Muslim Rohingya: Potret Muhajirin Abad Ini

Pengungsi Bangladesh dan Rohingya asal Myanmar terdampar di Aceh, Jumat (15/5/15). (bbc.co.uk)

dakwatuna.com – Sungguh ironis! Di zaman ketika umat Islam berjumlah lebih dari satu milyar; di saat kebanyakan negara dunia memegang ideologi demokrasi, yang menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di bumi Rohingya, masih ada pembantaian manusia. Hanya karena motif agama yang berbeda, mereka dibantai sedimikian rupa, bahkan dicampakkan, diusir dari tanah kelahirannya. Baru-baru ini mereka sampai mengungsi di Aceh. Warga Aceh pun gotong royong membantu mereka (baca: bbc.indonesia 20/05/2015 “Gotong Royong Warga Aceh bantu Rohingya”). Anehnya, Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia -melalui Panglima TNI Jendral Moeldoko (baca: nasional.kompas.com>read>2015/05/15 Panglima TNI Tolak Kapal Pengungsi Rohingnya Masuk RI, tapi bersedia Beri Bantuan)-, enggan mengijinkan pengungsi Rohingnnya masuk wilayah Indonesia dengan alasan “Urus masyarakat Indonesia sendiri saja tidak mudah, jangan lagi dibebani persoalan ini”. Lain halnya dengan negara Turki (baca: m.hidayatullah.com>read>2015/05/20 Turki Kirim Angkatan Lautnya Bantu Cari Muslim Rohingya). Meskipun ia bukan negara yang berpenduduk Muslim terbesar melalui Ahmet Davutoglu dan istri Recep Tayyip Erdogan beserta beberapa pejabat dan tentaranya dengan sigap dan cepat pergi ke Aceh untuk membantu mereka. Baik bantuan materil maupun moril.

Apa yang dialami oleh Muslim Rohingya yang dibantai oleh orang-orang Hindu yang ditopang agamawan mereka, mengingatkan kita kembali pada sejarah Islam yang terjadi lebih dari empat belas abad yang lalu. Peristiwa itu seakan terulang kembali hari ini. Ketika Nabi Muhammad kehilangan dua orang tercintanya, sebagai pendukung dan pembelanya (Khadijah, Abu Thalib), kaum kafir Qurays semakin berani menyakiti, mencela, bahkan menyiksa sebagian kaum Muslimin. Pergerakan dakwah semakin sempit. Peluang untuk menyemai dakwah semakin dihimpit. Dalam kondisi seperti itu, ada inisiatif nabi untuk mencari tempat yang layak untuk dijadikan lahan dakwah baru yang lebih akomodatif terhadap dakwah Islam. Harapan pun sirna, ketika di Thaif beliau diusir bahkan dilempari batu. Rasul pun yang ketika itu ditemani Zaid bin Haritsa kembali ke Makkah dengan tangan kosong. Pada puncaknya, Rasulullah dihibur Allah dengan peristiwa isra` dan mi`raj yang merubah secara drastis merubah cara pandang Rasulullah terhadap segala peristiwa yang ia alami di Makkah.

Nabi pun bertambah optimis. Tahun kedua belas dan ketiga belas, dengan sangat intens berdakwah akhirnya mereka menemukan mitra dakwah yang loyal dan militan. Ada peristiwa yang diabadikan sejarah dengan istilah, ‘bai`ah al-`Aqabah al-`ūla (janji setia yang pertama di bukit `Aqabah)’ dan ‘bai`ah al-`aqabah al-tsāniyah (janji setia yang kedua di bukit `Aqabah)’. Kedua baiat ini seakan menjadi oase di tengah padang sahara yang meliputi dakwah Islam di bumi Makkah. Pada akhir tahun ketiga belas, datanglah perintah hijrah ke Madinah. Umat Islam pun berbondong-bondong melaksanakan perintah ini. Sejenak anda bisa membayangkan! Bagaimana perasaan mereka meninggalkan tempat kelahiran mereka. Mereka harus meninggalkan tempat tinggal, sanak famili, perniagaan, kenangan manis yang telah diukir selama hidup di Makkah. Mereka berada dalam bayang-bayang rasa cemas terhadap negeri baru yang akan mereka singgahi, Madinah.

Meski demikian, dengan hati mantap dan yakin mereka pegang betul firman Allah: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata

”(Qs. Al-Ahzab: 36). Ketaatan kepada perintah Allah –bagi mereka- pasti berbuah manis. Keyakinan mereka sungguh tidak sia-sia. Kehadiran mereka telah ditunggu-tunggu oleh penduduk Muslim Madinah. Dengan sangat menarik, Alquran mengabadikan mereka dengan nama ‘kaum Anshar (kaum penolong)’. Anda bisa melihat bagaimana sambutan baik mereka ketika kaum Muhajirin datang. Alquran menceritakan: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”(Qs. Al-Hasyr: 9).

Salah satu contoh menarik ialah peristiwa yang terjadi antara Sa`ad bin Rabi` dengan Abdurrahman bin `Auf. Waktu itu –meskipun sebelumnya Abdur Rahman bin `Auf adalah saudagar kaya, namun ketika hijrah ia telah menjadi papa(miskin)- Sa`ad bin Rabi` pun menawarkan membagikan separuh hartanya kepada Abdurrahman, bukan hanya itu, ia yang memiliki lebih dari seorang istri, menawarkan pada Abdurrahman agar memilih yang paling disukai, kemudian akan diceraikan dan akan dinikahkan dengan dirinya. Mendapat tawaran yang tulus dan menggiurkan tersebut, Abdurrahman bin `Auf tidak sampai hati untuk mengiyakan. Ia sangat pandai menjaga harga dirinya. Ia hanya meminta bantuan agar diberitahu pasar terdekat. Setelah itu ia pun berniaga sampai akhirnya menjadi saudagar sukses kembali. Lihat betapa manisnya hubungan timbal-balik yang romantis antara kedua sahabat muhajirin dan anshar ini. Sebuah gambaran luar biasa yang bukan hanya bernilai kemanusiaan, persaudaraan, tapi juga bernilai ketuhanan. Sifat rubūbiyah Allah, seolah-olah tergambar jelas terhadap komunikasi dinamis antara kaum muhajirin dan anshar.

Kita mungkin akan bertanya-tanya: “Mengapa Muslim Rohingya disebut sebagai, ‘Muhajirin Abad Ini’”? Pertanyaan tersebut bisa dijawab sebagai berikut: Antara keduanya memiliki persamaan meskipun setting tempat dan waktunya berbeda. Persamaannya dapat dilihat dari poin-poin berikut: Pertama, mereka sama-sama terusir dari tanah kelahirannya. Kedua, sebabnya pun karena perbedaan latar agama. Ketiga, nasib yang dialaminya pun tak jauh berbeda. Mereka diintimidasi, dikucilkan, dihinakan, dan dipersempit ruang geraknya sehingga tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh dakwah di sana. Masalahnya kemudian ialah, siapa yang siap menjadi kaum Anshar (Penolong) bagi mereka? Apakah kita tega, baik dari sisi kemanusiaan maupun agama melihat orang dibantai, diusir sedemikian rupa dari negeri asalnya hanya karena latar agama? Ke mana gaung PBB? Ke mana orang-orang yang selalu mendewa-dewakan HAM (Hak Asasi Manusia)? Bahkan ke mana umat Islam, di saat ‘kaum muhajirin Rohingnya’ membutuhkan pertolongan? Kalau negara Turki sudah berada di garda depan dalam membantu mereka, lalu aku, kamu, kita –sebagai Muslim- kapan menjadi ‘anshar’ mereka? Bukankah Muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh, satu bangunan? Kalau kesadaran sebagai Muslim telah tanggal, lalu tidakkah pintu hati kemanusiaan kita terketuk melihat mereka mengalami nasib tidak manusiawi seperti itu?. Wallahu a`lamu bidzātis shudūr.

Anggota Manajemen Penulis Indonesia.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...