Nasi untuk Endang

(Dok Riyanti)

dakwatuna.com – Kebimbangan itu terkadang bisa menyelamatkan, tapi lebih banyak membuat perut terasa sakit. Seperti air di atas daun talas, bimbang itu membuat kita tak bisa kokoh pada satu titik pendirian. Namun, jika airnya jatuh, bisa jadi keadaan berubah, lebih baik atau lebih buruk.

Adalah Riki dan Endang, dua lelaki sekandung yang berbeda rupa dan kelakuan. Mereka memiliki kesamaan yang unik. Sama-sama kelas 3, sama-sama belum bisa baca, sama-sama pernah tinggal kelas. Kadang mereka terlihat sebagai anak lelaki yang manis, sayangnya mereka lebih banyak membuat keramaian di kelas.

“Selamat siang Bu, Assalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh

Waalaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh, anak-anak jangan lupa besok membawa bekal, kita akan makan siang bersama di sekolah. Untuk Riki, Endang dan Spenser, seperti biasa kita belajar membaca setelah ini. Salam untuk orang tua kalian, silahkan pulang dan hati-hati.”

Anak-anak dengan tertib meninggalkan kelas. “Endang, Spenser, Riki kemari Nak. Ibu akan mengambil kartu huruf dulu di kantor.” Mereka tak menjawab, malah memandangiku dengan melas dan acuh.

Kulihat mereka menunggu di kelas. Wajah mereka kusut. Jika sudah begini, rambut gimbal Riki yang tegak semakin terlihat, gigi-gigi mereka yang menguning terasa jelas di depan mata, kulit-kulit yang kering, baju yang lusuh dan sobek di bagian ketiak, serta celana yang resletingnya tak lagi dapat mengatup.

Bagiku yang baru 3 minggu mengajar mereka, ini sungguh keadaan yang mengenaskan. Tak mengapalah, barangkali aku bisa bertahan dengan bau-bau mereka yang aneh.

“Coba cari huruf yang membentuk kata PASAR” aku memulai latihan membaca.

Mereka berebut mengacak-ngacak kartu huruf, berharap segera menemukan.

“Sudah, Bu!” Spenser meneriakiku. Kulihat tangannya berusaha menutupi kartu huruf yang ia susun agar Riki dan Endang tak mencontek. Ku lirik Endang dan Riki, mereka masih bersusah-susah, sesekali mereka menggaruk kepala. Aku tersenyum geli. Sungguh, di balik lusuhnya badan mereka, juga dibalik kreatifnya mereka membuat keributan di kelas, mereka tetap anak-anak yang menggemaskan.

Pertemuan membaca ini aku khususkan untuk mereka bertiga. Dari 19 siswaku di kelas 3, merekalah yang perlu diberikan layanan kusus. Mereka belum mengenal huruf apalagi membaca. Di kelas, mereka bertiga pula yang kreatif membuat keributan. Entah karena bosan, atau karena tak dapat mengikuti pelajaran. Mereka selalu saja punya ide agar kelas menjadi ramai. Bernyanyi, berjalan-jalan sambil mengganggu teman, berteriak-teriak atau berceloteh tak tentu arah, yang membuatku mengelus dada adalah mereka dengan cepat menangis ketika temannya balik membalas perlakuan mereka. Kupikir mereka tak memiliki kelainan, kecuali kesulitan mengikuti pelajaran dengan tenang.

**

“Tepuk satu!

“Prok!”

Tepuk dua!”

“Prok! Prok!” Aku menginstruksikan siswaku agar diam melalui tepuk. Sesuai perjanjian, kita akan makan siang bersama. Sejak istirahat, mereka telah sibuk memintaku untuk segera memulai ritual makan siang, padahal jelas-jelas jam masih menunjukkan pukul 09.30.

“Anak-anak, silahkan dibuka bekal yang kalian bawa. Ingat, tidak ada yang boleh makan terlebih dahulu sebelum ibu suruh.”

“Bu, Riki tadak bawa nasi, Bu!”

Aku memandangi Riki dengan senyum. “Siapa lagi yang tidak membawa nasi selain Riki?”

“Endang Bu.” Seru anak-anak yang tak sabar memulai menyantap makanannya. Aku meminta anak-anak untuk berbagi makanan kepada Riki dan Endang. Beberapa merasa senang, beberapa yang lain terlihat sangat keberatan.

Ritual dimulai dengan doa, ditutup pula dengan doa. Esok, aku masih memiliki rencana yang sama. Makan siang bersama untuk saling mendekatkan antara siswa dan siswa, siswa dan guru.

**

“Anak-anak, silahkan dibuka bekal yang kalian bawa. Silahkan ketua kelas memimpin berdoa.”

“Bu, Riki same Endang tadak bawa nasi, Bu!”

Aku memandangi Riki dan Endang, bukan dengan senyum. Aku sedikit menampakkan rasa kecewa. Oh, tidakkah cukup kemarin saja mereka lupa membawa nasi. Mereka hanya senyum-senyum merasa tak berdosa.

“Masih ada yang mau berbagi?” tanyaku pada anak-anak.

Tadak Bu, salah siapa mereka tadak bawa.” celetuk Spenser.

“Riki, Endang kenapa tidak bawa bekal?”

“Lupa Bu” jawab Riki tanpa merasa bersalah. Sebagai guru, aku tetap tak tega membiarkan mereka hanya melihat yang lain makan dengan lahap. Meski aku juga tahu, membiarkan mereka tetap begitu juga tidak baik. Kali ini, aku masih memaksa anak-anak untuk berbagi. meski aku tahu wajah mereka sungguh kecewa karena tak rela.

**

“Anak-anak, silahkan dibuka bekal yang kalian bawa. Silahkan ketua kelas memimpin berdoa.” Aku melirik Endang dan Riki, “ Riki, Endang, kalian tidak membawa bekal lagi?”

Mereka menggeleng. Aku menunjukkan wajah gusar.

“Baiklah anak-anak, kalian boleh makan bekal milik kalian tanpa harus berbagi kepada Riki dan Endang”.

Anak-anak makan dengan riang. Kadang-kadang saling berebut mengganggu lauk milik teman sebangku. Ada juga yang saling bertukar makanan. Tapi sungguh tak satu pun ada yang berinisiatif memberikan makanan kepada Riki dan Endang. Aku memandangi wajah Riki dan Endang. Jelas kulihat mereka sangat menginginkan makan bersama teman-temannya. Aku membatin, “Salah mereka sendiri tak mau membawa bekal”.

Mereka menelan ludah, bertingkah aneh layaknya anak-anak yang menginginkan sesuatu. Dan aku merasa menang telah memberikan pelajaran berharga kepada mereka. Andai aku bisa meneriaki mereka “ Makanya jangan nakal, disuruh bawa bekal gak mau, salah siapa!”

Lama-lama aku merasa iba melihat wajah mereka yang melas. Kuhampiri mereka yang duduk di sudut kelas. Aku berniat menghibur dan memberi nasehat agar besok membawa bekal.

“Endang, Riki besok bawa bekal ya?”

“Iya Bu”

“Kalian menyesal hari ini tidak membawa bekal?

“Iya Bu”. Endang terlihat tersenyum dan Riki menunduk. Aku melihat Endang begitu terasa ingin mendekat denganku. Senyumnya indah dan manis. Ia tampak seperti anak yang penurut jika sudah begini.

Aku mengelus rambut Endang yang gimbal. Ia masih tersenyum dan menatapku dengan wajah bersalah.

“Kenapa kalian tidak membawa bekal?”

“Mamak tadak masak Bu”.

“Kalian makan apa kalau pagi?” Aku masih penasaran.

Dengan wajah polos Endang bercerita, “Kan Bu, mamak kerja. Kalau pagi mamak tadak pernah masak. Kami makan di sekolahlah. Uang jajan kami 1500, itu buat makan. Kalau siang itu kadang mamak masak kadang tadak. Mamak sering pergi Bu. Kami kalau di rumah mainlah. Jarang kami makan Bu.”

“Jadi…” batinku bertanya. Aku tertampar dan merasa bersalah.

“Jadi bukan karena lupa atau malas? Atau kalian tak memberi tahu mamak kalau hari ini membawa nasi?” tanyaku lagi.

Tadak Bu”

**

Ah, rupanya. Aku mulai tahu, mengapa mereka begitu. Mereka memiliki satu ibu dengan ayah yang berbeda. Apakah ibu mereka miskin? Tidak! Ibu mereka bekerja, berdandan cantik dengan aset pakaian dan perhiasan yang banyak. Aku mulai tau mengapa mereka begini. Tidak bisa membaca, pakaian kusut, badan tak terurus, dan tubuh yang mulai mengecil dan kurus. Aku mulai tau mengapa mereka begini.

**

Suatu hari yang lain, Endang menemuiku.

“Bu ini bacaannya NAHKODA, kan Bu”

“Kamu sudah bisa membaca, Endang?”

“Iya Bu, kata Ibu sebenarnya aku pintar, karena belum bisa membaca jadi aku tidak bisa menjawab soal-soal. Jadi, aku harus bisa membaca, kan Bu?”

Aku mengangguk. Mataku berbinar. Meski tubuh Endang mulai mengecil, kulihat kemauan belajarnya semakin besar. “Kamu memang pintar dan rajin.”

“Kapan kita akan makan bersama lagi di kelas Bu?”

“Nanti, kalau ibu sudah bisa menyiapkan nasi untukmu dan untuk Riki”

Endang berlalu, dan siang ini terasa sejuk meski matahari begitu terik.

 

 

 

Relawan SGI angkatan ke 7 Daerah Penempatan Kubu Raya Kalimantan Barat. Mengabdi di SD N 06 Rasau Jaya.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...