Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Jamaah Tarbiyah, antara Originalitas dan Pengembangannya

Jamaah Tarbiyah, antara Originalitas dan Pengembangannya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Masjidil Haram di malam hari (assunnahfm.com)
Masjidil Haram di malam hari (assunnahfm.com)

dakwatuna.com – Sudah menjadi pandangan umum, bahwa pengembangan (tathwir) sering dianggap dekat dengan kemerosotan dakwah. Begitu pula dengan keaslian (ta’shil) yang sering dianggap dekat dengan kejumudan. Adapun kemerosotan yang dimaksud ialah semakin biasnya nilai-nilai perjuangan yang dianut, sedangkan kejumudan yang dimaksud ialah kekakuan dan sifat eksklusif sebuah jamaah dakwah. Sehingga dianggap tidak mau berbaur dengan kelompok lain. Di dalam islam sendiri, terdapat ijma (ijtihad para ulama) yang menjadi rujukan sumber hukum ketiga setelah qur’an dan sunnah. Ijmalah yang memberikan daya fleksibilitas, terhadap fenomena-fenomena baru, yang belum memiliki hukumnya tersendiri.

Kita perlu bersyukur kepada Allah bisa bergabung di jamaah tarbiyah ini. Sebuah jamaah yang memiliki sifat menyeluruh (syumuliyah). Karena kita menjaga 2 hal tersebut, yaitu pengembangan (tathwir), dan keaslian (ta’shil). Kita turun kepentas politik, karena itulah yang rasul ajarkan. Kita mendidik masyarakat, sesuai dengan makna tarbiyah (pendidikan) itu sendiri, karena itulah yang rasul contohkan. Kita bahkan berinteraksi dengan non-muslim secara baik, karena memang itulah yang rasul terapkan. Adapun implementasi dilapangan, kita pun masih melaksanakan secara manhaji. Dan inilah alasan kuat mengapa kita harus mempelajari qur’an dan siroh nabi secara baik. Karena memang segala perilaku kita banyak dibimbing oleh kedua sumber tersebut.

Peran Politik

Kepemimpinan rasul selama di Madinah, ialah kepemimpinan yang tidak membedakan antara pimpinan politik dengan pimpinan agama. Bahkan ustadz Rahmat Abdullah mengatakan, rasul memainkan peran sebagai eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus. Berbeda ketika sudah memasuki sistem khilafah. Saat itu seorang khalifah hanya memainkan peran sebagai eksekutif. Adapun peran legislatif, dimainkan oleh Ahl al- hal wal al-aqd. Sedangkan peran yudikatif, dimainkan oleh Hakim (Qadhi). Inti dari semuanya adalah, bahwa seorang amirul mukminin pada dasarnya tidak melepaskan misi dakwah, dalam panggung politik sekalipun.

Imam Ghazali bahkan mengatakan, bahwa politik ialah penjaga agama (Haritsun fid din). Karena seorang amirul mukminin, akan mempengaruhi proses dakwah yang terjadi didalam suatu negara. Dan rasul mempraktekkan hal tersebut. Sehingga pada dasarnya rasulullah saw pun seorang politisi. Bahkan rasul tak segan-segan mengirim surat kepada raja-raja disekitar jazirah Arab. Hingga rasul mengirim kepada Heraklius (Kaisar Romawi), yang bertuliskan,’ Aslim taslam falakal ajru marotain’. Masuklah islam, maka kamu akan selamat, dan mendapatkan dua pahala.

Peran Pendidikan

Rasul pun seorang guru yang mulia. Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Tetapi juga mengajarkan ilmu kesehatan (gaya hidup sehat), bahkan juga mengajarkan ilmu kemiliteran(strategi berperang). Sehingga sangat wajar jika rasul pun seorang yang berpengetahuan luas (mutsaqqaf). Tak heran jika ilmu-ilmunya, baru bisa terungkap kebenarannya oleh para ilmuwan, beratus-ratus tahun setelah beliau wafat. Seperti manfaat siwak terhadap kesehatan gigi, pentingnya mengatur porsi makan, hingga tehnik berdiplomasi seperti yang rasul contohkan kepada raja-raja di sekitar jazirah Arab.

Bayangkan berapa banyak hasil didikan rasul yang akhirnya tampil menjadi leader. Ada Abu Bakar As-siddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib. Bahkan rasul juga mendidik seorang intelejen yang bernama Huzaifah. Hanya Huzaifahlah yang bisa membedakan orang munafik dengan orang beriman. Karena Huzaifah sebagai kepala intelejen rasul, khusus diberitahu langsung oleh rasul. Atau seorang Amr bin Ash yang sukses tampil menjadi seorang diplomat ulung. Karena beliau sukses menjadi duta pertama rasul di Madinah. Dan semua pencapaian hebat tersebut, tidak terlepas dari sentuhan pendidikan (tarbiyah) yang rasul berikan.

Membangun Interaksi

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa rasul sukses merangkul kaum Yahudi dan Nasrani selama kepemimpinannya di Madinah. Bahkan para penyembah berhala pun, sangat hormat terhadap beliau. Fenomena ini menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi toleransi. Dan batasannya pun jelas, yaitu aqidah. Sehingga pengelolaan negarapun dilakukan secara profesional. Bagaimana peran non-muslim diberi kebebasan seluas-luasnya, tapi dengan kebebasan yang bertanggung jawab. Sehingga rasul pun membuat mekanisme interaksi politik-ekonomi-hukum sedemikian rupa, yang membuat golongan non-muslim merasa tidak mendapat bentuk diskriminasi. Dan pada akhirnya secara tersirat rasul berpesan bahwa, memang benar ada perbedaan diantara kita, tapi perbedaan tersebut tidak lantas membuat kita harus berpisah. Kepiawaian rasul dalam membangun pola interaksi, berhasil mengatasi friksi yang terjadi diantara banyak golongan.

Pada akhirnya, Madinah pun lahir menjadi pusat peradaban, yang banyak dikaji para ilmuwan Timur dan Barat. Bahkan pada terapan fiqhnya pun, Islam telah mengatur, bagaimana berinteraksi dengan non-muslim dalam bermasyarakat (bertetangga) dengan mereka, bagaimana hukum menikahi non-muslim (ahlul kitab), bagaimana sikap kita menyikapi hari raya agama lain, hingga cara kita menghargai tempat beribadah mereka. Rasul, sahabat, dan para tabi’in telah mencontohkannya secara baik.

Memang seperti itulah sikap berjamaah yang harus dibangun. Pemahaman bahwa Islam adalah sebuah agama yang bersifat paripurna, harus kita ejawantahkan ke dalam semua lini kehidupan. Adapun perbedaan khilafiyah pada penerapannya, tidak perlu dibesar-besarkan. Agar juga tidak disibukkan dengan perdebatan kecil yang menghabiskan waktu. Umat muslim saat ini tidak boleh secara mudah dipecah belah. Kita harus belajar dari kebesaran jiwa para ulama, yang secara arif menyikapi khilafiyah.

Adapun jamaah tarbiyah, lahir dari kepedulian akan terjadinya degradasi moral yang terjadi pada umat manusia, khususnya umat Islam. Sehingga jamaah ini pun diharapkan dapat menjadi lokomotif dakwah, yang menciptakan perubahan besar bagi kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan. Adapun sumber rujukan jamaah ini, tidak terlepas dari qur’an dan sunnah. Sehingga ijtihad para ulamanya pun masih memegang prinsip tetap (tsawabit) dan berubah (mutaghayyirat), yang pada terapan nyatanya diaplikasikan ke dalam ijtihad yang berkaitan dengan program pengembangan (tathwir) dan keaslian (ta’shil) jamaah.

Adapun yang terkait gaya hidup kader, itu hanyalah persoalan pendekatan. Cara mereka memahami fiqh nushush (teks) lah yang berbeda. Tapi secara subtansi tidak ada perbedaan. Sehingga jamaah tarbiyah akan selalu mengembangkan (tathwir) jamaah sesuai dengan kemajuan zaman, tanpa harus melepaskan keaslian (ta’shil) dari nilai-nilai Islam itu sendiri. (ridwan/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization