Topic
Home / Berita / Perjalanan / The Journey Pangandaran-Qatar: Becak, si Kuda Besi

The Journey Pangandaran-Qatar: Becak, si Kuda Besi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Becak (brainly.co.id)
Becak (brainly.co.id)

dakwatuna.com – Hujan mengganas. Aku turun dari bis. Baju seragam basah kuyup. Tas punggungku dipakai melindungi kepala. Aku bernaung bersama orang-orang yang berkumpul di emperan toko. Sesekali orang terlihat lewat memakai payung. Kota Banjarsari seolah mati. Suara geledek menyambar-nyambar memekakan telinga. Angin berkesiur menerbangkan apa saja. Terlihat pepohonan goyah diterkam amukan angin.

Becak! Becak! Becak!!!

Teriak tukang becak menghampiri orang yang berjajar kedinginan di pinggir toko. Musim hujan membawa berkah tersendiri bagi mereka. Di mana ojeg jarang beroperasi. Para tukang becak menawarkan jasanya siapa tau di sore yang dingin rejekinya nomplok. Tak ada jalan lain. Kampungku harus ditempuh sekitar 4 Km dari Kota Nyari ini. Harus melewati pesawahan melalui jalanan yang hancur bergelombang. Seorang Emang becak berperawakan pendek kurus mengenakan ponco dan tutup kepala dari keresek menghampiriku.

‘’Becak, Den?’’

‘’Berapa ongkos ke Batubodas, Mang?’’

‘’Dua belas lima, Den.’’

‘’Wih, mahal banget? Sekalian aja sejuta Mang!’’

‘’Hehehehe,,,,ngeledek ya? Kan musim hujan?’’

‘’Biasanya juga lima ribu. Kok bisa tiga kali lipat?’’

‘’Hujan deras, jadi ngayuhnya juga tiga kali lebih berat.’’

‘’Ah, bisa aja si Emang! Gimana kalau saya yang ngayuh becaknya?’’ Aku balik ngasih tawaran.

‘’Ya udah harga bisa separonya. Hehehehe. Ada-ada aja.’’

‘’Aku yg ngayuh sampe Sindangtawang, ntar gantian ya?’’

‘’Ya nggak apa-apa. Sekalian Emang pulang juga.’’ Tukang becak tersenyum di balik wajahnya yang menua.

‘’Mang, wajah Emang berapaan?’’ Aku muncul sifat tengilnya.

‘’Dua belas lima, dua belas lima,,,,Hehehehehe….Emangnya lagu???’’ Tukang becak terpingkal-pingkal sambil menirukan lagu Hit plesetan ‘’Dua Welas Lima,,,,Dua Welas Lima….’’

‘’Mang, jablay kolot sabarahaan? (Mang, jablay tua berapaan?)’’ Aku nanya lagi.

‘’Dua welas lima,,,,dua welas lima….’’ Emang becak sambil dinyanyikan.

Baru kali itu dalam sejarah transportasi, ada penumpang becak yang duduk di belakang kemudi. Tukang becak masuk. Sehelai plastik putih menutupi kabinnya sebagai penghalang dari percikan air hujan. Orang-orang yang melihat kejadian itu tertawa geli. Baru kali ini ada orang berseragam kerja menjadi tukang becak dadakan.

‘Cuek aja, emang gue pikirin. Sekali-kali ngerasain gimana kerasnya hidup menjadi pengayuh kendaraan roda tiga ini. Hidup harus bisa menyesuaikan. Kadang di bawah kadang di atas. Terkadang jadi penumpang becak, terkadang jadi pengayuh becak. Tukang becak juga manusia. Kenapa harus direndahkan? Mereka mengais rejeki halal. Pekerjaan mengayuh becak lebih mulia dari para koruptor negara. Harusnya para koruptor sialan yang membuat negara jadi miskin itu musti diganjar dengan mengayuh becak dari Anyer ke Panarukan non-stop! Baru tau rasa mereka!’ Gumamku di dalam hati.

Kuterus mengayuh becak sekuat tenaga. Kedua tanganku mengemudikan becak si Emang. Jalannya meleok-leok.

‘’Hei, yang bener dong ngejalaninnya!’’ Tukang becak khawatir becaknya tersungkur.

‘’Tenang aja, Mang! Jam terbangku lumayan cukup tinggi. Hehehehehe.’’ Aku mengusap-ngusap wajahku yang penuh dengan guyuran air hujan.

Jalanan aspal yang sudah rusak lama tak diperbaharui itu terlihat menggenang seperti kolam-kolam ikan. Di bahu jalan berjajar pohon petai China. Beberapa rumah dan tempat penggilingan padi terlewati. Samping kiri-kanan terlihat sawah yang menghijau. Tanaman padi sudah mulai hamil. Sebentar lagi bulir-bulirnya menyembul keluar. Padi terseok-seok tertiup angin puting beliung. Kilat menyambar-nyambar. Cahayanya menyilaukan mata bak blitz kamera Nikon D7000. Awan hitam semakin pekat di ujung Timur. Guntur menggaur. Dari arah berlawanan, sebuah truk besar lewat. Bannya menggilas air genangan di jalan itu. Air terciprat dan mengotori seragamku.

‘’Woi!!!! Punya mata nggak sih loe!’’ Aku teriak sambil mengacungkan kepalan tinju.

‘’Rasain loe jadi orang miskin!’’ Sopir truk nongol dari jendela mobil sambil mencibirkan lidahnya.

‘’Ngeledek ya? Turun kamu!’’ Aku melotot.

Si sopir tak menggubris dan berlalu.

Becak yang dikemudikanku itu oleng. Bannya yang gundul menginjak jalanan yang bolong dan,,,,,

‘’Aduuuuuh!!!!!’’

Becak terjungkir ke parit. Tubuhku serta-merta terlempar ke udara. Si Emang juga terjerambab masuk parit yang berada di bahu jalan sebelah kiri. Roda belakang beca berputar-putar. Aku meringis kesakitan. Tukang becak memegangi kepalanya sambil melotot karena terbentur atap kabin becak.

‘’Gimana sih? Kalo nggak bisa bilang dari tadi kek!’’ Tukang becak mencak-mencak.

‘’Sorry,,,sorry …Mang, jarang marah dong! Udah kena musibah malahan marah gitu…..Udah deh saya bayarin jadi sepuluh ribu perak.’’ Aku meredakan emosi si Emang.

‘’Ya udah, masuk! Itung-itung penglaris!’’ Tukang becak sumringah. Matanya jadi berbinar-binar.

Selang beberapa lama becaknya tiba di Batubodas. Setelah membayar upah, aku melihat rumah gedong yang tertutup daun pintunya.

Tok tok tok!

‘’Assalaamu alaikum!’’ Aku uluk salam

‘’Waalaikum salaam.’’ Suara nenek-nenek dari dalam.’’Aang, kunaon bararaseuh? (Kenapa basah kuyup?)’’.

Aang merupakan sebutan penghormatan anak lelaki sulung di Priangan; artinya Kakak atau Abang.

‘’Kan, hujan Nek?’’

‘’Tapi seragam penuh dengan lumpur?’’ Neneknya sambil menutup daun pintu.

‘’Tadi kecipratan mobil pas naek beca. Woooooww!’’ Mataku membelalak melihat ke ruang pavilyun.

Dilihatnya kuda besi Tornado kini telah kembali bertengger di rumahku. Hujan di luar rumah terus menggila.

‘’Siapa yang nebus motorku dari Pegadaian, Nek? Kapan ditebusnya?’’ Aku kegirangan.

‘’Tadi pagi. Abah jual padi satu ton. Kasihan katanya, Aang kerja nggak punya kendaraan. Udahlah mandi dulu sana. Habis itu makan.’’ Nenekku menyunggingkan senyum.

‘’Abah lagi ke mana emangnya?’’

‘’Dia orangnya keras kepala. Nggak bisa dibilangin. Selepas Zhuhur, Abah pergi ke sungai Cirapuan. Katanya mau nyari ikan. Sampai sekarang belum pulang. Nenek khawatir terjadi apa-apa. Mana hujan gede lagi. Abahmu udah tua.’’ Nenek menarik napas dalam-dalam.

‘’Nggak usah khawatir, Nek. Pasti dia akan pulang. Aang tau persis siapa Abah.’’ Aku sambil membuka membuka seragam.

Selang berapa lama aku masuk kamar mandi membersihkan diri. Nenekku membuat teh tubruk kesenangan cucu kesayangannya. Aku memang dari sedari bayi merah umur 75 hari dirawat di kampung Batubodas. Kedekatan bathin sama kakek-neneknya melebihi keakraban dengan orangtuaku semdiri. Tahun 1978 orang tuaku berkelana di Jakarta. Kebetulan sang kakek hanya memiliki dua anak perempuan, yakni; ibuku dan Kurniasih. Dia sangat mendambakan anak laki-laki. Kala itu, aku lahir di Rawabadak di pertengahan 1980-an. Atas kesepakatan ayahku, akhirnya bayi mungil itu dititipkan di Abah Engkus dan Nenek Wariah untuk dibesarkan. (usb/dakwatuna)

***

Doha, 22 Maret 2013.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Qatar Kepada AS: Palestina Menanti Solusi Politik Yang Adil

Figure
Organization