Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Penjara dan Istana

Penjara dan Istana

Muhammad Mursi, presiden Mesir yang digulingkan kudeta militer. (islammemo.cc)
Muhammad Mursi, presiden Mesir yang digulingkan kudeta militer. (islammemo.cc)

dakwatuna.com – Lafazh “as-sijnu” disebut di dalam Alquran sebanyak enam kali. Semuanya ada di surah Yusuf (ayat: 33, 36, 39, 41, 42, dan 100). Tokoh utamanya yang dibahas adalah Nabi Yusuf –‘alaihissalâm– yang menjadi sosok protagonis yang kelak akan menggusur hegemoni kapitalistik, menyadarkan prioritas pelayanan kerajaan dan menyejahterakan rakyat. Menariknya, Nabi Yusuf –‘alaihissalâm– dijebloskan penjara bukan karena kesalahan yang berhubungan dengan misi perbaikan sosial yang -nanti- akan diembannya. Ini adalah sebuah skenario besar Allah memulai sebuah perubahan dari dalam penjara, bukan istana. Padahal sebelum kejadian tersebut Nabi Yusuf –‘alaihissalâm– sudah berada dalam istana dan berinteraksi –secara terbatas- dengan salah satu tipe pejabat di negeri tersebut.

Mari perhatikan keenam pengulangan kata as-sijnu di atas:

  1. (قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ), ayat 33. Tema ayat ini berkenaan dengan menjaga prinsip hidup meski dalam mempertahankannya harus memilih resiko sebuah penjara atau vonis yang lebih berat dari itu. Walaupun tanpa ada kesalahan yang bisa dibuktikan sekalipun, dengan atau tanpa proses pengadilan.
  2. (وَدَخَلَ مَعَهُ السِّجْنَ فَتَيَانِ ۖ), ayat 36. Akan selalu ada sebuah kesamaan nasib atau irisan kondisi yang akan dijadikan Allah sebagai sebab terungkapnya kebenaran dan sekaligus jalan mulia. Sekaligus sebagai bukti bahwa dakwah tidaklah mengenal tempat dan kondisi serta waktu. Nabi Yusuf mengertikannya secara nyata dan riil. Dakwah yang tak boleh dan tak bisa dibatasi oleh apapun dan siapapun.
  3. (يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ) , ayat 39. Selalu ada yang pertama, kedua penghuni penjara tersebut menjadi obyek dakwah pertama Nabi Yusuf –‘alaihissalâm-, yang berarti menjadi permulaan sebuah perbaikan dari sebuah tempat yang sering diklaim tak ada kebaikan di dalamnya. Menandakan bahwa harapan kebaikan selalu dibawa oleh setiap juru dakwah, dari tempat yang sering diidentikkan kebaikan sekalipun.
  4. (يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَمَّا أَحَدُكُمَا فَيَسْقِي رَبَّهُ خَمْرًا ۖ وَأَمَّا الْآخَرُ فَيُصْلَبُ فَتَأْكُلُ الطَّيْرُ مِن رَّأْسِهِ ۚ) , ayat 41. Kejujuran, adalah kata dan sikap yang harus ditunjukkan dan disampaikan meskipun kepada orang yang sangat dekat dengan kita. Kedua orang yang menceritakan mimpinya kepada Nabi Yusuf menjadi bukti tanda kebesaran Allah yang memberikan kemampuan kepada Nabi Yusuf –‘alaihissalâm– untuk menakwil berbagai peristiwa (ta’wîl al-ahâdîts).
  5. (فَلَبِثَ فِي السِّجْنِ بِضْعَ سِنِينَ) , ayat 42. Akibat human eror Nabi Yusuf –‘alaihissalâm– mendekam di dalam penjara bertahun-tahun. Tapi proses pertama yang memasukkan beliau ke penjara tetaplah sebuah kezhaliman. Tapi ketegaran Nabi Yusuf –‘alaihissalâm– akan selalu terkenang setiap zaman.
  6. (وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْن) , ayat 100. Kelembutan Nabi Yusuf –‘alaihissalâm– terungkap ketika ia menerima saudara-saudara dan orang tuanya. Ia menyebutkan nikmat-nikmat besar yang Allah berikan kepadanya dan keluarganya, juga kelembutan yang Allah berikan kepadanya. Nikmat dikeluarkannya dari penjara sengaja disebut untuk menutupi rasa bersalah saudaranya yang memasukkannya ke dalam sumur sewaktu kecil. Karena beliau ingin benar-benar mengubur masa lalu. Ingin memulai anyaman harapan kebaikan yang baru.

Sepenggal kisah Nabi Yusuf –‘alaihissalâm– di atas mengambil latar yang sangat sempit yaitu di sebuah istana dan penjara di Negeri Mesir yang tempatnya tidak berjauhan. Batas yang tipis antara istana dan penjara. Yusuf –‘alaihissalâm– kecil memulai hidup di istana mirip seperti seorang hamba sahaya yang dibeli seorang perdana mentri yang kemudian memuliakan hidupnya. Tapi musibah –unpredictable– terjadi saat ia beranjak dewasa. Kehidupan yang dijalaninya dengan baik mendadak berubah karena sikap tegasnya menjaga sebuah prinsip yang diajarkan ayahnya, meski ia jauh darinya dan hidup di perantauan tanpa pengawasan siapa pun.

Tanpa pengadilan, tuduhan yang tidak terbukti, tanpa memperhatikan nama baik, tanpa publikasi pendapat saksi ahli, tanpa proses persidangan, tanpa melalui tahapan-tahapan vonis, beliau pun mendekam tahunan di dalam penjara Mesir. Seolah terlupakan oleh siapa pun termasuk sang pelaku kedzaliman padanya. Tapi Allah merekayasa bahwa bukti kekuasaan-Nya bermula dari penjara.

Dari penjara lah Yusuf dijemput istana dengan segala kemuliaan. Dari penjara lah masyarakat Mesir kemudian tahu harga sebuah prinsip yang mahal dan mulia. Yusuf tak mengiyakan seketika panggilan istana, ia justru fokus pada pemulihan nama baiknya (QS. Yusuf: 50). Beliau pun tak silau dengan tawaran istana. Kata “makînun amîn” sebagai respon kecerdasan dan nama bersihnya dari istana justru tak ditanggapinya dengan serius. Karena jabatan penasehat atau menjadi tampungan rahasia raja tidaklah cukup. Beliau ingin menjadi seorang eksekutor selain sebagai pemilik kebijakan strategis untuk menghabisi hegemoni kezhaliman kapitalistik. “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan” (QS. Yusuf: 55)

Ending yang heroik dan sangat mengharukan bagi seorang Yusuf yang bahkan selalu disisihkan oleh orang dekat dan orang yang jauh darinya.

Puluhan tahun berikutnya Allah mengutus Musa –‘alaihissalâm-. Nasibnya pun mirip Yusuf –‘alaihissalâm-. Dalam hitungan tak lama, bayi Musa –‘alaihissalâm– berubah nasibnya. Dari gubuk kecemasan dan ketakutan menuju istana yang didambakan setiap orang. Dari orang yang diprediksikan menemui ajal menuju istana yang dimanja setiap orang. Dari kesedihan seorang ibu yang membiarkannya hanyut di sungai menuju pembuktian kenyataan janji Tuhannya untuk mengembalikan anaknya dengan penuh kemuliaan yang tak dikira siapapun. Kembali ke rumah aslinya sebagai anak raja, tapi hidup dan berada di tengah keluarga aslinya dengan ketenangan tanpa ancaman seperti hanlnya ratusan atau ribuan bayi laki-laki sebayanya.

Musa –‘alaihissalâm– tumbuh berkembang di istana. Di lingkungan yang menjadi orbit kedzaliman dan keangkuhan di zamannya. Tapi Allah menjaganya karena ia lah kelak –dengan kehendak Allah- yang akan mengubah orbit keburukan menjadi orbit keberkahan bagi kaumnya dan bagi penduduk Mesir.

Tapi alur ceritanya tidaklah datar dan baik-baik saja. Dari istana penuh kemuliaan dan meraih cinta ayah angkatnya yang kejam –Firaun-, Musa –‘alaihissalâm– yang beranjak dewasa seketika berubah kisah hidupnya. Dari istana yang seperti puncak tak tersentuh, ia menjadi buronan nomer satu yang dicari oleh pihak istana. Ia pun bahkan kemudian “harus” menepi dan menyingkir jauh dari istana. Mengasingkan diri di sebuah negeri sebagai persiapak untuk kembali ke istana. Dan Musa –‘alaihissalâm– pun dititahkan untuk kembali ke istana. Tidaklah karpet merah dan sambutan penghormatan yang didapatinya tapi keangkuhan dan kedzaliman ayah angkatnya yang dihadapinya.

Musa –‘alaihissalâm– bahkan tegar ketika Fir’aun dengan lantang melecehkannya, “Fir’aun berkata: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas budi.” (QS. Asy-Syu’arâ’: 18-19). Musa yang bermental baja pun menjawab, “Musa berkata: “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil””(QS. Asy-Syu’arâ’: 20-22).

Dialog yang tadinya diprediksi menjatuhkan mental Musa –‘alaihissalâm– tak disangka justru menjadi pintu dakwah langsung kepada Firaun. Dakwah yang sangat dialogis sekaligus sangat emosional. Karena Musa dan Firaun tidaklah selalu sebagai tokoh sejarah yang protagonis dan antagonis. Mereka berdua adalah anak dan ayah meskipun bukan secara biologis. Tapi kemudian Allah ingin membuktikan bahwa ikatan emosional tersebut harus putus ketika ada prinsip utama yang sedang diperjuangkan. Melawan kedzaliman dan mengajak bertaubat. Itu pun Allah selalu mewanti-wanti Musa –‘alaihissalâm– dengan kalam-Nya, “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.” (QS. Thaha: 44).

Musa –‘alaihissalâm-, saudaranya, para pengikutnya yang sebagian besar dari kalangan Bani Israel pun menjadi buronan untuk kedua ke sekian kalinya. Tapi kali ini bedanya adalah Allah menjadikan ending sebuah cerita kezhaliman untuk dijadikan pelajaran orang-orang setelah ini.

Yusuf dan Musa –‘alaihimassalâm– menuju istana dengan cara yang berbeda, ending yang berbeda. Tapi semuanya adalah kehendak Allah. Cara yang berbeda pun Allah tunjukkan pada jalan Dawud –‘alaihissalâm– ke istana sebagai orang yang bahkan tidak dianggap siapa-siapa dan tidak diprediksi mengalahkan Jalut yang perkasa dan sombong dengan kekuatan militernya.

Allah juga hendak mengajarkan nabi-nabi-Nya serta para umatnya bahwa jarak antara istana dan penjara tidaklah jauh. Pergantian posisi orang-orang di dalamnya bukanlah mutlak ditentukan oleh pengadilan atau hakim yang menjatuhkan vonis. Juga bukan ditentukan oleh kotak suara yang menjadi sistem yang didewakan di zamannya. Bukan pula terjadi karena sebuah transaksi politik para mafia. Semua terjadi atas rekayasa Allah jika mau dicermati dengan kacamata takdir yang bijaksana.

Penjara dan Istana di dunia modern pun menjadi langganan Presiden Turki sekarang, Recep Tayyip Erdoğan. Bahkan pada saat awal partainya memenangkan pemilu di negaranya. Sebelumnya, penjara juga mengantarkan seorang Nelson Rolihlahla Mandela ke istana kepresidenan Afrika Selatan. Nasib tragis bahkan mengantarkan Ali Adnan Ertekin Menderes dari istana Perdana Menteri menuju tiang gantungan setelah sepuluh tahun berkuasa.

Penulis tak berbicara tentang para pemimpin yang akhir hidupnya tragis, tetapi pemimpin yang terpilih demokratis kemudian berubah nasibnya menjadi pesakitan yang berada di ujung tanduk menunggu sebuah vonis kejam.

Beberapa hari ini dunia digemparkan tentang vonis mati yang dijatuhkan pengadilan militer Mesir atas Presiden Mesir terguling yang sebelumnya dipilih langsung rakyatnya secara demokratis. Vonis mati atas tuduhan yang belum secara transparan dirasionalisasikan kepada rakyatnya juga kepada dunia internasional. Penjara, parlemen, penjara, istana dan kembali ke penjara itulah siklus yang dijalani seorang Mursi. Ia bahkan harus kembali masuk penjara setelah sebelumnya menjadi orang nomer satu di negerinya, tepat satu tahun memerintah dan berkuasa. Hampir dua tahun kemudian ia pun divonis mati oleh pengadilan.

Saat vonis mati diucapkan, media internasional mainstream pun tak banyak yang mengulasnya atau bahkan menganalisisnya. Secara politis pun belum ada gerakan internasional yang mengecamnya. Beda kasus vonis mati gembong narkona ketika menjalang eksekusi, dunia internasional “menggerutu” kepada Indonesia.

Cerita Mursi -ibarat sebuah roman- adalah open endingnya. Tak ada yang mampu menebaknya. Semua berharap-harap cemas karenanya. Apakah akan seperti Manderes di Turki; benar-benar berakhir kisahnya atau seperti Mandela dan Erdogan? Hanya Allah yang tahu skenarionya. Tapi para pembela kebenaran dan kejujuran serta pejuang HAM yang bernurani tentu berharap Mursi kembali bernafas dengan cerita baru yang sedang dijalaninya. Sekaligus membuktikan kekuasaan Allah dan menegaskan; bahwa antara istana dan penjara tidaklah dibatasi dan ditentukan oleh kotak suara atau pun pengadilan. Keduanya dibatasi oleh sebuah hijab yang hanya Allah lah yang sanggup membuka tirainya. Berharap saat tirai hijab terbuka, kezhaliman menyingkir dan bertaubat ketika kebenaran mengalahkannya secara sportif; atas kehendak dan titah Sang Maha Adil.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Ketua PPMI Mesir, 2002-2003. Wakil Ketua Komisi Seni Budaya Islam MUI Pusat (2011-Sekarang). Ketua Asia Pacific Community for Palestine, di Jakarta (2011-Sekarang). Dosen Sekolah Tinggi I�dad Muallimin An-Nuaimy, Jakarta (2011-Sekarang), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) (2013-Sekarang), Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta (2011-2013)

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization