Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Menyikapi Feminisme

Menyikapi Feminisme

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Perempuan  Mengenakan Jilbab di Parlemen Turki (Foto: bbc.co.uk)
Perempuan Mengenakan Jilbab di Parlemen Turki (Foto: bbc.co.uk)

dakwatuna.com – Tulisan ini ada, karena penulis merasa perlu menyikapi secara adil kehadiran aktivis feminis di kampus tempat penulis menuntut ilmu saat ini. Tulisan ini pun, menjadi respon konstruktif penulis terhadap maraknya keberadaan feminis dilingkungan kampus Jabodetabek yang makin semangat dalam menyebarkan nilai-nilainya. Keberadaan komunitas feminis yang sedang gencar, hadirnya kajian feminis (hingga seminar besar), dan tulisan-tulisan propaganda lainnya; membuat penulis merasa terpanggil untuk menyikapi pemikiran feminis dengan perspektif keislaman.

Berbicara feminism, tidak selalu hal negatif yang bertentangan dengan Islam. Karena semangat feminisme dalam melawan ketertindasan, memang bermanfaat pada beberapa sektor kehidupan. Dalam studi hubungan internasional sendiri misalnya, feminis lah yang aktif dalam melindungi korban pemerkosaan dalam perang, hingga mendorong perempuan untuk turut andil sebagai pengambil kebijakan dalam urusan kenegaraan (hub. Internasional).

Dalam lingkup yang lebih kecil, feminis juga memainkan peran konstruktif seperti melindungi perempuan korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), hingga semangat emansipasi wanita. Tapi ide dari perjuangan feminis adalah mendorong perempuan untuk tampil ke publik.

Sehingga jika kita coba bagi feminis menurut karakteristiknya, kita akan menemukan 2 tipe umum. Pertama ialah feminis empiris/liberal, dan kedua ialah feminis radikal. Feminis liberal berfokus pada jumlah, adapun contoh perjuangannya adalah menambah kuota perempuan di parlemen. Adapun tokoh besar dari feminis empiris adalah Naomi Wolf. Sedangkan feminis radikal, mereka lebih berfokus kepada women on the top. Titik tolak perjuangan mereka mengatakan bahwa, penindasan perempuan akibat dari sistem patriarki. Hal ini juga berkaitan dengan konsep mereka tentang hegemonic discourse of masculinity, bahwa laki-laki terlalu menghegemoni kaum perempuan. Mereka juga berpendapat bahwa fisik perempuan adalah objek utama penindasan. Sehingga feminis radikal banyak membahas tentang hak reproduksi dan seksualitas. Sehingga feminis radikal juga memperjuangkan ide-ide kebebasan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

Feminisme sendiri banyak bertumbuh di negara yang materialistis. Budaya Amerika Serikat yang materialistis misalnya, yang mengukur segala sesuatu dengan materi, dan gaya hidup perempuan yang sangat individualistis; sangat mendukung pertumbuhan feminisme..

Lalu, bagaimana Islam merespon ide pemikiran feminism?

Agama Islam sangat menjunjung tinggi keberadaan perempuan. Bahkan tak sedikit perempuan Islam dambaan umat yang lahir, tak terlepas dari perjuangan pengibaran panji dakwah Islam. Kita mengenal 3 bunda hebat, yaitu bunda khadijah, bunda Asiah, dan bunda Maryam. Ketiganya lahir ke bumi dengan motif perjuangan yang berbeda. Dari bunda Khadijah, kita belajar arti kesetiaan. Karena beliaulah yang setia menemani rasul selama awal perjalanan dakwah. Dari bunda Asiah, kita belajar arti keteguhan Iman. Karena bunda Asiah yang memiliki suami seorang Fir’aun, tidak pernah goyah menegakkan kalimat tauhid, meskipun Firaun selalu memaksakan kehendak. Dari bunda Maryam kita belajar arti ketabahan. Karena ketabahannyalah, beliau ridha menerima cercaan banyak orang. Cercaan yang hadir, karena takdir bunda Maryam yang melahirkan seorang anak tanpa ayah.

Jadi ada hal yang ambigu, ketika penulis mempelajari teori feminis di kelas. Sang pengajar menggunakan percontohan hak istri terhadap suami dalam permisalannya. Seharusnya hal ini tidak boleh dijadikan percontohan, ketika kita mempelajari feminis. Hak istri, kewajiban istri, dan segala hal yang berkaitan dengan Istri tidak sepatutnya masuk perbincangan aktivis feminis. Karena ide dasar feminis sendiri, tidak mengenal konsep pernikahan. Konsep pernikahan ialah konsep agama. Sedangkan feminis ialah sebuah ide yang terlepas dari nilai agama. Dalam feminis tidak ada istilah suami istri. Yang ada hanyalah partner hidup. Sehingga mereka tidak mengakui konsep keluarga. Bahkan penulis pernah membaca sebuah tweet dari seorang aktivis feminis, yang mengatakan bahwa pernikahan adalah kontrak seksual.

Dalam perspektif keislaman ini, penulis mencoba mengcounter ide feminis dari 3 ide utama mereka;

  1. Tidak mengakui pernikahan

Perspektif ini merupakan perspektif yang bias, mengingat feminis sering membahas ranah kekeluargaan, khususnya interaksi antara suami dan istri. Dan jika kita berbicara pernikahan, kita akan menemukan banyak dampak sosial yang positif di dalamnya. Adapun dampak sosial yang dapati dirasakan jika pernikahan dapat dapat berjalan dengan baik adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Karena poin inilah intinya. Apalagi konsep keluarga di Indonesia pada umumnya adalah konsep family extended. Di mana satu orang yang kaya/mampu dalam sebuah keluarga, akan menanggung anggota keluarga lainnya. Sehingga yang terjadi kemudian, ialah adanya pengangguran dan kemiskinan tak terlihat. Karena semua beban keluarga, dipikul oleh satu orang yang kaya tersebut.

Coba kita perhatikan begitu banyak konflik sosial yang dapat diredam dengan adanya keluarga yang lahir dari pernikahan suci. Fenomena anak terlantar, anak putus sekolah, anak bermasalah, hingga anak yang bertindak kriminal; kebanyakan terjadi karena ketidakhadiran para orangtua. Ketidakhadiranpun jangan dimaknai dengan makna sebenarnya. Tapi ketidakhadiran, juga bisa dimaknai sebagai hilangnya perhatian. Hilangnya kasih sayang. Hilangnya sosok keteladanan. Hilangnya pengayom di keluarga. Dan hal-hal penting lainnya, yang hanya didapatkan di dalam lingkungan keluarga. Sehingga kehadiran keluarga ideal seperti itu, hanya bisa lahir dari keluarga yang memiliki pemahaman agama yang baik.

  1. Adanya patriarki

Laki-laki memimpin keluarga, karena itulah yang ideal. Laki-laki memiliki fitrah tersendiri, begitu juga dengan wanita. Dan fitrah wanita yang suka dengan kelembutan, harus diimplementasikan ke dalam aktivitas kehidupan. Bahkan rasul bersabda :

‘Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka sikapilah para wanita dengan baik (HR Bukhari)’

Fenomena perceraian saat ini, banyak terjadi karena kemunculan wanita ‘superpower’. Wanita karir yang memiliki pendapatan tinggi, dan kesibukan yang luar biasa. Pendapatan yang tinggi, bahkan melebihi pendapatan suaminya. Sehingga yang terjadi kemudian ialah, adanya bias kepemimpinan. Karena manusia (perempuan) ketika memegang uang, hidupnya cenderung semakin sulit untuk diatur. Toh, peran suami dalam mencari nafkah sudah dia penuhi. Dan pada akhirnya sang istri melupakan tugas utamanya, yaitu melayani suami dan merawat anak.

Jadi kita salah jika kita mengategorikan pembagian tugas didalam keluarga, dengan istilah patriarki. Tidak ada patriarki. Yang ada hanyalah penyesuaian tugas, yang berkesesuaian dengan fitrah. Fitrah laki-laki sendiri, dan fitrah wanita tersendiri.

  1. Wanita sebagai leader

Ide women on the top, adalah ide perjuangan feminis radikal. Jumlah mereka lebih sedikit jika dibanding dengan feminis liberal. Dalam ranah kepemimpinan, ulama Islam cenderung mengutamakan laki-laki. Dan ini sesuai dengan firman Allah swt ‘Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan’.

Jadi mengapa perempuan sebaiknya dipimpin? Hal ini tidak terlepas dari karakteristik perempuan yang lebih sering mengambil keputusan dari sisi emosional, dibanding sisi rasional. Apalagi wanita cenderung moody, lebih parah lagi ketika sedang datang bulan. Bayangkan urusan 240 juta masyarakat Indonesia, diputuskan oleh seorang wanita yang sedang bad mood. Tentu keputusannya akan tidak tepat. Jadi membicarakan perempuan sebagai pemimpin politik bukan hanya masalah afilisasi politik, tapi juga masalah kapasitas. Jarang sekali perempuan yang memenuhi kriteria yang diinginkan publik. Bahkan di AS, di negara paling demokratis. hingga feminis tumbuh subur di sana. Mereka tidak pernah memiliki presiden perempuan sekalipun. Bahkan politisi ulung sekelas Hillary Clinton pun, kalah tipis dari pendatang baru presiden Barrack Obama.

Begitulah nilai-nilai Islam menjawab bias nilai yang terjadi pada ide feminisme. Karena Islam sendiri sangat menjunjung tinggi peran perempuan. Bahkan rasul saw memberi penekanan akan pentingnya berbakti kepada perempuan (ibu) hingga 3 kali, barulah laki-laki (ayah) disebut kemudian.

Sungguh mulia wanita didalam pandangan Islam. Sungguh indah wanita di dalam naungam Islam. Karena Islam tidak pernah mendiskriminasi gender apapun. Yang ada di dalam Islam hanyalah yang berkesusaian dengan fitrah. Karena jika laki-laki dan perempuan sudah melawan fitrahnya, yang terjadi adalah ketidakteraturan sosial.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.

Lihat Juga

Pernyataan Sikap PP Pemuda PUI Tentang Insiden Pembakaran Bendera Tauhid di Garut

Figure
Organization