama hanya berlaku untuk satu kalangan, dan tidak berlaku untuk kalangan yang lain? Hal ini dapat dilihat dari sebuah cerita yang tercantum dalam kitab Furū’ al-Kāfī bahwa ketika Abu Ja’far[91] -termasuk yang dianggap Imam mereka- ditanya tentang hukum mut’ah, beliau mengatakan bahwa itu telah ditetapkan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah. Namun ketika beliau ditanya apakah boleh istri-istri beliau, anak-anak perempuannya ataupun saudara perempuannya untuk dimut’ah? Beliau berpaling dan tidak menjawabnya.[92] Hal itu menunjukkan bahwa mut’ah itu tidak berlaku bagi keluarga ulama’ ataupun pembesar mereka.

b) Dalil Pengharaman Mut’ah dari Kalangan Sunni

Secara umum, para ulama’ dari kalangan Sunni sepakat bahwa nikah mut’ah telah diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya sampai hari Kiamat. Meskipun ulama’ Ahlu Sunnah tidak mengingkari bahwa pada awal Islam nikah mut’ah pernah dihalalkan. Satu-satunya riwayat yang membolehkan adalah Ibnu Abbas Ra namun itu tidak bisa dijadikan pedoman karena lemahnya riwayat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Atau, Ibnu Abbas sendiri telah mencabut pendapatnya tersebut karena melihat banyak yang melakukan praktik mut’ah ini secara serampangan.

Dalam Al-Quran terdapat ayat yang konteksnya adalah perintah menjaga kemaluan, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Ma’ārij ayat 29-31.

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”[93]

Ayat ini menyebutkan bahwa kemaluan hanya halal bagi istri-istri mereka, dan tidak termasuk pasangan mut’ah, karena perempuan mut’ah tidak termasuk dalam kategori tersebut, akan tetapi hanya sebatas sewaan.[94]

Riwayat yang paling kuat kesahihannya adalah yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, yang disandarkan kepada Sayyidina Ali Ra bahwa Rasulullah Saw telah melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai peliharaan[95]. Pertanyaannya, mengapa ulama-ulama Syiah tidak memakai Hadits ini? Bukankah Ali Ra itu Imam pertama mereka yang ma’shum? Kenapa ada pengingkaran terhadap riwayat dari Imam mereka? Di mana letak loyalitas mereka kepada Imam-nya? Jika alasannya karena tidak mendengar riwayat ini, bukankah sekarang sudah banyak yang menyampaikan? Jika tujuannya adalah taqiyyah, pertanyaannya, kepada siapa mereka ber-taqiyyah? Jika penghalalan mut’ah itu ternyata tidak berlaku dengan berbagai alasan, bagaimana dengan daging keledai yang penyebutannya bersamaan dengan mut’ah? Mestinya hukum pengharamannya juga tidak berlaku sebagaimana hukum yang ada pada mut’ah. Namun tidak ada juga keterangan atau riwayat yang menyanggah hukum daging keledai tersebut.

Dalil pelarangan mut’ah yang lain adalah riwayat dari Ibnu Umar Ra bahwa Sayyidina Umar bin Khattab Ra dalam pidatonya mengatakan:

“….Demi Allah, saya tidak melihat seseorang melakukan mut’ah sedang ia adalah muhshan, kecuali aku akan merajamnya…” (HR Imam Ibn Majah).[96]

Sebagai catatan, tidak ada satu Sahabatpun yang memprotes Umar Ra ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa pelarangan mut’ah itu bukan dari diri Umar Ra melainkan menyampaikan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Berbeda dengan mut’ah haji, beberapa Sahabat memprotes Umar Ra ketika menyebut bahwa mut’ah haji juga dilarang, karena Rasulullah Saw pernah melakukan.[97]

Pengharaman mut’ah ini juga disebutkan dalam Musnad Ibn Hanbal, bahwa Rasulullah Saw pernah mengatakan dalam pidatonya:

“Wahai manusia, sesungguhnya aku pernah membolehkan mut’ah kepada wanita, tahukah kalian bahwa Allah SWT telah melarangnya sampai hari Kiamat….”.

Mari kita lihat Rijāl Hadits ini, mereka adalah Waki’, Abdul Aziz, Robi’ dan Sabroh Al-Juhani, semuanya tsiqah (terpercaya) dan Imam Muslim mengambil Hadits dari mereka kecuali Robi’ dan Sabroh, Imam Bukhari tidak mengambilnya.[98] Namun Hadits ini sudah dapat dikategorikan shahih, karena masih banyak riwayat lain yang menerangkan tentang diharamkannya mut’ah.

g. Dampak Nikah Mut’ah

Jika nikah mut’ah banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat, maka masalah besar yang akan muncul adalah lahirnya bayi-bayi yang tidak jelas statusnya. Hal ini dikarenakan mereka terlahir  dari pernikahan yang tidak sah, sebagaimana bayi yang terlahir dari luar pernikahan. Tidak berhenti di situ saja, masalahnya justru akan selalu bertambah banyak. Tanpa seorang ayah sebagai figur dalam keluarga, masa depan anak secara psikologis akan terganggu, dan hal ini bisa mempengaruhi kepribadiannya secara negatif.

Di segi yang lain, anak hasil mut’ah tidak punya hak atas harta warisan dari siapapun. Karena tidak adanya garis nasab yang sah yang dia miliki. Selanjutnya, jika jenis kelamin bayi itu perempuan berarti dia tidak punya wali ketika ingin menikah. Padahal keberadaan wali bagi pengantin wanita merupakan rukun dalam pernikahan. Ketidak-beradaan wali menyebabkan tidak sahnya pernikahan, dan jika tetap dilakukan berarti hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan juga dianggap tidak sah.

Kemungkinan besar lain yang bisa terjadi akibat mut’ah adalah anak yang dilahirkan akan melakukan hubungan dengan orang tua biologisnya, baik kepada bapaknya maupun kepada ibunya sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena, terlalu seringnya berganti-ganti pasangan mut’ah dan berkali-kali melakukannya, sehingga bercampur-aduklah antara wanita-wanita yang di-mut’ah dan anak-anak yang dihasilkannya dari mut’ah.

Singkatnya, cukuplah seseorang itu memahami bahwa madharat dan manfaat nikah mut’ah itu lebih besar mudharatnya, sehingga terlepas dari hukum halal dan haramnya, dia akan selalu menjauhi nikah mut’ah. Setiap hati nurani kita pasti sama, tidak rela jika salah satu keluarga kita dinikahi secara mut’ah, sebesar apapun pahala dan kemuliaan yang ditawarkan kepada kita. Hal ini menunjukkan bahwa hati kita selalu jujur dalam menerima mana yang haq dan mana yang bathil. Makanya, ketika Syiah berusaha mencari pengesahan hukum mut’ah, sebenarnya mereka telah mengkhianati hatinya sendiri. Hal ini tercermin dari sikap beberapa ulama’ mereka ketika perempuan dari keluarganya ingin dinikahi secara mut’ah, mereka tidak merelakannya.

Dalam nikah mut’ah, begitu ketentuan waktunya habis, pihak laki-laki tidak wajib menafkahi bekas perempuannya yang dimut’ah, begitu juga terhadap anak-anak yang dilahirkan. Jika demikian, berarti mut’ah bisa menimbulkan gejala kemiskinan. Dari situ akan muncul kebodohan dan selanjutnya kekufuran.

Jika kita bandingkan dengan nikah hakiki, di sana terdapat tujuan yang sangat mulia bagi yang menjalaninya, yaitu membina rumah tangga yang langgeng, mendapatkan keturunan  yang baik dan menambah kuat ikatan antar-kelurga. Hal ini bertolak belakang dengan nikah mut’ah yang nihil akan semua itu kecuali terpenuhinya hasrat sex yang dibungkus dengan kain pernikahan.

h. Penutup

Dari pemaparan yang singkat ini, dapat disimpulkan, bahwa –sesuai dengan ijma’ ulama’ Ahlu Sunnah- nikah mut’ah telah diharamkan oleh Allah SWT sampai hari Kiamat. Hal ini didasari oleh Nas dari Al-Quran  maupun Al-Hadits yang shahih. Sementara, pandangan Syiah tentang nikah mut’ah dapat terbantahkan karena hanya bersandarkan kepada fatwa-fatwa ulama’nya dan Hadits-Hadits yang dhaif bahkan palsu. Meskipun mereka juga beralasan, mut’ah bisa menjadi solusi untuk menghindari perzinaan, akan tetapi justru bisa menimbulkan permasalahan baru dalam agama, dan juga dalam kehidupan sosial.

Nikah secara Islami adalah solusi paling utama untuk menghindarkan seseorang dari perzinaan. Bukan itu saja, barang siapa yang telah menikah, berarti telah membangun sebuah pondasi rumah tangga dengan penuh cinta dan kasih sayang sebagai jalan menuju ridha Allah SWT. Sehingga, bukan sekadar kebahagiaan dunia yang dia dapat tetapi juga kebahagiaan akhirat yang kekal dan abadi. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Catatan Kaki:

[1]     Lihat Hasan Yusuf al-Muthahhir al-Hilly, Tahdzīb al-wushūl ila ilmi al-ushūl, (Tehran: Dar al-Khilafah, 1326 H) hal. 70; Prof. Dr. Ahmad as-Saluts, Ma’a as-Syī’ah al-Itsnā Asyariyah fī al-Ushūl wa al-furū, Vol.IV (Mesir: Dar at-Taqwa, cet. I, 1997), hal 21-25

[2]     Lihat lebih terperinci, Ahmad as-Saluts, ibid, Vol. IV.

[3]     ibid.

[4]     Muhammad Abdurrahman Syamilah al-Abdal, Nikāh al-Mut’ah Dirāsah wa at-Tahqīq, (Damaskus: Muassasah al-Khafiqain wa Maktabatuha, Cet. I, 1983), hlm. 293.

[5]     Hal ini dapat dilihat dari dalil yang mereka gunakan, yaitu perkataan Ali ra: “Kalau saja Umar tidak melarang  mut’ah, tidak ada orang berbuat zina kecuali sedikit”. Lihat: (Tahdhīb al-Ahkām, jz.VII), hlm. 250.

[6]     Al-Mirza An-Nauri, Mustadrak al-Wasā’il, (t.k: t.p, Cet. II, 1988), Jz. XIV, hlm. 452, no. 17257.

[7]     As-Shaduq Abu Ja’far, Man lā Yahdhuru al-Faqīh, (www.Ghaemiyeh.com, Markazu al-Qaimiyyah bi Ashfahan lit-Tahriyyat al-Combiuteriyah), Jz. III, hlm. 346, no. 4613.

[8]     http://shiaweb.org/books/llah_llhaq_2/pa13.html.

[9]     Khusus tulisan “Kritik atas Pandangan Syī’ah tentang Nikah Mut’ah” ini, penulisnya adalah Agus Yasin seperti yang telah dijelaskan di Kata Pengantar buku ini.

[10]    As-Sakhowi, Al-Maqāshid al-Hasanah fī ma Isytahara ‘alā al-Sinah, (Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut:  Cet. IV, 2002), hlm. 355, No. 1046.

[11]    Ahmad Sarwat, Fiqh al-Hayati, (DU. Publishing, 2011), hlm. 186.

[12]    Muhammad Abdurrahman Syamilah al-Abdal, Nikāh al-Mut’ah Dirāsah wa at-Tahqīq, (Damaskus: Muassasah al-Khafiqain wa Maktabatuha, Cet. I, 1983), hlm. 293.

[13] Hal ini dapat dilihat dari dalil yang mereka gunakan, yaitu perkataan Ali Ra: “Kalau saja Umar tidak melarang  mut’ah, tidak ada orang berbuat zina kecuali sedikit”. Lihat: (Tahdhīb  al-Ahkām, jz.VII), hlm. 250.

[14] Al-Mirza An-Nauri, Mustadrak al-Wasā’il, (t.k: t.p, Cet. II, 1988), Jz. XIV, hlm. 452, no. 17257.

[15] As}-Shaduq Abu Ja’far, Man lā Yahdhuru al-Faqīh, (www.Ghaemiyeh.com, Markazu al-Qaimiyyah bi Ashfahan lit-Tahriyyat al-Combiuteriyah), Jz. III, hlm. 346, no. 4613.

[16] Ahmad bin Yusuf, Az-Zuwāj al-‘Urfi, (Riyadh: Daru al-‘Ashimah, Cet. I, 2005), hlm. 110.

[17] Al-Mu’jam al-Wasīth, (Kairo: Maktabah al-Shuruq ad-Dauliyya, Cet.IV, 2004)

[18] Ahmad Sarwat, Fiqh al-Hayati, (DU. Publishing, Cet. I, 2011),  hlm. 176.

[19] Ya’qub Badr ‘Abdul Wahab al-Qothomi, Al-Kāfī fī Naqdhi al-Mut’ah; Zuwāju al-Mut’ah am Rawāju al-Mut’ah,  (Madinah al-Munawwarah, t.p, 1427), hlm. 2.

[20] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera, Cet.VIII, 2002),  hlm. 394.

[21] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pedapat para Ulama, (Bandung: Karisma, Cet.I, 2008), hlm. 42.

[22] Ahmad Sarwat, Fiqh al-Hayati, hlm. 176

[23] Ahmad Sarwat, Fiqh al-Hayati, Ibid, hlm. 177

[24] QS Al-Baqarah 241

[25] Muhammad Ya’kub Al-Kulaini, Furū’ al-Kāfī, (Beirut: Daru al-Ta’aruf lil Mathbu’at, 1993), hlm. 3/461.

[26] Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, ibid, hlm. 311.

[27] Al-Kulaini, Furū’ al-Kāfī, ibid, Jz. III, hlm. 462.

[28] Ibid, hlm. 466.

[29] Ibid, hlm. 461.

[30] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, ibid, hlm. 364-365

[31] Al-Kulaini, Furu al-Kāfī, ibid, hlm. 3/457.

[32] Teuku Edy Faisal Rusydi, Pengesahan Kawin Kontrak, Pandangan Sunni & Syī’ah, (Yogyakarta: Pilar Media, Cet. I, 2007), hlm. 54.

[33] Lihat, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, hlm. 394.

[34] Lihat Furū’ al-Kāfī, hlm. 3/464. Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, ibid, hlm. 394.

[35] Abu Ja’far bin Hasan at-Thusi, al-Istibshār fī ma Ikhtalafa min al-Akhbār, (t.k: t.p., t.t, Cet.II, 1992), hlm. 3/209.

[36] Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, hlm. 346, lihat juga al-Istibshār, hlm. 211.

[37] Lihat Furū’ al-Kāfī, ibid, jz. III, hlm. 465.

[38] Hasan at-Thusi, al-Istibshār, ibid, jz. III, hlm. 213-214.

[39] Fajrul al-Islam, 276-278, dalam Agus Hasan Bashari, Gen Shi’ah, (Darul Falah-Jaktim, Cet. I, 2001), hlm. 87.

[40] Al-Mazindrani, Syarh Jāmi’ ‘alā Al-Kāfī, dalam Agus Hasan Bashari, Gen Shi’ah, hlm. 90.

[41] Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihār al-Anwār, (Beirut: Daru Ihya’i al-Turath al-‘Araby, Cet. III, 1983), hlm. 25/191. Ma’shum  menurut Syī’ah Rafidhah Imamiyah merupakan salah satu syarat Imamah sekaligus salah satu prinsip utama dalam eksistensi ideologinya. Kemaksuman memiliki arti yang sangat penting bagi mereka. Di samping mengalamatkan beberapa sifat serta kapasitas keilmuan luar biasa dan tidak terbatas kepada para Imam, Syī’ah Imamiyyah berpendapat seorang Imam tidak bertanggung jawab kepada siapapun dan tidak ada cela untuk menyalahkan sikap dan kebijakannnya. Semua kebijakan yang diambil dan tindakan apapun yang dilakukan harus diyakini kebenarannya, baik ataupun buruk, benar ataupun salah. Sebab, seorang Imam mempunyai ilmu luar biasa yang tidak dimiliki seorangpun. Lihat Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Syī’ah dalam Timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 182.

[42] http://ar.rohani.ir/istefta-797.htm, Jum’at, 29 Muharram 1434 H.

[43] Al-Khu’i, Maniyyatu as-Sāil, (t.k: t.p., 1991), hlm. 101, lihat juga situs: http://www.alseraj.net/maktaba/kotob/feqh/serat1/html/bo/ sirat/1/index.htm

[44] Al-Mirza An-Nauri, Mustadrak al-Wasā’il, (t.k: t.p., Cet. II, 1998), Bab: Kitab Nikah, hlm. 114/452, No. 17257.

[45] Ibid, no. 17259

[46] Ibid, No. 17258

[47] Muhammad At-Thusi, Tahdhīb al-Ahkām, (t.k: t.p, Cet. IV, 1364), hlm. 6/256, No. 1106.

[48] Ash-Shaduq Abu Ja’far, Man lā Yahdhuruhu al-Faqīh, (www.alhassanain.com), hlm. 3/466, no. 4613.

[49] Al-Kulaini, Furū’ al-Kāfī, hlm. 3/468.

[50] Ali Al-Sistani, Minhāj as-Shālihīn, (t.k: t.p., t.t), jz. III, hlm. 82, dikutip dari www.shia.com, masalah 260.

[51] Al-Kulaini, Furū’ al-Kāfī, jz. III, hlm. 468.

[52] QS An-Nisa’ 24.

[53] Lihat Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Daru al-Kutub al-‘Ilmiah, Beirut:  Cet. I, 1998), jz. 2, hlm. 226.

[54] (1) Furū’ al-Kāfī, jz. 3, hlm. 455, (2) Al-Istibshār, jz. 3, hlm. 201, (3) Man lā Yahdhuruhu al-Faqih, jz.III, hlm. 460, (4) lihat juga http://syiahi.wordpress.com/2012/04/05/nikah-mutah-jelas-dilakukan –di-zaman-Rasulullah-saw-zaman-abu-bakar-dan-sebagian-di-zaman-umar/

[55] Lihat Maktabah Shamilah, Sharh Muslim li An-Nawawi, (179/9) Bab Nikāh al-Mut’ah. (qirā’ah syādzah artinya bacaan yang menyimpang)

[56] Ahmad Haris Suhaimi, Tautsiqu as-Sunnah Baina as-Syī’ah al-Imāmiyyah wa Ahli as-Sunnah fī Ahkām  al-Imāmah wa nikāh al-Mut’ah, (Kairo: Daru as-Salam, Cet. I, 2003), hlm. 498.

[57] Ibid, hlm. 498.

[58] Maktabah Syamilah, Tafsīr At-Thabari, 8/179 (Sesuai dengan edisi cetak)

[59] Dikutip dari Al-Mu’allim bi Fawāidi al-Muslim, (2/130),  dalam Yusuf Jabir Al-Muhammadi, Tahrimu al-Mut’ah fī Al-Kitāb wa As-Sunnah, (t.k: t.p., Cet. I, 1997), hlm. 114.

[60] Ahmad Haris Suhaimi, Tautsiqu as-Sunnah, hlm. 499.

[61] Ibid, hlm. 499.

[62] Lihat Muhammad Malullah, dalam As-Syī’ah wa al-Mut’ah, (Daru As-Shahwah al-Islamiyh, Cet. II),  hlm.106.

[63] Lihat Ibnu Katsir, Tafsīr Al-Qur’ān al-Azhīm, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, Cet. I, 1998), jz. II, hlm. 226.

[64] Abu Ja’far Muhammad bin Hasan at-Thusi, Al-Istibshār fī mā Ikhtalafa min al-Akhbār, (Darul Adhwa’, Cet. II , 1992), juz. III, hlm. 209.

[65] Yusuf Jabir Al-Muhammadi, Tahrīmu al-Mut’ah fī Al-Kitāb wa as-Sunnah, (t.k: t.p, Cet. I, 1997), hlm. 191.

[66] Lihat Ya’qub Badar ‘Abdul Wahab Al-Qathami, Al-Kāfī ….,  hlm. 21.

[67] Shahih Al-Bukhari, No. 4748.

[68] Al-Hilly, Nahju al-Haqqi wa Kashfu ash-Shidqi, (1421), hlm. 283.

[69] Muhammad ‘Isa At-Turmudzi, Jāmi’ At-Turmudhi, (Beirut: Dar al-Turath al-‘Arabi, Cet. I, t.t), hlm. 318, no. 752.

[70] Abdu al-Razzaq as-Shina’i,  Musannif ‘Abdurrozzaq, (Al-Maktab Al-Islami, Cet. II), hlm. 2413, no. 13621.

[71] Mushthafa al-‘Adawi, Jāmi’ Ahkāmi an-Nisā’, (t.k: Daru al-Sunnah, Jld. III, t.t), hlm.195.

[72] Mushannaf ‘Abdurrozzaq, hlm. 2413, no. 13621.

[73] Lihat Shahih Muslim (9/174), dan lihat ucapan Ibnu Abbas yang disebutkan oleh Baihaqi dalam Sunannya.

[74] Muhammad bin Isa At-Tirmidhi, Jāmi’ At-Tirmidhi, (Beirut: Daru Ihya’i al-Turoth al-‘Arabi, Cet. I, t.t.), hlm. 426, no. 1037.

[75] Ahmad Haris Suhaimi, Tautsiqu as-Sunnah, hlm. 501.

[76] Mushthafa al-‘Adawi, Jāmi’ Ahkāmi an-Nisā’, hlm. 199.

[77] Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzi, ‘Aunul Ma’bud-Syarh Sunan Abi Daud, (Maktabah Salafiah bil Madinah al-Munawwarah, Cet. II, t.t), Jz.VI, hlm. 84.

[78] Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzi, Zadu al-Ma’ād fi. Hadyi Khairi al-‘Ibād, (Mu’assasah Ar-Risalah, Cet.III, 1998), Jz. III,  hlm. 305.

[79] Ahmad Ali Ibnu Hajar, Fathu al-Bāri bisyarhi Shahih al-Bukhāri, Tahqiq: Abdul Baqi dan Ibnu Baz, (t.k: Al-Maktabah as-Salafiyah, t.p, t.t), Jz. 9, hlm. 173.

[80] Husein Ali Kasyif al-Ghitha’, Ashlu as-Syī’ah wa Ushuluha, (Darul Adhwa’, Beirut:  Cet. I, 1990), hlm. 197.

[81] Ahmad Haris Suhaimi, Tautsiqu as-Sunnah, ibid, hlm. 500.

[82] Ibid.

[83] Abu Ja’far Muhammad bin Hasan At-Thusi, Tahdhīb  al-Ahkām, Jz. 7, hlm. 252. Lihat juga Al-Istibshār, Jz.3, hlm. 202, no.5/511

[84] Abdurrahman Abdullah Az-Zar’i, Rijāl as-Syī’ah fī al-Mīzān, (t.k: Darul Arqam, t.p., Cet. I, 1983), hlm. 136.

[85] Al-Khu’i, Mu’jam Rijāl al-Hadits, (t.k: t.p., Cet. V, 1992), Jz.XXII, hlm. 87, no. 14.043.

[86] Abu ‘Abbas Ahmad, Rijal Najāshi, (Beirut: Shirkatu al-A’limi lil Mathbuat, Cet. I, 2001), hlm.439, no.1252.

[87] Ibid., hlm. 52, no.116.

[88] Al-Khu’i, Mu’jam Rijāl al-Hadits, (t.k: t.p., Cet. V, 1992), Juz. XIV, hlm. 102, no. 8.909.

[89]Taqiyyah menurut seorang guru besar Syī’ah menuturkan adalah merahasiakan kebenaran, menutupi keyakinan, merahasiakan dari para lawan, tidak menerima bantuan yang bisa merugikan agama atau urusan dunia. Yusuf Al-Bahrani –salah satu pembesar ulama Shyi’ah pada abad ke-12- menuturkan bahwa maksud taqiyyah adalah menampilkan diri pada orang lain seolah sependapat dengan lawan dalam perkara yang dianutnya karena adanya kecemasan. Sementara Khomaeni mengatakan makna taqiyyah adalah hendaknya seseorang mengatakan perkataan yang berbeda dari kenyataan, atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dengan aturan-aturan syari’at, semua ini dilakukan untuk menjaga nyawa, kehormatan, atau harta orang tersebut.

Taqiyyah menurut mereka menempati posisi yang sangat luhur. Al-Kulaini dan yang lain meriwayatkan dari Ja’far Shodiq bahwa ia telah berkata: “Taqiyyah adalah bagian dari agamaku dan agama leluhurku. Tiada iman bagi orang yang tidak memiliki taqiyyah.” (Tashih al-i’tiqad, hlm. 115, Al-Kasykul I/202, Kasyful Asror, hlm. 147, Ushūl Kafi, 2/219 – dikutip Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Shi’ah dalam timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Pustaka al-Kautsar, 2012, hlm. 417-418.

[90] Ya’kub Badar al-Qothomi, Al-Kāfī fī Naqdhi al-Mut’ah, (Madinah, t.p., Cet. I, 2001),  hlm. 16.

[91] Imam Ja’far nama lengkapnya adalah Imam Ja’far bin Muhammad bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abu Thalib. Beliau termasuk orang yang sangat mencintai kakeknya Abu Bakar Ash-Siddiq dan juga Umar bin Khaththab Radhiyallahu `anhu.

Berbeda dengan anggapan kaum Syī’ah, Ja`far malah membenci Rafidhah yang telah menetapkannya sebagai Imam yang ma`sum. Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al Abbas Al Hamdzani bahwa Ja`far bin Muhammad mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah. Dia (Ash Shadiq) berkata: “Sesunggunya kalian insya Allah adalah termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku, `Barangsiapa mengira bahwa aku adalah Imam ma`shum yang wajib ditaati maka aku benar-benar tidak ada sangkut-paut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar maka aku berlepas diri daripadanya` (Siyar `A`lam An Nubala, hlm. 259)

Dikutip dari Mamduh Farhan Al Buhairi, Gen Syī’ah, Sebuah Tinjauan Sejarah Penyimpangan Aqīdah dan Konspirasi Yahudi, (t.k: Darul Falah, t.p., t.h), hlm. 268-269.

[92] Al-Kulaini, Furū’ al-Kāfī, Juz. III, hlm. 456

[93] QS Al-Ma’ārij 29-31.

[94] Al-Kulaini, Furū’ al-Kāfī, juz. III,  hlm. 458.

[95] HR. Al-Bukhari  (3919,4748, 5124) dan Muslim (2518, 2519, 2521, 3588), lihat juga Syekh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Ensiklopedi Larangan, (Bogor, Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, 2005), hlm. 26.

[96] Ibnu Majah Al-Quzuaini, Sunan Ibnu Mājah, (Beirut: Darul Fikr, Cet. I, t.t), hlm. 488, no. 1949.

[97] Muhammad Malullah, As-Syī’ah wal Mut’ah, (t.k: Daru as-Shahwah al-Islami, Cet. I, 1407), hlm. 17

[98] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Daru Ihya’i at-Turath al-‘Araby, Cet. I, t.t), hlm. 3.681, no. 15. 051. Lihat juga dalam Shahih Muslim, No. 2.517

Konten ini telah dimodifikasi pada 08/10/15 | 19:54 19:54

Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...