Hukum Plus Hikmah

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Dalam khazanah hadits Rasulullah shallalâhu `alaihi wasallam ada satu hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi demikian: man yuridillâhu bihi khairan yufaqqihhu fiddîn(barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, maka ia akan dipahamkan dalam urusan agama). Dalam istilah ilmu Fiqh, orang yang paham tentang agama disebut fâqih (ahli hukum). Kandungan hadits itu sangat jelas: Orang yang paham hukum agama, maka secara otomatis sebenarnya telah dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan. Hadits tersebut secara garis besar membicarakan kemuliaan orang yang memahami hukum agama. Yang menjadi pertanyaan mendasar ialah: apakah kebaikan di sini sifatnya umum? Dalam arti, apakah setiap orang yang paham hukum agama sudah bisa dipastikan bahwa seluruh tingkah lakunya pasti baik? Apakah kepahaman hukum berjalin dengan segenap tingkah dan laku? Apakah orang yang mengerti pasti mengamalkan? Apakah orang yang paham pasti beramal?.

Kalau kita jeli dan cermat saat membaca semangat inti dari hadits itu, maka kita akan mendapatkan kesimpulan, ‘Orang yang paham hukum agama, memang dikehandaki oleh Allah mendapat kebaikan, tapi tak berhenti sampai di situ. Meskipun paham hukum, jika hukum hanya dijadikan teori keilmuan, tidak pernah benar-benar dijalankan dan ditegakkan, maka paham hukum agama malah akan membuat seangsara diri dan orang lain’. Realita membuktikan, bahwa banyaknya orang yang paham hukum agama, tidak berbanding lurus dengan kebaikan sikap dan laku. Sehingga paham hukum agama saja tidak cukup untuk membuat orang menjadi baik. Makanya tidak mengherankan jika misalkan terdapat kesenjangan yang serius pada kenyatannya antara Islam sebagai agama dan muslim sebagai pemeluk agama. Kebaikan itu sifatnya bukan paten atau tetap (konstan), tetapi bersifat dinamis (bergerak), selama orang masih hidup, maka tidak ada kata berhenti untuk berusaha menjadi baik, kebaikan baru paten jika empunya kebaikan sudah kembali ke haribaan Tuhannya.

Selanjutnya, kita bisa bertanya lebih dalam lagi: apakah paham hukum agama dan mengamalkannya itu saja sudah cukup untuk membuat orang baik? Ternyata masih belum cukup. Ada beberapa faktor lagi yang perlu dipenuhi misalkan: keikhlasan, cara penyampaian atau mengajarkannya kepada orang lain yang belum mengerti. Nah, dalam hal penyampaian dan pengajaran inilah secara umum banyak dai yang mengatasnamakan kelompoknya berjuang di bawah naungan panji-panji Islam berdasarkan Alquran dan Hadits kurang santun dan bijak dalam mengajarkan, menyampaikan, dan menyikapi orang yang belum benar-benar mengerti tentang hukum Islam. Ini berkaitan erat dengan metode penyampaian dan penyikapan dakwah. Bila hukum agama meskipun baik dan benar, tetapi tidak disampaikan dan diajarkan dengan cara yang bijak dan santun maka, hanya akan membuat hukum agama semakin dibenci. Jadi sekali lagi kebenaran dan kebaikan juga membutuhkan cara penyikapan dan penyampaian yang baik. Orang yang ahli hukum, tetapi hanya sebatas keahlian, dan digunakan untuk menghakimi orang dengan cara yang tak santun maka hanya akan mencoreng hukum Islam. Padahal da`i itu tugasnya bukan menghukumi, tetapi mengajak dengan cara yang baik, santun dan sebijak-bijaknya. Realitanya banyak yang ahli hukum, tapi tidak santun.

Dalam sejarah emas kehidupan sahabat Nabi Muhammad shallalâhu `alaihi wasallam ada pelajaran berharga yang berkaitan dengan tema di atas. Anda tentu tak asing dengan nama sahabat agung bernama Mu`adz bin Jabal. Seorang sahabat yang luas ilmu, dermawan, qâri`(ahli dalam masalah Alquran)handal, mujahid sejati, sahabat yang pernah diberi komentar Rasulullah: Demi Allah wahai Mu`adz sungguh aku mencintaimu, demi Allah ya Mu`ad sungguh aku mencintaimu (Hr. Abu Daud, Nasa`i dan Hakim), dan digambarkan oleh Rasulullah shallalâhu `alaihi wasallam sebagai orang yang paling mengetahui hukum halal dan haram pada umat Islam. Anas bin Malik radhiyallâhu `anhu pernah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallalâhu `alaihi wasallam bersabda: orang yang paling pengasihsayang pada umat ini di antara umatku ialah Abu Bakar, dan yang paling gigih dan tegas dalam menjaga agama Allah adalah Umar, dan yang paling pemalu(secara benar) adalah Utsman bin `Affân, dan yang paling alim(paham) mengenai hukum halal dan haram adalah Mu`adz bin Jabal….[H.r. Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa`i]. Demikianlah secara singkat mengenai keagungan Mu`adz bin Jabal.

Ketika Mu`adz berdakwah ke negeri Yaman bersama dengan Abu Musa al-`Asy`ari, Ia mendapat nasihat berharga dari Rasulullah. Nasihat itu padat dan singkat namun sangat dalam maknanya bagi mereka yang mengerti hukum dan ingin mengajarkannya pada orang lain. Rasulullah menasihatinya: yassiru wa lâ tu`assiru(permudah dan jangan mempersulit), bassyiru wa lâ tunaffiru(berilah kabar menggembirakan hati, jangan membuat orang lari). Mu`adz sangat memegang betul nasihat Rasulullah, sehingga sebagai ahli hukum, Ia juga santun, pantaslah jika banyak orang yang mencintainya, dakwahnya pun terhitung sukses, lebih dari itu Ia juga pejuang sejati, yang mati dalam usianya yang terhitung muda (yaitu sekitar 33 tahun, terkena wabh tho`un[lepra]). Apakah Mu`adz tak pernah berbuat kurang bijak? Tentu saja sebagai manusia Ia pernah melakukan ketidakbijakan dalam melakukan sesuatu meskipun secara hukum fiqih bisa dikatakan benar. Pernah suatu ketika, setelah Ia bermakmum Shalat Isya` yang diimami Rasulullah, Ia pulang dan mengimami kaumnya, tapi waktu itu Mu`adz dilaporkan kepada Nabi gara-gara bacaan ayat waktu menjadi Imam sangat panjang, sehingga membuat salahsatu makmum yang tak tahan akhirnya melakukan shalat sendiri, kemudian melaporkan kejadian ini pada Rasulullah. Sewaktu ketemu, Rasulullah berkomentar: Fattân Fattân Fattân(Tukang Fitnah, Tukang Fitnah, Tukang Fitnah). Mu`adz mendapat pengalaman berharga bahwa mengerti hukum saja tidak cukup, tapi perlu mempertimbangkan sisi-sisi lain dalam menerapkan atau menyampaikan hukum. Di sinilah pentingnya hukum dibungkus dengan kebijaksanaan dan kesantunan.

Di negeri tercinta ini, mungkin banyak yang mengerti hukum, tapi pertanyannya ialah apakah hukum sudah benar-benar ditegakkan, kalau pun ditegakkan, apa sudah bijak dan santun?. Masyarakat sangat butuh figur-figur seperti Mu`adz bin Jabal, yang menguasai dan piawai hukum, tapi tetap menyampaikan, menegakkannya dengan cara santun, sehingga tak mengherankan jika banyak masyarakat yang kagum. Hukum memang perlu dan sangat penting ditegakkan, tapi yang lebih penting lagi hukum harus dibungkus dengan cara yang bijak dan santun. Disampaikan dengan cara sebijaksana mungkin, dan melalui tahapan-tahapan yang memungkinkan orang untuk melakukannya secara optimal. Bila tidak demikian, maka jangan heran dan marah jika, orang yang didakwahi malah benci bahkan memusuhi agama. Akhirnya: HUKUM memang penting, tapi yang lebih penting lagi, ialah harus dibalut dengan HIKMAH. Hukum tanpa hikmah hanya akan membuat nilai-nilah agama menjadi mengerikan dan membuat susah.

Anggota Manajemen Penulis Indonesia.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...