Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Merapikan Kualitas Pendidikan Indonesia

Merapikan Kualitas Pendidikan Indonesia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (sman2purworejo.sch.id)
Ilustrasi. (sman2purworejo.sch.id)

dakwatuna.com – Pendidikan saat ini menjadi pintu utama kemajuan sebuah negara. Bahkan Alvin Toffler dalam teorinya menjabarkan, bahwa transformasi penduduk eropa dari era agraria, era industri, hingga sampai ke era informasi; tidak terlepas dari dorongan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbeda dengan sejarah Indonesia saat ini, yang perubahannya lebih didominasi oleh peran sosial budaya. Karena melahirkan intelektual di bumi Indonesia, merupakan perjuangan panjang yang sudah dirintis oleh para pendiri bangsa.

Jumlah penduduk Indonesia yang bisa membaca & menulis di saat kemerdekaan yang baru mencapai 5%, saat ini UNESCO mencatat sudah mencapai 91,4%. Begitupula dengan kehadiran beasiswa yang semakin menaikkan jenjangnya. Janji-janji para politisi yang banyak bermain pada sektor pendidikan, secara perlahan menaikan tingkat beasiswa bagi pelajar Indonesia. Dahulu beasiswa hanya berkutat pada tingkat SD & SMP, saat ini beasiswa sudah banyak dirasakan oleh SMA negeri di beberapa daerah. Fakta sederhana tersebut juga menjelaskan bahwa, terdapat kemajuan yang bersifat silent progress dalam dunia pendidikan Indonesia, yang tidak disadari oleh rakyat Indonesia.

Di dalam sejarah sendiri, kejayaan peradaban selalu dimulai oleh para ulama. Khususnya kejayaan peradaban Islam. Karena sifat peradaban selalu berada di tangan kelompok yang menguasai ilmu pengetahuan. Bahkan jika kita mempelajari sejarah dengan baik, kita akan menemukan banyak sekali ilmuwan ternama. Ada Al-khawarizmi yang menemukan Al-jabar, ada Ibnu Al-Haystam yang menjadi ilmuwan besar fisika, ada Ibnu Hayyam yang menjadi ilmuwan besar kimia, ada Al-Birruni yang menjadi ilmuwan besar matematika, ada Ibnu Rusyd yang menjadi ilmuwan besar filsafat, hingga Ibnu Sina yang menjadi ilmuwan di bidang kedokteran.

Jika ditelaah lebih dalam, secara umum kualitas pendidikan Indonesia bisa kita lihat dari 3 sektor. Yang pertama sektor kurikulum, kedua setor sumber daya, dan terakhir sektor konseptual. Ketiganya memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Sehingga akan lebih mudah mengubahnya, jika ketiga sektor kita derivasi lebih dalam;

  1. Kurikulum

Kurikulum pendidikan kita saat ini, tidak memungkinkan Indonesia untuk bisa bersaing secara global. Hal tersebut bisa dilihat dari parameter;

  1. Muatan Pelajaran yang Tidak Sesuai Dengan Umur. Contoh riilnya ialah para pelajar SD. Mereka sudah diajari berbagai macam pelajaran, termasuk sains dan matematika yang bermuatan tinggi. Padahal belajar dari negara maju yang memiliki kualitas pendidikan baik seperti Jepang dan Finlandia, anak SD kelas 1-3 justru masih disibukkan dengan dunia bermain. Permainan edukatif tentunya. Karena memang kebutuhan psikologis mereka saat itu ialah lebih banyak membutuhkan dunia bermain. Adapun pelajaran yang dipelajari masih berkisar bahasa dan matematika dasar. Sehingga anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan: sukar membaca soal uraian. (Laporan Bank Dunia No. 16369-IND, Greanery, 1992).
  2. Jangka Waktu KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) yang Tidak Efektif. Contoh riilnya ialah masih banyak sekolah yang melaksanakan jam belajar-mengajar dari jam 07.00 pagi hingga jam 16.00 petang. Bukan hanya sekolah SMP dan SMA, fenomena ini juga berlaku untuk beberapa sekolah SD. Jika jangka waktu ini diberlakukan untuk SMP dan SMA, hal ini masih bisa ditoleransi. Tetapi untuk anak SD, hal ini sulit diterima. Mengingat kemampuan fisik dan mental mereka yang tidak terbiasa berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama. Dan ketidakefektifan jam belajar ini, bermuara kepada kegiatan tambahan siswa. Seperti les, kursus, bimbel tambahan. Apalagi untuk siswa tingkatan terakhir, yang ingin melaksanakan ujian nasional. Bimbel sudah seperti ritual wajib yang harus mereka ikuti. Sehingga menjamurnya tempat kursus/les/bimbel, menjadi bukti kongkrit akan ketidakmampuan sekolah memberi pelayanan pendidikan yang baik.

c.Pergantian Kurikulum yang Terlalu Cepat. Reformasi baru berlangsung selama 15 tahun, tapi kurikulum pendidikan sudah berganti 3kali. Pergantian pertama pada tahun 2004, dengan adanya KBK (kurikulum berbasis kompetensi), lalu pada tahun 2006, dengan adanya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan terakhir kurikulum 2013. Seringkali penulis mendapat saran untuk menyimpan buku pelajaran, agar kelak adik-adik di rumah masih bisa menggunakannya. Tapi itulah episode kurikulum masa lalu, yang menganut satu kurikulum dalam jangka waktu yang lama. Saat ini, kurikulum berganti cepat, dan buku pun harus terus-menerus membeli yang baru. Dan tidak jarang buku tersebut dibeli hanya bersifat formalitas, tapi minim penggunaan.

d.Hilangnya Character Building. Selama ini kita sibuk menangani kasus degradasi moral, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tapi kita melupakan akarnya, character building. Kita dibiasakan dengan sistem ujian nasional yang penuh dengan ‘intrik’. Bukan hanya murid dan guru yang bekerjasama dalam menyediakan contekan, tapi beberapa ‘birokrat’ pun masih ada yang terlibat. Sehingga pengikisan integritas sudah menjadi hal yang sistemik di dalam pendidkan Indonesia. Tak heran jika banyak dari anak bangsa kita yang terbiasa belajar menggunakan jalan pintas, ketika memegang jabatan publik, melakukan sebuah tindakan amoral.

  1. Sumberdaya

a.Sumberdaya Manusia: Pengajar dan Pelajar

– Guru di Indonesia belum mendapatkan penghargaan yang layak. Hal tersebut bisa terlihat dari jumlah gaji yang diterima. Di beberapa sekolah, pembayaran gaji terkadang masih telat. Akhirnya profesi mulia seperti guru, sering dijadikan opsi terakhir. Padahal di negara maju, guru merupakan pekerjaan mulia yang prestisius. Intelektual yang bergelar doktor hingga professor, tidak hanya berkutat di pendidikan tinggi, tapi sudah mulai memasuki tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Bukan hanya kesejahteraan, guru pun seringkali mengajari bidang yang bukan kompetensinya. ‘Guru serabutan’ seperti ini berdampak pada ketidakpahaman siswa. Sehingga tipe guru seperti ini, seringkali mengajar sekadarnya. Sekadar memberi tugas, tanpa ada pembahasan lebih lanjut. Dan penilaiannya pun sekadar. Sekadar formalitas. Data kemendiknas 2010, menyebutkan bahwa 54% guru tidak memenuhi kualifikasi.

-Pelajar di Indonesia masih banyak yang belum bisa bersekolah. Penyebabnya bukanlah minimnya beasiswa, karena beasiswa sudah bertebaran. Penyebabnya lebih dikarenakan minimnya informasi, mengenai beasiswa tersebut. Hal ini banyak terjadi pada daerah pedalaman, yang masih jauh dari perkotaan. Data kemendiknas 2010, menyebutkan bahwa 1,5 juta anak/tahun tidak dapat melanjutkan sekolah.

b.Sumberdaya Materiil. Education Development Index menyebutkan bahwa Indonesia berada diperingkat 69. Di bawah Malaysia diperingkat 65, dan Brunei diperingkat 34. Salah satu parameter peringkat ini, ialah kualitas bangunan sekolah. Di mana data kemendiknas 2010, menyebutkan bahwa 13,49% bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki.

  1. Konsep Pendidikan

a.Konsep link and match yang tidak berjalan. Konsep link and match yang mencitakan kesinambungan spesialisasi pada tiap tingkatan pendidikan Indonesia dirasa tidak berjalan. Hal ini disebabkan oleh biaya pendidikan yang tinggi (khususnya perguruan tinggi), yang membuat pelajar tidak bisa mendapatkan jurusan yang diinginkan. Terlebih lagi fungsi link and match ini semakin tereduksi pada sektor industri. Sehingga sektor pemerintahan, pasar, dan civil society yang membutuhkan produk terbaik dari perguruan tinggi menjadi kesulitan. Padahal 3 sektor itulah yang menjadi faktor utama kemajuan sebuah negara.

b.Pendidikan tidak merata. Distribusi pusat ke daerah, dirasa belum memberi dampak yang signifikan terhadap dunia pendidikan Indonesia. Data Teacher Employment & Development World Bank, menyebutkan bahwa 34% sekolah kekurangan guru. Di perkotaan sekitar 21%, dan dipedesaan sekitar 37%. Belum lagi Indonesia bagian timur, yang masih merasakan kurangnya kualitas pendidikan. Karena semakin jauh dari pusat ibu kota, pendidikan semakin sulit dikelola. Khususnya Indonesia bagian timur.

c.Jenjang sekolah yang terlalu lama. Di dalam Islam sendiri, taraf kemandirian laki-laki dan perempuan berbeda. Biaya hidup seorang laki-laki ditanggung orang tua, ketika laki-laki tersebut sudah mencapai usia baligh. Mungkin saat ini berkisar 15 tahun. Berbeda dengan perempuan yang ditanggung sampai ia dinikahi. Dan itulah tradisi pemuda-pemudi terdahulu, yang terbiasa mandiri sejak usia remaja. Sedangkan kita dengan segala kurikulum yang ada, baru bisa bekerja secara baik ketika umur 22 tahun (lulus kuliah).

d.Pendanaan yang kurang controlling. Controling yang kurang baik pada sekolah yang dipegang pemerintahan, memberikan ruang untuk terjadinya ‘kecurangan’. Sehingga yang terjadi ialah hadirnya proyek-proyek infrastruktur yang tidak jelas, beasiswa yang salah sasaran, hingga telatnya gaji pengajar. Padahal pendidikan memakan 35% dari APBN. Angka yang sangat besar. Dan akan menjadi lebih besar kerugiannya, jika controllingnya tidak baik.

Solusi

  1. Solusi sistemik

a.Pemotongan Waktu Pembelajaran. Belajar dari 2020 Malaysia Vision, yang memotong 1 tahun dari tiap jenjang pendidikan. Memotong 1 tahun dari SD, 1 tahun dari SMP, dan 1 tahun dari SMA. Sehingga umur 15 tahun sudah bisa menduduki perguruan tinggi.

b.Muatan Pelajaran yang Tepat Sasaran. Di mana SD ialah masa pengembangan karakter dan moral. Sebelum kepada hal yang bersifat saintifik. Pelajaran-pelajaran saintifik hanya diperkenalkan permukaan, dan didalami ketika duduk di SMP. Penguatan nilai moral keagamaan harus menghujam, karena inilah yang akan meredam segala bentuk degradasi moral yang dilakukan oleh pelajar.

c.Mengirim Pelajar Indonesia Melanjutkan Studi keLuar Negeri. Banyak bergaul dengan ilmuwan internasional, perbanyak pengalaman ilmiah (khususnya IPTEK), memperluas networking, dan pada akhirnya siap diberdayakan di dalam negeri. Banyak membangun lembaga riset dan penelitian, untuk menunjang para tenaga professional tersebut mengembangkan diri di Indonesia.

2.Solusi Teknis

a.Peningkatan Kesejahteraan Pengajar. Memberi beasiswa lanjutan bagi para pengajar, untuk peningkatan daya kompetensi. Memberikan gaji yang layak, dihitung menurut profesioanalitas setiap individu.

b.Peningkatan Kualitas Tenaga Profesional. Pendanaan terhadap riset kelembagaan harus diberi porsi yang lebih besar. Pelibatan Universitas, pemerintahan dan lembaga riset harus diperkuat. Sehingga para ilmuwan kita dapat dengan leluasa mengembangkan kemampuannya dinegeri sendiri.

Begitulah sekelumit pandangan sederhana mengenai dunia pendidikan Indonesia. Dan kita perlu menyadari bahwa dalam Arkanul Baiah pun, poin pertamanya ialah al-fahmu (pemahaman). Dan itulah hakikat ilmu pengetahuan. Jangan biarkan generasi baru Indonesia memiliki mindset nilai oriented, atau tereduksi pada kerja kantoran. Sudah saatnya kita keluar dari zona tersebut. Sudah saatnya kita mencetak generasi kompeten di era professional seperti saat ini. Kualitas manusia yang bisa bersaing secara global, dan berkompeten untuk mengisi ruang-ruang publik yang strategis.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.

Lihat Juga

Tegas! Di Hadapan Anggota DK PBB, Menlu RI Desak Blokade Gaza Segera Dihentikan

Figure
Organization