dakwatuna.com – Berangkat dari kecanggihan teknologi yang semakin lama semakin memudahkan koneksi manusia yg berbeda ruang dan waktu. televisi hadir memberikan hiburan alternatif bagi semua lapisan masyarakat; bawah, menengah dan atas.
Televisi mengeruk semua lapisan masyarakat dari anak-anak, remaja, anak dewasa, ibu-ibu dan para ayah bahkan tak jarang nenek-kakek masih ikut nimbrung depan televisi, dari acara; Sinetron, Gosip, Olahraga, Realiti Show, Kuis, Music dan acara-acara lainnya. tak jarang kaum ibu dimanjakan dan kaum remaja dengan tayangan sinetron yang mengalun-alun merdu sehingga para ibu rela mempersiapkan mata dan telinganya depan televisi demi menyaksikan tayangan kesayangannya itu.
Menurut Wikipedia.com Televisi adalah sebuah media telekomunikasi terkenal yang berfungsi sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom (hitam-putih) maupun berwarna. Kata “televisi” merupakan gabungan dari kata tele (τῆλε, “jauh”) daribahasa Yunani dan visio (“penglihatan”) dari bahasa Latin, sehingga televisi dapat diartikan sebagai “alat komunikasi jarak jauh yang menggunakan media visual/penglihatan.”
Penggunaan kata “Televisi” sendiri juga dapat merujuk kepada “kotak televisi”, “acara televisi”, ataupun “transmisi televisi”. Penemuan televisi disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini mampu mengubah peradaban dunia. Di Indonesia ‘televisi’ secara tidak formal sering disebut dengan TV (dibaca: tivi, teve ataupun tipi.)
Dalam setiap perkara selalu ada baik-buruknya, termasuk tayangan televise era orde baru dengan era reformasi.
Tayangan Televisi/media era Orde Baru
Era orde baru ktia saksikan media begitu teratur karna dikontrol habis oleh pemerintah, sehingga pemerintah memegang hak mensesor tayangan-tayangan yg tidak layak untuk ditonton.
Sensor, pembatasan, pengekangan, dan pengarahan isi pemberitaan di media massa adalah hal yang biasa terjadi pada era Orde Baru, di bawah rezim otoriter Soeharto. Pemberitaan di media televisi swasta sendiri pada era Soeharto memang kurang berkembang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pertama, hal ini disebabkan karena jumlah stasiun televisi swasta sendiri masih sedikit, dan yang sedikit itu pun hanya dimiliki oleh keluarga Presiden dan kroninya. Kedua, pada awalnya, stasiun televisi swasta bahkan dilarang membuat berita sendiri, karena hak membuat berita hanya diberikan pada televisi negara, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI). Stasiun televisi swasta hanya boleh me-relay siaran berita dari TVRI. Aturan itu kemudian mulai dilanggar oleh RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), stasiun televisi swasta pertama, yang sahamnya notabene dimiliki oleh Bambang Trihatmojo, putra Presiden Soeharto.[1]
Namun baiknya menurut penulis, tayangan ini merupakan tayangan yang sudah sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu, tayangan yang membentuk kepribadian berbangsa dan bernegara, maka dari itu sering kita saksikan lagu-lagu kebangsaan pada masa itu.
Televisipun tidak beroperasi 24 jam, sehingga memberi jeda bagi kita untuk melakukan aktivitas. memberi jeda bagi meteran listrik kita. Dan memberi jeda buat televisi kita biar tidak panas.[2]
Sehingga, banyak kita saksikan hidup kita terjadwal pda saat itu, dimulai jam magrib kita (muslim) mengaji quran kepada guru-guru kita, setelah isya kita menonton sampai setiap pukul 9 malam semua stasiun televisi menayangkan berita dalam dan luar negeri yang membuat anak-anak hingga remaja terlihat bosan melihatnya sehingga mereka memilih untuk tidur awal waktu dan bangun di awal waktu pula lalu bergegas menuju aktivitasnya.
Di masa pemerintahan Orde Baru, negara memang sudah mengontrol media massa melalui berbagai regulasinya. Namun, media industrial mempunyai logika dan aturan mainnya sendiri yang tidak selalu bisa disubordinasikan terhadap kehendak negara. Pada beberapa sisi, arah perkembangan industri media mungkin lebih dipengaruhi oleh struktur politik otoritarian Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain bisa jadi kaidah dan mekanisme pasar yang lebih menentukan. Buku Televisi dan Prasangka Budaya Massa ini setidaknya mendukung asumsi itu.[3]
Bukan maksud penulis membanggakan orde baru, namun faktanya pada zaman itu kita saksikan, culture yang baik, pakaian yang sopan, anak-anak berkembang dan bergaul sesuai dengan tahapannya.
Tayangan Televisi Era Reformasi
Zaman reformasi diibaratkan dengan zaman kebebasan karna pada zaman ini gencar-gencarnya ‘Kebebasan berpendapat’ walaupun sudah di dengungkan pada tahun 1945 zaman ini begitu masifnya bergerak Banyak pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia.
Sebelumnya mari kita bahas apa itu “Kebebasan Mengemukakan Pendapat”. Kebebasan mengemukakan pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk mengeluarkan pikiran atau gagasan dengan tulisan, lisan dan bentuk lainnya secara bebas dan bertanggung jawab serta tanpa ada tekanan dari siapapun. Sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Kebebasan berpendapat ditujukan untuk mewujudkan perlindungan yang konsisten .Kebebasan berpendapat dijamin secara konstutisional dalam UUD 1945 pasal 28 “Bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. Pengertian Kemerdekaan mengeluarkan pendapat dinyatakan dalam Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum juga diterangkan dalam UU No.9 Tahun 1998.[4]
Problem-problem yang muncul dalam media televisi pada saat-saat akhir era Orde Baru lebih menunjukkan dinamika media yang telah menjadi instrumen industri kapitalis. Apa dan bagaimana acara-acara yang mesti diproduksi dan ditayangkan televisi lebih ditentukan berdasarkan korelasinya dengan permintaan pengiklan dan apa yang diklaim sebagai “selera khalayak”. Namun, para pengelola televisi ternyata kerepotan dalam merespons tuntutan-tuntutan media televisi yang telah menjadi entitas komersial itu. Mereka harus mempersiapkan sekian banyak mata acara untuk mengisi jam siaran yang semakin hari semakin panjang. Maka, merebaklah tayangan-tayangan yang serba impor, opera sabun India, Amerika Latin, Cina, ataupun Barat.[5]
Kita saksikan berita gosip dan kriminal setiap pagi, siang, sore hingga malam; tayangan-tayangan sinetron yang boleh dikatakan tidak mendidik (contoh: sinetron yang menayangkan adegan pelukan lawan jenis, bergandengan tangan, cipika-cipiki. Red) yang menjauhkan kita dari adat ke-timur-an, mungkin pada saat dulu hal itu merupakan hal tabu karena selalu diperankan hanya oleh orang dewasa (Contoh: Film Warkop DKI, Film Roma Irama, Rano Karno dll) tapi pada saat ini kita saksikan anak SMA,SMP dan akhirnya melahirkan anak-anak SD terhipnotis oleh tayangan-tayangan romantic gaya orang dewasa saat ini. Sehingga timbul fenomena saat ini istilah-istilah yang merusak telinga kita seperti: cewek cabe-cabean, mutilasi, pembegal dihukumi masa lalu dibakar, pemerkosaan, dekadensi moral, pornografi, anak membunuh oran tua dan kebalikannya orang tua membunuh anak. Berita yang tidak kita dengar ketika zaman orde baru sehingga tidak kita saksikan di sekitar kita, karena menurut hemat penulis salah satu fungsi dari media adalah menginfokan dan mencontohkan kepada penerima pesan.
Banyak meme yang beredar foto artis yang sedang berakting berbunyi (mereka dibayar mahal untuk merusak moral sedangkan guru dibayar murah untuk dituntut membangun moral). Sungguh miris sekali…
Maka pesan penulis kepada Pemerintah/Instansi yang berwenang khususnya kepada para orang tua, mari kita bersama mengawasi tayangan-tayangan kepada para penerus bangsa ini dengan memastikan mereka mewarisi tayangan-tayangan sehat dan mendidik.
—
Catatan Kaki:
[1] Makalah Satrio Arismunandar, Dari Bakso Tikus hingga Smack Down,tt [2] Andri Rosita, Pak Harmoko saya rindu televise di zaman Bapak, Kompasiana.com [3] Dikutip dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/10/08/BK/mbm.20011008.BK84004.id.html [4] Ervilia Agustine Wiharsianti, Hak Asasi Manusia: Kebebasan Berpendapat, dipublish tanggal 4/9/2014 Kompasiana.com [5] ibidRedaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: