Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ramadhan yang Berbeda

Ramadhan yang Berbeda

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (marufclub.com)
Ilustrasi. (marufclub.com)

dakwatuna.com – Sudah beberapa hari ini mama tak sadarkan diri, dan sudah hampir 1 minggu papa, aku dan kedua adikku bergantian menjaga mama di rumah sakit. Bahkan aku harus merelakan ujian sekolah yang berlangsung seminggu ke depan. Aku tak akan bisa meninggalkan mama sebelum melihatnya membuka mata seperti saat pertama kali kuinjakkan kaki di ruang rawatnya.

Mama memang telah rutin check up ke rumah sakit sejak divonis terkena kanker serviks beberapa bulan belakangan ini, namun mama tidak pernah memperlihatkan kondisinya pada kami anak-anaknya, hingga kami baru tau setelah papa menyuruhku pulang karena kondisi mama yang kian drop setelah melakukan terapi.

“Rif, tadi Arya telpon papa. Katanya di sekolah lagi ujian. Sebaiknya kamu pulang dan melaksanakan ujian”

Arya adalah teman baikku di sekolah, dia memang orang yang sering kali memberikan informasi pada orangtuaku ketika ada hal yang penting dan dia teman yang selalu bersedia menjaga serta merawatku ketika sakit. Dan aku lupa memberitahunya tentang kondisi mama sekarang ini.

“Arif ujian susul aja pa, arif gak bisa ninggalin mama dengan kondisi yang seperti ini”

Sepertinya kali ini papa mengerti dan memahami alasanku. Karena tak biasanya papa hanya diam ketika aku memberikan alasan.

Aku memang sekolah di luar kota, tepatnya di daerah puncak di kota M yang jaraknya sekitar 12 jam perjalanan jalur darat dari tempat tinggalku. Sekolah di sana memanglah keinginanku, namun tentunya atas dasar permintaan mama yang menginginkanku untuk bersekolah jauh darinya dengan alasan untuk membuatku menjadi lebih mandiri. Aku memang anak yang terbilang manja dan dimanjakan oleh mama, bahkan kedua adikku sering merasa cemburu dan kesal padaku dengan sikap dan perhatian mama yang dianggap terlalu berlebihan padaku.

Ketika aku berada di rumah, mama akan memasakkan makanan yang paling kusukai, bahkan tak jarang mama mengambilkan nasi dan menyuapkannya untukku. Bahkan Alif adik bungsuku, tak diperlakukan seistimewa diriku. Aku tak pernah tahu kenapa, tapi mungkin itu hanya karena aku anak sulung dan yang paling dekat dengan mama karena hanya aku yang sering menemaninya ke manapun, sekalipun itu arisan.

“Kenapa di luar aja? Gak mau lihat mama?” Papa menghampiriku di depan ruang ICU tempat mama dirawat.

“Nanti aja pa. Papa masuk aja dulu”

“Udah makan abang?” Alif dan Rahman duduk dengan memandangiku, aku tak pasti siapa yang bertanya padaku.

“Kenapa gak ikut masuk?”

“Kami mau jaga abang” kini Rahman yang menjawab

“Abang udah makan? Ini udah siang. Dari tadi pagi Rahman perhatikan abang belum ada makan” Rahman meneruskan pembicaraannya

“Kalau abang gak makan, abang sakit. Mama juga pasti makin sakit karena waktu abang sakit dulu mama kan juga sakit” Alif kembali mengingatkanku.

Tapi entah kenapa, aku tidak selera untuk menjawab semua pembicaraan mereka. Aku mencoba mengeluarkan kata per kata namun semua tertinggal di rongga mulutku dan terhimpit oleh kepedihan yang terpendam. Aku kasihan melihat adik-adikku, harusnya akulah yang memberikan perhatian dan mengingatkan mereka, tapi aku tak berdaya jika harus melihat mama terbaring seperti itu, aku rindukan mama, rindu akan matanya yang bercahaya dan teduh, rindu dengan hangat pelukannya, rindu senyum indahnya. Ya Allah aku rindukan mama, angkatlah penyakitnya ya Allah.

Doa yang terpanjat akhirnya termakbul, setelah terbangun dari koma dan menjalani beberapa terapi, mama diperbolehkan pulang dengan catatan chek up rutin seperti biasanya. Aku senang melihat mama, aku janji tidak akan merepotkannya dan menyusahkannya lagi. Aku harus berusaha menjadi anak yang selalu membuatnya tersenyum.

“Arif, disana baik-baik ya. Makan yang teratur, istirahat yang cukup dan kalau ada apapun segera kabari mama” itulah pesan yang selalu terucap dari lisannya ketika aku akan bepergian ke manapun itu dan tak terkecuali hari ini.

“Arif kan cuma pergi sekolah ma, mama yang harus istirahat dan makan teratur, karena dua berandal itu pasti gak bisa diandalkan” kualihkan pandangan pada dua adikku.

“Abang tenang aja, selama abang di sana kami jaga mama. Ya kan lif?”

Alif hanya nyengir mendengar perkataan Rahman, papa bahkan ikut tersenyum melihat tingkah mereka.

Sesampainya di sekolah aku segera mengurus berkas untuk mengikuti ujian susulan karna jika tidak, aku akan tinggal kelas. Sewaktu di rumah teman-teman sekelas telah sering kali menghubungiku karena baru kali ini aku meliburkan diri sekalipun dengan izin wali kelas, namun waktu 2 minggu itu sudah terlalu lama.

“Kali ini kita mau liburan kemana rif?” Arya sohib terbaikku membuka perbincangan tepat jam istirahat berbunyi.

“Di rumah aja. Kenapa?”

“Gak biasanya nih? Oya, apa kabar keluarga di sana?”

“Gitu lah, mama masih harus chek up dan terapi. Makanya pengen buru-buru pulang begitu libur”

“Sakit apa?”

“Kanker serviks”

“Udah lama?”

“Kurang tahu pastinya, baru tahunya kemaren”

“Lho, kok bisa?”

“Papa dan mama sengaja rahasiain dari kami”

“Lho, kok gitu?” Arya tak habis-habisnya bertanya

Aku menatapnya dengan tatapan kesal. Aku sebenarnya senang dengan perhatiannya tapi entah kenapa aku malas untuk meladeni semua pertanyaannya.

“Lah, kan cuma tanya aja kali rif”

Aku menggelengkan kepala dan tersenyum melihatnya yang mulai menggaruk-garuk kepala seakan salah tingkah.

Setelah kurang lebih 3 tahun berjuang di rantau orang, akhirnya aku bisa menikmati kembali masa-masa indah bersama keluarga. Aku telah memutuskan untuk berkuliah di daerah, aku tak mau lagi untuk meninggalkan mama, aku tak ingin jauh dari mama, aku ingin menemaninya melewati rangkaian terapi yang kelihatannya saja begitu menyiksa.

Aku bisa berbangga di hadapan papa dan kedua adikku, karena hasil ujianku sangat memuaskan, aku akhirnya bisa membuat mama bangga padaku karena mendapat peringkat 100 besar dari 800 siswa di sekolah.

Sudah hampir 3 tahun mama menjalani perawatan dan pengobatan, namun sel kankernya tak begitu saja lenyap. Karena setelah divonis bersih oleh dokter, sel kanker baru kembali tumbuh dan bersemayam di tubuh mama. Papa akhirnya membeli sebuah rumah yang sederhana untuk kami yang tak jauh dari rumah sakit untuk memudahkan mama menjalani terapi-terapinya.

“Sebentar lagi ramadhan ya, gak terasa udah hampir 2 tahun kita di sini” suara mama terdengar serak.

“Iya ma, mama senang tinggal di sini?” aku memandangi wajah mama yang terbaring di sofa

“Heemm, tapi mama lebih suka di rumah kita”

“Ini kan rumah kita juga ma, mama pengen ke rumah?” Mama selalu mengatakan jika rumah ini bukanlah rumah kami, padahal papa jelas-jelas telah membelinya

“Belum waktunya. Nanti kalau sudah waktunya mama dan kita semua akan pulang ke rumah lagi”

“Kalau kita tinggal di rumah sana, Arif makin jauh ke kampusnya ma” keluhku

“Rahman dan adik alif juga ma, sekolahnya kan udah pindah ke sini masa pindah ke sana lagi” Rahman sepertinya tak ingin kalah denganku

“Ramadhan tahun lalu kita habiskan di sini, tahun ini masih ada gak ya ramadhan?”

“Ya masih lah ma.. gak mungkin kan tiba-tiba aja ramadhannya hilang atau meninggal. Yang namanya ramadhan baru bisa hilang ma” alif kini menyahut

Mama hanya tersenyum memandangi kami, senyum diiringi matanya yang kian sayu dan redup sepertinya mama sedang merasa lelah hingga tertidur di atas sofa. Aku mengambilkan selimut untuk mama, kupandangi wajahnya terlihat ketenangan di sana. Aku menyuruh adik-adikku untuk menjaga mama dikarenakan siang ini aku ada mata kuliah.

Suasana ini jauh lebih mencekam dari sebelum-sebelumnya bagiku, setelah kutinggalkan siang tadi mama segera dilarikan ke rumah sakit, aku tak tau pasti apa yang terjadi pada mama menurut cerita yang kudengar dari alif mama mendadak sakit perut dan pingsan, hingga kini tak sadarkan diri.

“Pa.. mama gimana?”

Papa menyunggingkan senyum, tapi aku tau pasti senyumnya bukanlah suatu pertanda yang baik, namun sebaliknya.

“Mama.. harus di operasi. Kata dokter itu jalan satu-satunya”

Mama, kenapa harus demikian sulit perjalananmu. Bukankah dengan melahirkanku engkau sudah cukup merasakan sakit, dalam merawatku engaku telah banyak berkorban, dan segala hal engkau jalani telah banyak menelan pahitnya kehidupan, lalu kenapa engkau kini harus menerima sakit itu lagi. Aku tak ingin kehilanganmu ma..

Hatiku terus menjerit dan membatin, namun semuanya tak dapat mengubah kenyataan yang ada, Aku harus membuka mata, hal ini bukanlah mimpi. Beberapa jam sebelum operasi, kami diperbolehkan untuk bertemu dengan mama. Kupandangi wajahnya yang terlihat semakin pucat, tubuhnya yang tak berdaya, mulutnya yang kaku tanpa suara, seakan mimpi bagiku ketika melihatnya terbaring tak berdaya. Baru bebera jam lalu, lisannya menuturkan kata, menyunggingkan senyum, begitu cepat waktu itu berlalu.

Ma.. mama..

Arif begitu menyayangi mama, Arif akan ikhlas dengan segalanya. Mama hanya perlu tahu, jika hanya mama wanita satu-satunya yang Arif cintai, dulu, saat ini hingga masa-masa yang akan datang Arif akan selalu menyayangi mama.

Air mata telah memenuhi wajahku, aku tak lagi malu menitikkan air mata di hadapan adik dan papa. Aku hanya ingin mereka tau, jika aku begitu menyayangi mama.

“Maaf pak, waktu telah habis. Pasien akan segera kami bawa ke ruang operasi” seorang perawat memasuki ruangan.

Dan bagai sebuah wujud penolakan yang nyata, kondisi mama yang tadinya sempat stabil tiba-tiba drop. Perawat yang melihat segera memanggil dokter, kami menunggu di depan ruangan sambil terus berdoa yang terbaik untuk mama. Dan Allah memberikan yang terbaik, mama harus menjemput pinangan sang izra’il tepat sehari menjelang ramadhan.

Tangis itu menemani hari-hari menanti ramadhan. Bayangan mama manyiapkan makan sahur, membangunkan sahur, dan memasak hidangan berbuka hanya tinggal kenangan. Dan untuk pertama kalinya ramadhan ini terlewat tanpa ada mama, ramadhan yang benar-benar berbeda tanpa mama.

 

Bidadari Duniawi

Kau bukanlah pelangi
Namun selalu indah untuk dipandangi
Kau bukanlah mimpi
Namun sulit untuk kutemui
Engkau..
Sebuah kenyataan yang tak bisa kumiliki
Engkau..
Mawar indah yang tak berduri
Mewangi di hati, namun tak terjamah jemari
Engkaulah, bidadari..
Penuh cinta yang tulus suci
Sekalipun telah pergi
Namun cinta itu tetaplah bersemi
Untukmu bidadari duniawi
Cintaku selalu menyertai
Doaku selalu mengiringi dan menemani..
(Oleh: Qiky Almukhtar)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Anak ke 5 dari 5 saudara, mempunyai 3 kakak laki-laki dan 1 kakak perempuan. Sekarang sedang berkuliah di salah satu universitas swasta di Medan, dalam bidang psikologi. Bercita-cita bisa menjadi penulis yang sekaligus menjadi seorang psikolog.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization