Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Membumikan Islam Nusantara, Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual

Membumikan Islam Nusantara, Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku "Membumikan Islam Nusantara, Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual".
Cover buku “Membumikan Islam Nusantara, Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual”.

Judul: Membumikan Islam Nusantara, Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual
Pennulis: Ali Masykur Musa
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Terbit: Agustus 2014
Tebal: 314 halaman
ISBN: 978-602-290-012-2

Meneguhkan Kembali Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin

dakwatuna.com – Membaca buku berjudul Membumikan Islam Nusantara, seakan mengembalikan ingatan kolektif kita akan proses masuknya Islam ke Tanah Air yang penuh dengan kedamaian. Hal ini sangat relevan dengan misi Islam itu sendiri, yaitu memberikan kasih sayang untuk alam semesta. Buku karya Ali Masykur Musa ini mencoba menegaskan kembali bahwa Islam merupakan agama yang sangat responsif terhadap berbagai persoalan bangsa. Misalnya, Islam sebagai agama terbesar di muka bumi mengakui adanya keanekaragaman agama dan kepercayaan. Dengan kata kata lain Islam mengakui adanya pluralitas.

Menurut penulis, sejatinya Islam sejak awal telah memperkenalkan prinisp-prinisp pluralisme, atau lebih tepatnya pengakuan terhadap pluralitas dalam kehidupan manusia (halaman 49). Pluralisme adalah mengakui bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, terdapat bukan hanya agama kita sendiri, tetapi ada pemeluk agama lain.  Kita harus mengakui bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk menjalankan ajaran atau tradisinya masing-masing. Oleh karena itu, yang harus dibangun adalah sikap saling menghormati antar sesama.

Sikap menghargai ini akan melahirkan kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian meskipun kita hidup dalam suku, agama, kepercayaan dan bangsa yang berbeda. Untuk membangun kehidupan yang toleran ini, sikap fanatisme golongan harus disingkirkan. Jika tidak maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu lahirnya sikap saling curiga dan tidak mau menerima orang lain yang berbeda pemahaman. Bahkan ada sebagian golongan yang rela membunuh orang-orang yang tidak seideologi dengannya. Sikap inilah yang melanda beberapa negara di Timur Tengah. ISIS misalnya, tidak segan-segan membunuh siapa saja yang tidak mau menerima ideologinya. Sikap radikal ISIS ini sudah menjadi ancaman tidak hanya di negara-negara Timur Tengah, tapi sudah menyebar ke seluruh negera di dunia.

Menurut ISIS berbagai aksi radikalisme yang dilancarkannya sudah sesuai dengan ajaran Islam yaitu jihad untuk mendirikan negara Islam (khilafah). Pemikiran ini sangat keliru dan tentu tidak bisa diterima. Sebab, sesuai dengan misisnya Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, yaitu menebarkan kedamaian dan kasih sayang.

Islam secara tegas memerintahkan umatnya untuk berbuat kebaikan kepada seluruh makhluk Allah. Islam mengajarkan untuk berbuat adil, toleran, mengasihi dan menyayangi seluruh makhluk. Islam tidak pernah mengajarkan pemeluknya untuk melakukan kekerasan, anarkisme, radikalisme, dan terorisme, dan bahkan Islam mengutuk semua tindakan negatif tersebut (halaman 127).

Jadi sudah jelas bahwa Islam adalah agama kedamaian, penuh cinta dan kasih sayang. Maka salah besar jika Islam diklaim sebagai  agama teroris, dengan berdalih jihad fisabilillah. Jihad memiliki makna yang sangat luas, bukan makna sempit sebagaimana dilontarkan para radakalis ISIS.

Jika jihad dimaknai secara sempit, maka pemahaman seperti itu sangat keliru dan fatal yang pada akhirnya akan berpengaruh bagi perkembangan dan pemikiran para generasi muda yang notabene mayoritas beragama Islam. Tampaknya kelompok teroris ISIS telah berhasil membajak agama untuk kepentingan penghancuran kemanusiaan. Ketika agama dibajak untuk melegalkan radikalisme atas nama agama, maka agama menjadi instrumen pembenaran diri (self-justification) dalam melakukan kekerasan.

Untuk mencegah meluasnya paham radikalisme, maka dibutuhkan sistem pendidikan yang mampu memberikan pemahaman yang benar akan teks-teks agama. Pemahaman yang benar terhadap Islam diharapkan bisa memutus ideologi radikal yang sudah meresahkan masyarakat Indonesia. Lembaga yang sangat tepat guna meluruskan pemahaman yang keliru terhadap doktrin agama adalah pesantren. Pentingnya peran pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara khusus dibahas oleh Ali Masykur Musa di bagian akhir buku ini.

Menurut Ali, pesantren telah memainkan peran penting sebagai katalis islamisasi nusantara sepanjang abad ke-13 dan 17. Watak pesantren yang moderat, lentur, dan adaptif terhadap budaya lokal menjelaskan kesuksesan islamisasi nusantara yang menjakjubkan, berlangsung begitu cepat, dan hampir tanpa cap darah. Sebagai katalis islamisasi, pesantren juga merupakan pusat pendidikan yang menyiapkan kader-kader mumpuni, yang kelak akan mewarnai dialektika perjuangan dan pergerakan nasional (halaman 271).

Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren juga berkontribusi besar dalam memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Ke depannya peran pesantren harus lebih dioptimalkan untuk membangun republik ini menjadi bangsa yang damai dan bebas dari paham radikal yang dapat mengancam keutuhan NKRI.

Dengan demikian, buku karya Ali Masykur Musa ini sangat layak dibaca sebagai referensi meneguhkan iman dan menyebarkan ajaran Islam yang damai dan toleran di tengah kehidupan yang penuh keanekaragaman.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengamat Ekonomi; Anggota Lembaga Pengkajian Perbankan dan Ekonomi Syariah (LKPES) Universitas Muhammadiyah Jakarta. Penulis dan pendiri Lembaga Pendidikan Penulis Indonesia (LPPI). Penulis dan penggagas Forum Studi Islam dan Kebangsaan (Forsiba).

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization