Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ojekku Kesasar di Perkebunan

Ojekku Kesasar di Perkebunan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (wartakota)
Ilustrasi (wartakota)

dakwatuna.com – Hari ini adalah waktu pulang bagi kami di tiap-tiap kecamatan. Berangkat dari rumah Ibu Ati (Panggilang akrab tantenya Ilfa) kira-kira pukul 10. 20 WIB dan menunggu angkot untuk mengantarkan kami sampai ke terminal kira-kira pukul 10.35 WIB.

Dengan berbagai macam barang bawaan seperti barang belanjaan yang kami beli di Pandeglang dan Serang beberapa hari yang lalu. Anty yang kemarin sore membeli kasur dan berbagai peralatan yang dibutuhkannya di tempat tinggalnya. Aku membeli barang display dan kain flanel serta alat lainnya untuk membuat kreatifitas bersama anak-anak di sana.

Sesampainya di terminal kami pun berpisah, karena kami itu ternyata berbeda arah dan tujuannya. Aku dan Anty memutuskan untuk naik PS yang jurusan ke Munjul sedangkan Mas Heri, Mas Sapto, Kak Ulfa dan Uni Sasni naik PS jurusan Cibaliung.

Bis PS mereka ternyata sudah ada di sana, tapi mereka bersikeras menunggu kami agar kami dapat Bis PS duluan. Tapi aku dan Anty menyuruh mereka untuk pergi duluan dengan Bis PS tersebut. Karena kami siap untuk menunggu Bis PS kami di terminal. Walaupun Cuma berdua di terminal, kami agak sedikit merasa ketakutan berhubung banyak orang yang dirasa tidak dikenal sama sekali.

Akhirnya Bis PS kami datang juga, walaupun kami sudah menunggu cukup lama. Kami pun naik ke bis dan hati pun ikut senang ketika sudah berada di Bis. Menunggu waktu, ternyata sangat lama sekali. Sehubungan dengan adanya perbaikan jalan yang berada di wilayah Desa Bojong. Membuat kami harus menunggu lumayan lama lagi. Terlihat di jalan juga banyak orang yang meminta-minta uang untuk perbaikan jalan itu.

Setelah melakukan perjalanan yang lumayan panjang bersama Anty dan penumpang lainnya, hatiku merasa tidak enak dan janggal ketika hampir sampai di Pasa Picung. Sesampainya di sana, aku dihampiri seorang laki-laki yang berprofesi sebagai OJEK. Setelah melakukan negosiasi masalah ongkos, akhirnya aku naik dan menikmati perjalanan yang menurutku tidak terlalu panas tapi agak melelahkan.

Tiga pulu menit berlalu, akupun sudah mulai merasa lapar dan keringat sudah mulai bercucuran. Aku merasa ragu dengan OJEK itu, tapi rasa keraguan itu aku tapi, perlahan masih yakin dia akan membawa ke jalan yang benar. Sampailah kami di pertigaan daerah Desa Pasir Durung, Ojek itu bertanya padaku mau belok ke mana. Aku bilang saja belok ke kanan. Tapi kenapa setelah melalui perjalanan sekitar 250 meter dari pertigaan tidak ada lagi rumah penduduk. Namun akhirnya aku menyuruhnya untuk bertanya kepada beberapa remaja yang baru pulang sekolah dari MTs sekitar desa itu. Ternyata kami salah jalan. Lalu ojek itupun memutar jalannya.

Ketika memutar jalannya, ada pertigaan lagi dan sekali lagi kami bertanya karena aku ragu dan lupa akan arah ke jalan rumahku. Ternyata jalan yang kami jalani memang menuju ke arah rumahku.

Setelah sepuluh menit di jalan, ada sebuah tanjakan ditambah dengan tikungan yang kondisi jalnnya yang berbatu besar dan sangat licin. Ojekku pun tak mampu menahan beban, dia pun oleng membawa motornya, aku pun tak kuat dan akhirnya aku jatuh terduduk, kakiku masuk ke semak-semak dengan rumput yang masih basah karena hujan. Semua barang yang aku bawapun jatuh, bajuku apalagi bertambah kotor. Saat itu aku langsung bilang kalau aku harus turun saja dan berjalan kaki.

Setelah berjalan kaki sekitar 20 meter, aku naik ojek lagi dan lagi-lagi kami harus berhadapan dengan jalan yang semakin parah. Kali ini jalannya tidak berbatu besar, tetapi tanah kuning dan sangat licin sekali akibat hujan yang melanda desa tersebut. Lagi-lagi ojek itu oleng dan tak mampu menarik beban yang lumayan berat. Aku memutuskan untuk turun dan berjalan, tapi si tukang ojek itu berusaha untuk bisa membawa motornya. Aku kasihan melihat kondisinya yang sudah kurus kering, membawa motor yang berat dan berjalan di jalan yang licin dan kakinya pun sudah kotor. Kuperhatikan kuku kakinya, hampir tak terlihat seperti kuku kaki lantaran tertutupi dengan lumpur yang banyak.

Kembali kami mendapati pertigaan dengan jalan yang lumayan licin lagi. Kami pun berbelok ke arah kanan. Sepanjang jalan yang kami temui hanya pohon sawit, tidak ada perkampungan sama sekali. Hal ini dikarenakan karena daerah penempatanku adalah perkebunan sawit. Warga sekitar rumahku saja adalah buruh pabrik Kelapa Sawit. Beberapa kilometer kemudian barulah kami mendapatkan perkampungan warga. Tapi entah kenapa hatiku masih ragu sekali dengan jalan itu. Walaupun sesekali rasa yakin itu kian datang menghampiri. Tapi tetap saja aku harus berhati-hati dengan orang yang baru beberapa menit aku kenal. Terus berjalan, sampailah kami menemukan sebuah truk besar pengangkut sawit tepat di depan kami. Ada sebuah pertigaan dan karena ragu lagi aku pun menyuruhnya untuk bertanya kembali. Para buruh sawit itu mengatakan kalau kampung lebak Gedong itu belok ke arah kanan. Kamipun melalui jalan itu, dan melewati titi besar, tapi kami tak menemukan perkampungan. Alhasil, setelah perjalanan jauh kami lalui, kami menemukan sebuah saung kecil dengan beberapa orang bapak-bapak di sana. Akupun menyuruhnya bertanya kembali untuk yang kesekian kalinya. Setelah bertanya, ternyata kami tersesat di jalan yang salah. Aku menceritakan identitasku kepada salah seorang bapak bernama Pak Memet. Beliau ternyata sahabat karib bapak angkatku Pak Juman. Beliau ternyata bersedia mengantarkanku pulang ke rumah. Syukur Alhamdulillah.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Relawan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Penempatan Kab. Pandeglang-Banten.

Lihat Juga

Maksimalkan Layanan Jemput Zakat, IZI Jateng Sinergi dengan Ojek Online “GOLEK”

Figure
Organization