Topic
Home / Berita / Opini / Radikalisme dan Jurnalisme Islam

Radikalisme dan Jurnalisme Islam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

jurnalistikdakwatuna.com – Belum lama ini, beberapa situs Islam diblokir oleh pemerintah karena isinya diduga “berbau” radikalisme. Dugaan itu entah berdasar atau tidak, yang jelas pemblokiran tersebut mengundang kemarahan dan reaksi keras dari kalangan umat Islam. Mereka menilai, tindakan pemerintah itu terlalu terburu-buru, diskriminatif, dan sarat kepentingan politis.

Sejak bola salju isu ISIS digelindingkan oleh Barat, sedikit-banyak telah merugikan umat Islam. Tidak hanya pengikut dan simpatisan ISIS yang terkena sasaran, tapi mereka yang tidah tahu-menahu, tidak memiliki hubungan, bahkan yang berusaha mendudukkan persoalan ISIS secara adil dan berimbang, dalam hal ini media (situs) Islam malah terkena imbasnya.

Walau jumlahnya masih sedikit, jurnalisme Islam baik berupa media cetak, media elektronik maupun media online sudah ada sejak lama, dan pada dasawarsa terakhir ini semakin berkembang. Tujuan utama dari media-media itu di antaranya dakwah amar ma’ruf nahi munkar, transformasi pengetahuan, memberikan pencerahan, menjunjung tinggi agama Islam dan kaum muslimin, dan menjadi garda terdepan dalam membela umat. Tapi, benarkah dari segi content, jurnalisme Islam bermuatan radikalisme?

Jurnalisme Islam

Salah satu latar belakang munculnya media Islam adalah adanya ketimpangan arus informasi antara Barat dan Timur. Barat telah mendominasi perputaran informasi (berita) di seluruh dunia. Sedangkan Timur (Islam) sekedar konsumen belaka. Terlebih ketika didapati kenyataan bahwa media Barat cenderung mendiskreditkan Islam, memojokkan kaum Muslimin, dan mencitrakan Islam secara diskriminatif dengan berbagai sebutan (label) negatif, serta pada tataran tertentu menganggap Islam sebagai ancaman (threat).

Demikian kuatnya hegemoni Barat dalam hal informasi, membuat berita tak lagi seimbang, tidak adil, memihak, dan sarat kepentingan. Untuk itulah, media Islam hadir untuk memberikan informasi yang benar, adil, dan seimbang. Mampu menyajikan berita secara proporsional, mendudukkan persoalan pada tempatnya, serta meng-counter berbagai isu yang merugikan dirinya. Bukan sekadar sebagai media “pinggiran”.

Terlebih di era teknologi komunikasi dan informasi seperti sekarang ini, di mana serbuan informasi tiada terbendung, dunia semakin sempit dan tanpa batas, dan kebutuhan umat akan informasi semakin tinggi; maka diperlukan jurnalis Islam yang handal dan memiliki daya saing yang kompeten. Termasuk kemampuan membuat “bahasa” jurnalistik yang baik, tepat, dan santun agar informasi dan berita yang disampaikan bisa dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan tersebut media Islam hendaknya memiliki corak pemahanan dengan tanda-tanda berikut ini. Pertama, integratif. Era ini memungkinkan terbukanya informasi dari berbagai sumber. Jika kita membatasi pemahaman Islam kita pada kotak-kotak mazhab yang sempit, kita akan kehilangan kemampuan survival. Kita harus sanggup menggabungkan warisan pemikiran masa lalu, menghadapkannya pada realitas kini, dan mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa mendatang (QS Az-Zumar: 18).

Kedua, dinamis. Islam di era informasi haruslah Islam yang berorientasi ke masa depan. Islam yang mempertahankan status quo akan rentan menghadapi dunia yang berubah dengan cepat. Karena itu, Islam di sini haruslah Islam yang revolusioner, anti-stagnasi, kreatif-inovatif, serta dipandang sebagai ideologi yang mengarahkan perencanaan sosial.

Ketiga, suprarasional. Salah satu gejala manusia era ini adalah kerinduan pada hal-hal yang bersifat mistikal. Yang mistikal memberi pengalaman eksistensial yang tidak formal dan material. Pengalaman mistikal memberikan perspektif rohaniah dalam memandang realitas. Mistikal bukan berarti irasional. Islam yang rasional dan positivistik takkan mampu bertahan pada era informasi yang akan datang (Ar-Ra’d: 11).

Di masa mendatang, jurnalisme Islam cukup prospektif. Respons dan harapan Umat Islam terhadap jurnalistik yang berbaju “Islam” cukup tinggi. Harapan tersebut lahir dari berbagai dorongan yang rumit. Ada karena alasan semakin meningkatnya taraf ekonomi, pendidikan, dan kesadaran keislaman untuk memasyarakatkan Islam dalam segala aspeknya. Alasan lain, belum ada kejelasan sosol jurnalistik Islam pada tataran realitas sosiologis masyarakat Islam itu sendiri.

Yang terpenting, perlunya Jurnalisme Islam telah dikondisikan oleh faktor situasional-temporal yang datang dari luar, yaitu melimpahnya informasi global. Kita yakin, bahwa informasi global tersebut tak mesti dihindari, tapi bagaimana direspons secara positif dan kritis. Menguatnya gelombang isu ISIS dan tuduhan radikalisme pada kelompok tertentu menunjukkan hegemoni Barat atas suatu pemberitaan (wacana).

Isu Radikalisme

Sejak peristiwa 9/11, istilah radikalisme kian mengemuka, dan sayangnya lebih ditujukan kepada umat Islam. Istilah-istilah lain yang sepadan pun disematkan pada Islam, seperti teroris, ekstrimis, fundamentalis, anarkis, dan sejenisnya. Cap-cap negatif dan diskriminatif itu ditujukan kepada mereka yang menentang dan melawan kepentingan Barat di dunia Islam.

Istilah radikal sendiri sudah mengalami degradasi makna. Istilah ini tak jarang ditujukan kepada umat Islam yang membela agamanya karena dilecehkan, membela bangsanya karena ditindas, memperjuangkan keadilan, atau menegakkan kebenaran yang universal. Bahkan, ketika ada media yang ingin mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya serta mendudukkan persoalan secara adil dan proporsional, media itu langsung dituduh telah menyebarkan paham radikalisme.

Sementara Barat yang sering memuat berita yang memihak, tendensius, propaganda, dan cenderung memecah-belah, tidak pernah dianggap sebagai radikal. Bahkan, tak jarang dianggap sebagai “penyelamat” karena mengusung kebebasan dan HAM.

Kalau kita cermati, media Islam yang berbau radikalisme mungkin saja ada, tapi kemungkinan kecil sekali dan itu tidak terlalu sulit untuk diidentifikasi. Demikian halnya dengan media-media radikal dari agama-agama lain di dunia ini, termasuk pula media radikal milik komunis. Pertanyaannya, mengapa hanya media Islam saja yang selalu menjadi perhatian? Padahal, media radikal dari kelompok lain mungkin saja lebih berbahaya.

Itulah hegemoni. Hegemoni Barat atas media massa dunia. Termasuk di dalamnya hegemoni bahasa dan istilah. Kata “jihad” misalnya, oleh Barat sengaja diberikan makna secara sempit dan eksklusif. Bahwa jihad identik dengan perang, identik dengan mati syahid. Inilah yang justru mendorong orang untuk melakukan kekerasan dan tindak radikal, tanpa pertimbangan matang baik dari segi agama maupuan segi sosial.

Tindakan radikalisme bisa jadi merupakan wujud dari perlawanan penindasan, bangkit dari tekanan, penyudutan tak beralasan, mencari “kambing hitam”, dan campur tangan asing dalam berbagai hal. Barat hampir tak pernah melihat sisi-sisi positif revivalisme Islam, seperti yang terjadi di Palestina.

Penutup

Jurnalisme Islam harus berperan sebagai wahana dialog berbagai kekuatan civil society, dan bersama mereka bahu-membahu memperjuangkan ruang hidup yang semakin bebas dari polusi penindasan, polusi kesombongan, dan polusi kebohongan. Jurnalisme Islam juga harus berfungsi mewujudkan idealisme dan komitmen untuk membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Oleh karena itu, kita pun tetap harus cermat dalam memilih media Islam yang kita jadikan rujukan dalam kehidupan kita. Jangan sampai media yang kita pilih justru merugikan kita baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara, apalagi sampai mempengaruhi kita untuk berbuat radikalisme.

Referensi:

  1. Jalaluddin Rakhmat, Dkk. Hegemoni Budaya, Penerbit: Bentang.
  2. Majalah Sabiliku, April 2015
  3. Republika online.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pegiat literasi dan pendiri TBM �Rumah Cahaya� Boyolali. Mulai aktif di dunia kepenulisan dari tahun 2006 ketika bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) Depok. Karya-karyanya berupa artikel, esai, maupun cerpen dimuat di berbagai majalah dan surat kabar lokal maupun nasional. Sudah menulis 5 buku solo dan 8 buku antologi. Selain aktif menulis, juga menjadi pembicara pada berbagai workshop dan training kepenulisan, juri berbagai lomba menulis, pendamping kids writing, narasumber di beberapa radio swasta Islam, termasuk kegiatan yang bersifat sosial seperti pelatihan menulis dan mendongeng untuk yatim-piatu dan kaum dhu�afa. Tahun 2009-2011 dipercaya sebagai Ketua FLP Depok. Tahun 2011-2013 diamanahi sebagai Humas FLP Wilayah Jakarta Raya. Saat ini dipercaya lagi memimpin FLP Soloraya (2013-2015). Selain di FLP, juga aktif di organisasi keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, organisasi nirlaba, komunitas, termasuk mendirikan taman baca (TBM Rumah Cahaya) di rumah sederhananya. Ayah dua anak ini juga menjadi Direktur CV Madina Publika.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization