Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Indonesia, Mari Berbenah

Indonesia, Mari Berbenah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (salmanitb.com)
Ilustrasi (salmanitb.com)

dakwatuna.com – Penting tuk bersama kita sadari, Indonesia adalah negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Tapi hari ini, mengapa kita seakan menjadi minoritas?

Secara default, Indonesia adalah surganya dunia. Beragam flora dan fauna Allah karuniakan kepada kita. Inilah negeri dengan gugusan pulau terbanyak di dunia. Kalau kata Koes Ploes, “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, masya Allah, kalau dalam Quran, “Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghaffur”, sebuah negara yang makmur, subur, dilimpahi keberkahan dari Rabb Yang Maha Pengampun.

Secara default, begitulah gambaran negeri ini. Islam datang, ketika masyarakat negeri yang kala itu masih bernama Nusantara, dengan banyak kerajaan, hidup bernafaskan animisme dan dinamisme. Lantas, Islam membebaskan mereka dari belenggu kepercayaan yang tiada membawa manfaat bagi mereka, terhijrahkan menuju jalan cahaya yang meneduhkan lagi menyelamatkan.

Ratusan tahun setelahnya, mulai muncul generasi yang jauh dari tuntunan Islam. Mendewakan akal dan terjerumus pada kematian rasa, rasa tuk menginsyafi kesalahan-kesalahannya, pun untuk mencintai agamanya.

Inilah generasi yang jauh dari kecintaan terhadap kitab sucinya, lebih suka gegap gempita dalam pesta daripada duduk bersila sembari syahdu mengulai kalamNya. Lebih cinta tuk bergaya kebarat-baratan ketibang yang syar’i. Gemar mempoles penampilan ala artis-artis lokal, korea, dan yang lainnya ketibang berpenampilan sederhana ala Nabi, natural namun sekali lagi, syar’i.

Inilah generasi yg gemar memprotes ketibang menghormati. Lebih suka berteori ketibang aksi. Seringnya mengedepankan ide pribadi meskipun salah daripada menerima ide lain dengan tulus hati. Tak mau ada kompromi dengan siapapun (tua ataupun muda). Inilah generasi yang selalu meminta dan memaksa daripada memaklumi.

Subhnallah, dan kesemua itu lantaran kita mendewakan akal dan menihilkan eksistensi Allah dalam tiap sendi kehidupan. Padahal Umar bin Khaththab menasihati,

لَيْسَ الْعَاقِلُ مَنْ يَعْرِفُ الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ, وَلَكِنَّهُ الَّذِئ يَعْرِفُ خَيْرَ الشَّرَّيْنِ.

Orang yang berakal bukanlah orang yang mengenal kebaikan melalui keburukan, akan tetapi, orang yang berakal adalah orang yang mengetahui mana yang terbaik di antara dua keburukan

Karena akal yang kita dewakan, kita memudarkan fungsionalitas hati, yang secara hakiki, menjadi pintu hidayah lagi pemahaman kepada setiap insan.

فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا

“Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka bisa memahami” QS. Al Hajj : 46

Dan Allah tak henti-hentinya mengingatkan kita dari tipuan ini dalam berbagai ayatNya. Hanya saja, memang kita nan hina dina, tak pernah mau tuk membacanya apalagi menerimanya.

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلٰهَهُ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?” QS. Al Jatsiyah : 23

فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran” QS. An Nisa : 135

فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah” QS. Shad : 26

Dan hari ini kita bersedih karena dua hal, pertama, lantaran generasi yang hatinya telah mati dari kecintaan tuk memuliakan agamanya. Dan kedua, keterpecahan yang timbul dalam tubuh para aktivis Islam itu sendiri.

Mari sedikit lagi kita menukik ke beberapa ratus tahun yang lalu, manakala negeri ini masih terbius oleh alam animisme dan dinamisme. Bayangkan, tersebut 9 juru dakwah yang biasa kita gelari dengan sebutan Wali Songo, memiliki misi mulia, tuk menyelamatkan ummat dari kebathilan. Pertanyaan sederhananya adalah, bagaimana mungkin para juru dakwah tersebut mampu membuka ladang dakwah dan menyemainya kini menjadi mayoritas Muslim terbesar di dunia?

Apakah dengan kekerasan? Debat kusir? Taklid terhadap harokahnya? Mengedepankan egonya? Akalnya?

Jawabannya sederhana, karena kelembutan dan kerendahan hati. Maka wajar, bila hari-hari setelahnya, mereka mementaskan panggung dakwah yang tidak tersekat hanya di satu wilayah, namun menyebar ke seluruh bumi Nusantara, dan kini ia telah bertransformasi menjadi sebuah Republik yang kita namai dengan nama Indonesia.

Dan kini kita merindukan, sebuah negara yang systemnya berlandaskan Alquran dan sunnah Rasulullah, para pemimpinnya seperti khulafaurasyidin, Umar bin Abdul Aziz, Salahudin Al Ayyubi, dan Muhammad Al Fatih. Maka, mari kita penuhi nubuwat Rasulullah s.a.w, bahwa kelak akan muncul suatu negara jauh di timur, yang akan menjayakan Islam. Mereka Datang dengan bendera-bendera hitam bertuliskan Laa Ilaaha illallah. Dan insya Allah, semua itu mungkin!

Karena di Indonesia-lah, negara dimana Islam diterima tanpa pertumpahan darah. Maka sekali lagi, mari kita pantaskan diri kita tuk melengkapi bisyarah Rasulullah tersebut. Katakan dalam hati, seperti halnya seorang pemuda berusia 21 tahun penakluk Konstantinopel, Muhammad Al Fatih, meyakinkan dirinya, “Akulah, pemuda yang dimaksud oleh Nabi“. Mari berbenah

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang hambaNya yang gemar merangkai bit demi bit data seputar hikmahNya. Guru di SIT Alkautsar

Lihat Juga

Tegas! Di Hadapan Anggota DK PBB, Menlu RI Desak Blokade Gaza Segera Dihentikan

Figure
Organization